Kepadatan dan kemacetan selalu
identik dengan kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Yogyakarta, atau Makassar. Kota-kota kecil khususnya yang berada pada
sebagian wilayah Indonesia Tengah dan sebagian besar Timur Indonesia masih jauh dari kedua kata
tersebut. Kepadatan dan kemacetan hanya bisa disaksikan melalui layar televisi
atau dirasakan langsung ketika sesekali melakukan perjalananentah untuk urusan dinas atau urusan pribadi.
Kota-kota kecil bahkan wilayah
terpencil sekalipun akan menemukan adanya kepadatan atau kemacetan ketika satu
minggu menjelang lebaran. Uniknya, kepadatan dan kemacetantidak ditemukan dijalan raya seperti yang
terjadi di kota-kota besar, tetapi ditemukan di pasar-pasar tradisional.
Menjelang lebaran masyarakat berbondong-bondong mendatangi pasar-pasar terdekat
guna berbelanja segala keperluan menyambut datangnya lebaran. Baju baru, bahan
kue, bumbu dapur, sayur mayur, dan sebagainya.
Pada hari selasa, saya berkesempatan
mengantarkan istri untuk belanja keperluan lebaran, di pasar sentral
Wangi-Wangi Wakatobi. Seperti dugaan awal, macet, padat disertai sesak dan
segala aroma yang sangat berpotensi membatalkan puasa jika tidak segera menutup
hidung. Ketika menyeberang masuk ke area pasar, tiba-tiba berpapasan
dengan salah seorang petugas DLLAJR (Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya).
Aku lalu tersenyum dan menyapanya sembari menyatakan tentang padat dan macetnya
pasar. Dia hanya tersenyum dan menyatakan bahwa kondisi ini sudah biasa setiap
menjelang lebaran. Menjelang lebaran jam kerja bertambah, sejak jam enam pagi
sampai menjelang jam enam malam, bahkan ketika sudah libur sekalipun masih
tetap bertugas demi menjaga ketertiban di jalan-jalan sekitar pasar. Yang seru
diskusinya adalah ketika memasuki area utama terminal, saya bertemu dengan
salah seorang pejabat di lingkungan Dinas Perhubungan Kabupaten Wakatobi.
Ketika saya menyapa, segera datang sambil berjabat tangan, terus menceritakan
rumitnya mengurus angkutan kota (angkot) ditengah sempitnya terminal angkutan.
Dalam diskusi, sambil menceritakan tentang suka dukanya bertugas ditengah
kepadatan dan kemacetan, serta ditengah teriknya matahari, sang pejabat
menceritakan bahwa ada beberapa titik yang menjadi sumber kepadatan dan
kemacetan setiap menjelang lebaran. Pasar sentral merupakan pasar utama dan
paling lengkap, semua kebutuhan pokok tersedia. Semua masyarakat datang
berbelanja kebutuhan pokok dan kebutuhan lebaran di pasar sentral, inilah salah
satu penyebab padat dan macetnya menjelang lebaran. Alasan lain adalah,
banyaknya penjual asongan yang menjual di area terminal. Terminal yang mestinya
steril dari penjual asongan sehingga mobil lebih leluasa masuk keluar dalam
area parkiran, justru di padati oleh penjual asongan. Disamping itu, sebagian
area jalan di depan pasar sentral dipenuhi penjual ayam (potong dan kampung)
yang menjajalkan jualannya. Situasi ini menjadikan semakin tidak kondusif,
karena selain menghasilkan kepadatan dan kemacetan, juga memunculkan aroma
tidak sedap yang dihasilkan oleh kotoran ayam potong dan ayam kampung.
Disamping petugas DLLAJR dan pejabat
Dinas Perhubungan, masih ada yang tidak berhenti melaksanakan tugas sampai satu
hari menjelang lembaran. Mereka adalah kepolisian, khususnya Polisi Lalu
Lintas. Mereka tidak pernah mengenal lelah mengatur kendaraan agar tidak macet,
tidak saling senggolan, atau saling tabrakan. Jam kerja mereka melebihi jam
kerja normal, mereka juga tidak mengenal cuti bersama. Yang mereka tahu adalah
kendaraan harus selalu diatur supaya tertib. Bersama petugas kepolisian,
ditemani oleh sekelompok anak-anak yang terus mengatur tempat parkir kendaraan
sehingga senantiasa tertib, mereka adalah juru parkir. Mereka terkadang di maki,
dibentak, dan dimarahi oleh pemilik kendaraan yang tidak ikhlas membayar upeti,
tetapi mereka terus mengatur kendaraan di area parkiran.
Petugas DLLAJR dan pejabat Dinas
Perhubungan, mungkin akan dianggap sebagai tugas rutin yang harus
dipertanggungjawabkan kepada atasan maupun kepada negara, sehingga dianggap
bukan sesuatu yang istimewa. Demikian halnya aparatur kepolisian, mereka telah
bekerja secara ikhlas tanpa kenal lelah, meskipun keikhlasannya terkadang masih
juga dicurigai sebagai upaya mencari “uang lebaran”. Atau anak-anak juru
parkir, selalu dimarahi karena dianggap memanfaatkan kesempatan mendapatkan
uang receh ditengah kepadatan dan kemacetan menjelang lebaran. Tetapi, mereka
sebenarnya adalah orang-orang hebat yang telah bekerja ikhlas demi mewujudkan
ketertiban umum. Kita tidak tahu berapa banyak kendaraan yang akan saling
bersenggolan jika tidak diatur oleh petugas DLLAJR dan pegawai perhubungan;
atau entah perapa banyak kecelakaan lalu lintas (lakalantas) jika aparatur
kepolisian tidak mengatur di jalanan; kita juga tidak bisa bayangkan berapa
banyak kendaraan yang akan terjebak jika tidak diatur oleh anak-anak juru
parkir “dadakan” itu. Akan sangat bijak jika kita lupakan sejenak tugas dan
tanggungjawab aparatur DLLAJR, Perhubungan, dan Polisi lalu Lintas yang menjadi
kewajibannya, mari kita apresiasi bahwa mereka telah meluangkan waktu melampaui
jam kerjanya, serta mengabaikan hari liburnya demi mewujudkan ketertiban.
Demikian halnya anak-anak yang menjadi juru parkir dadakan itu, uang seribu atau
dua ribu sebagai imbalan setiap motor yang mereka atur parkirannya, rasanya
tidak sebanding dengan upaya yang mereka telah lalukan untuk mewujudkan
ketertiban ditengah kepadatan dan kemacetan menjelang lebaran. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Orang-Orang Hebat Menjelang Lebaran"
Posting Komentar