Ketika
Allah memerintahkan kita untuk mendirikan shalat, maka ada konsekuensi atau
akibat yang akan kita peroleh dari pelaksanaan shalat, yaitu agar kita
senantiasa terhindarkan dari perbuatan keji dan munkar. Demikian halnya
dengan kewajban menunaikan ibadah puasa pada bulan ramadhan. Apa kehendak Allah
memerintahkan kita untuk berpuasa, adalah agar kita menjadi orang yang
bertaqwa. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, Surah Al-Baqarah ayat 183
yang artinya; "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa".
Terminologi
Taqwa adalah terhindar dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik duniawi
maupun ukhrawi. Tetapi, tujuan tersebut akan tercapai apabila kita mampu
menghayati arti puasa itu sendiri. Menghayati dan memahami arti puasa
memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakikat manusia dan
kewajibannya di bumi ini. Pertama,
manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh
ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk menyeimbangkan dirinya hingga mencapai
satu tingkat yang menjadikannya wajar menjadi khalifah untuk memakmurkan bumi. Dalam
banyak kitab-kitab hadits, ditemukan rujukan bahwa Tuhan menciptakan manusia
menurut “penanya”, dalam arti diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan
sesuai dengan kemampuannya sebagai makhluk. Kedua,
dalam perjalanan manusia menuju ke Bumi ia melewati surga agar pengalaman yang
diperolehnya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di
bumi sebagai khalifah. Pengalaman tersebut antara lain adalah persentuhannya
dengan keadaan surga itu sendiri. Disana telah tersedia segala macam kebutuhan
manusia, antara lain sandang, pangan, serta ketenteraman lahir dan bathin. Hal
ini mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi, sebagaimana
pengalamannya dengan Iblis mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak terpedaya
lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari surga.
Dalam kehidupan
ini, manusia mempunyai banyak kebutuhan yang secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi lima kebutuhan pokok, yaitu; (1) kebutuhan fa’ali, yaitu kebutuhan
makan, minum, dan kebutuhan seksual; (2) kebutuhan akan ketentraman dan keamanan;
(3) kebutuhan akan keterikatan pada kelompok; (4) kebutuhan akan rasa
penghormatan; dan (5) kebutuhan akan pencapaian cita-cita. Kebutuhan kedua
tidak akan mendesak sebelum kebutuhan pertama terpenuhi. Bahkan seseorang dapat
mengorbankan kebutuhan berikutnya bila kebutuhan sebelumnya belum terpenuhi.
Sebaliknya, seseorang yang mampu mengendalikan dirinya dalam pemenuhan kebutuhan
pertama, akan dengan mudah mengendalikan kebutuhan-kebutuhannya yang berada
pada posisi berikutnya.
Dalam berpuasa,
seseorang berkewajiban mengendalikan dirinya berkaitan dengan
kebutuhan-kebutuhan fa’ali tersebut dalam waktu-waktu tertentu. Dalam berpuasa,
kita sekaligus berusaha mengembangkan potensi diri kita agar mampu membentuk
diri sesuai dengan “peta” Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dengan segala
sifat-sifat-Nya. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW bersabda : “berakhlaklah
(bersifatlah) kamu sekalian dengan sifat-sifat Tuhan”. Jika ditinjau dari segi
hukum puasa, maka sifat Tuhan yang diusahakan untuk diteladani oleh orang yang
berpuasa adalah; (1) Dia Tuhan memberi makan dan minum; dan tidak (diberi)
makan dan minum; dan (2) Dia (Tuhan) tidak memiliki teman wanita (istri). Kedua
hal tersebut terpilih untuk diteladani karena keduanya merupakan kebutuhan
fa’ali manusia yang terpenting, dan keberhasilan dalam pengendaliannya dapat mengantarkan
kepada kesuksesan dalam mengendalikan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Disamping itu, puasa juga telah
mengajarkan kita bagaimana memiliki kepekaan sosial. Selama ini, kita
senantiasa hidup dalam kecukupan, kita tidak pernah merasakan lapar dan haus,
semua kebutuhan senantiasa terpenuhi. Akhirnya kita lupa bahwa pada setiap
harinya, ada banyak orang yang berkutat dengan kemiskinan, mereka sudah tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga setiap
hari mereka hanya bisa menahan lapar dan haus. Dengan berpuasa, kita bisa
merasakan kepedihan yang mereka rasakan setiap saat, dan dengan begitu akan
tumbuhlah rasa solidaritas sosial yang tinggi. Dengan berpuasa kita juga
dibiasakan dengan pola hidup yang sederhana, itulah sebabnya waktu makan dan
minum dibatasi, volume makan dan minum juga dibatasi, agar dalam pemenuhan
kebutuhan makan dan minum kita tidak lakukan melampaui batas. Demikian juga,
dalam berpuasa, meskipun sudah lapar dan haus, kita belum bisa berbuka sebelum
waktu berbuka, pada waktu malam kita bebas makan dan minum tetapi dibatasi oleh
waktu imsak. Kondisi demikian, tanpa sadar kita telah dibiasakan untuk senantiasa
taat pada aturan. Dalam Al-Qur’an Surah Al Baqarah ayat 187 dijelaskan bahwa “dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Setelah satu
bulan penuh kita menunaikan ibadah puasa dan atas karunia-Nya pada hari ini
kita dapat berhari raya bersama, maka sudah sepantasnya pada hari yang bahagia
ini kita bergembira, merayakan kemenangan dan kebahagiaan berkat limpahan rahmat
dan maghfiroh-Nya. Dalam sebuah hadis Qudsi diterangkan yang artinya bahwa : “Apabila
mereka berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian keluar untuk merayakan hari raya
kamu sekalian, maka Allah pun berkata: 'Wahai Malaikatku, setiap orang
yang mengerjakan amal kebajian dan
meminta balasannya, sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka'. Seseorang
kemudian berseru: 'Wahai ummat Muhammad, pulanglah ke tempat tinggal kalian.
Seluruh keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan'. Kemudian Allah pun
berkata: 'Wahai hambaku, kalian telah berpuasa untukku dan berbuka untukku.
Maka bangunlah sebagai orang yang telah mendapatkan ampunan.”
Ibadah puasa yang telah kita jalankan selama sebulan
penuh, dengan penuh ketaatan dan keikhlasan, disertai dengan Qiyamullayl,
tadarrus Qur’an dan dilengkapi dengan menunaikan zakat fitrah menjelang akhir
ramdhan, akan mengantarkan kita pada derajat taqwa, sebagaimana janji Allah dalam
Al-Qur’an, yaitu La’allakum Tattaquwn.
Dalam Al-Qur’an Surah Ali Imran ayat 133 – 134, Allah SWT berfirman yang artinya;
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. (yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang
yang berbuat kebajikan”. Dalam penjelasan ayat tersebut, jelas bahwa
imbalan yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertaqwa adalah Surga
yang luasnya seluas langit dan bumi. Tetapi, ayat tersebut juga memberikan
penjelasan bahwa dimensi Taqwa tidak hanya terkait dengan dimensi personal,
tetapi juga terkait dengan dimensi sosial. Ibadah puasa yang telah kita
jalankan selama sebulan penuh telah mendidik kita bagaimana mencontohi
sifat-sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, kita dapat belajar hidup
sederhana, kita didik diri kita menjadi orang yang jujur, serta menjadi orang
yang taat pada aturan. Semua sifat-sifat itu hadirin, telah menjadikan kita
menjadi orang yang bertakwa, menjadi orang yang saleh secara pribadi. Untuk
mencapai derajat taqwa secara sosial, maka pada momentum Idul fitri ini, kita
dianjurkan untuk melakukan tiga hal.
Pertama, menahan
amarah. Dalam hidup ini, kita tidak bisa dipisahkan dari orang lain. Kita akan
senantiasa bersinggungan, dan pada proses persinggungan itu, bisa jadi membuat
kita tidak senang dan memunculkan emosi, marah, atau kecewa. Maka, kita
dianjurkan untuk menahan amarah, karena amarah senantiasa menjadi sumber
konflik dan malapetaka. Kedua,
memaafkan kesalahan orang lain. Jika kita ingkar atau lupa kepada Allah, maka
pasti Allah akan memaafkan kita, karena beliau adalah Maha Pemaaf dan Maha Pemurah.
Tetapi, kesalahan kita pada orang lain, hanya dapat dimaafkan oleh orang
tempatnya kita berbuat salah. Oleh karena itu, pada momen lebaran ini, mari
kita saling memaafkan, kita saling eratkan tangan, mari kita lupakan segala
salah dan khilaf baik yang disengaja maupun tidak sengaja. Kita adalah manusia
biasa, yang tidak luput dari kesalahan. Tuhan saja mau mengampuni kesalahan
hamba-hamba-Nya, mengapa kita tidak mau memaafkan kesalahan sesama. Ketiga, senantiasa berbuat kebajikan. Orang
yang paling baik dihadapan Allah ialah, bukan yang paling cantik dan rupawan,
bukan yang paling banyak hartanya, juga bukan yang paling tinggi kedudukan dan
pendidikannya; tetapi yang paling baik adalah yang senantiasa berbuat
kebajikan. Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya,
menyerukan pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran, serta senantiasa
beriman kepada Allah. Jika puasa ramadhan telah kita lakukan, lalu kita dapat
menahan amarah, memaafkan kesalahan sesama, dan senantiasa berbuat kebajikan pada
momentum lebaran ini, maka kita pun akan mencapai derajat taqwa yang
sebenar-benarnya. Taqwa dalam dimensi personal, dan taqwa dalam dimensi sosial.
Apabila kedua dimensi taqwa ini dapat kita gapai, maka akan terwujudlah
masyarakat Wakatobi yang Muttaqien,
yaitu masyarakat yang senantiasa hidup dalam bingkai keteraturan, senantiasa
memberikan manfaat bagi sesamanya, serta senantiasa terhindarkan
dari segala macam sanksi dan dampak buruk, baik yang bersifat duniawi maupun
ukhrawi. Berpuasa berarti kita telah mensucikan diri kita, sebelas bulan ke
depan akan menjadi ujiannya. Semoga nilai-nilai puasa dapat kita terapkan dalam
kehidupan kita secara konsisten.
Bagi masyarakat Wakatobi, Idul
fitri kali ini berada dalam haru kepemimpinan baru. Semua
masyarakat patut berbangga karena pada setiap kepemimpinan baru selalu ada visi
dan misi baru, ada program baru, dan tentu ada harapan kesejahteraan. Oleh
karena itu puasa ramadhan serta idul fitri memberikan dua makna penting;
Pertama, Puasa ramadhan sebagai tahapan pembenahan
diri. Dengan berpuasa, kita telah menggembleng diri kita menjadi
pribadi-pribadi yang tidak gampang lapar, tidak gampang haus, dan lebih
terkontrol dalam pemenuhan kebutuhan biologis, sehingga hidup kita tidak
berlebih-lebihan. Kita abaikan pemenuhan kebutuhan materi, lalu kita fokuskan
pada kebutuhan rohani. Korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta segala prilaku
amoral lainnya sering terjadi diakibakan oleh ketidakmampuan kita dalam
mengontrol hawa nafsu. Ketika kita berpuasa berarti kita telah belajar mengontrol
diri agar tidak tergiur pada praktek-praktek yang merugikan kepentingan umum
dan menguntungkan diri sendiri. Kita belajar mengendalikan diri agar tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama. Dengan
puasa juga, kita telah melatih diri kita agar dapat hidup lebih sederhana,
membuang kebiasaan tidak disiplin dan menggantinya dengan sikap disiplin, dan
menghilangkan sikap tidak taat aturan menjadi taat aturan, serta merubah diri
dari tidak jujur menjadi jujur. Terbentuknya pribadi-pribadi yang dapat
mengontrol diri dalam pemenuhan nafsu, senantiasa hidup sederhana, taat aturan
dan hukum, serta jujur, adalah modal yang sangat dibutuhkan untuk menopang
pemerintahan baru ke depan.
Kedua, Idul Fitri sebagai tahapan penguatan
ukhuwah. Seperti halnya ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah dari Mekkah ke
Madinah, langkah awal yang dilakukan adalah mempererat ukhuwah atau
persaudaraan seluruh masyarakat Madinah pada saat itu. Ada kaum Anshor yang
telah lebih dulu memeluk Islam dan bermukim di Madinah, ada kaum muhajirin yang
sudah memeluk Islam dan tinggal di Mekkah tetapi ikut berhijrah bersama
Rasulullah SAW, ada banyak kafilah-kafilah, dan ada Nasrani, Yahudi, serta
Majusi. Hubungan semua kelompok tersebut dipererat melalui ukhuwah, atau
persaudaraan. Ada ukhuwah islamiyah (persaudaraan seiman), ada ukhuwah
wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ada ukhuwah insaniyah (persaudaraan
sesama manusia). Tidak ada yang diberlakukan secara istimewa oleh Rasulullah,
semua masyarakat adalah sama, baik yang seagama maupun yang berbeda agama.
Momentum Idul fitri ini, mari kita jadikan sebagai tahapan penguatan ukhuwah
atau persaudaraan diantara kita semua masyarakat wakatobi. Jika sebelumnya
sempat berbeda, maka mari kita hilangkan perbedaan itu, jika sebelumnya ada
kekhawatiran, maka mari kita ganti dengan membangun optimis. Jika ada salah dan
khilaf, mari kita saling mema’afkan, jika sempat ada prasangka buruk atau
su’uzhon, maka mari kita ganti dengan prasangka baik atau husnuzhon. Kepemimpinan
baru adalah pemimpin kita semua, Bupati baru adalah milik kita bersama. Mari
kita dukung, kita berikan kepercayaan secara penuh, kita saling membantu, mari
kita bahu-membahu dan gotong royong, dan kita yakin bahwa Wakatobi akan semakin
baik lagi. Insya Allah, Wakatobi akan semakin bersinar. Barakallahu li walakum fil qur’anil ‘azhim. Wanafa’niy wa
iyakum min ayati wa zikril hakim. Waqul rabbigfir warham wa anta khairurrahiin.
Belum ada tanggapan untuk "Ibadah Puasa dan Idul Fitri untuk Mewujudkan Masyarakat yang Muttaqien"
Posting Komentar