Diskusi tentang wajah
pendidikan nasional tidak akan pernah usai. Mengapa? Karena diskusi itu hadir
sebagai refleksi dari banyaknya keinginan terutama harapan masyarakat yang
hingga kini belum mampu terjawab secara tuntas melalui jalur pendidikan. Karena
banyaknya keinginan yang belum mampu terjawab, lalu kitapun melakukan komparasi
dengan negara lain yang dianggap sudah lebih maju kualitas pendidikannya. Kita
lalu membandingkan wajah pendidikan yang ada di negeri ini dengan pendidikan di
Finlandia yang dianggap amat sangat maju. Tetapi, apakah adil membandingkannya dengan
Indonesia? Saat ini, penduduk Finlandia hanya diperkirakan sekitar 5.477.359 juta
jiwa; Indonesia berdasarkan data sensus BPS tahun 2010 berpenduduk 237.556.363
juta jiwa (perkiraan 2015 adalah 255.461.700 juta jiwa). Luas wilayah Finlandia
adalah338.424 km² terdiri dari daratan
dan sebagian kecil laut, sedangkan luas wilayah Indonesia adalah 1.904.569 km² (Wikipedia.org), dimana dari
keseluruhan luas tersebut, sebagian besar adalah lautan yang ditaburi oleh
ribuan pulau-pulau didalamnya. Dari segi etnisitas, Finlandia tidak seperti Indonesia yang sangat multikultural. Jika beberapa aspek
tersebut dianggap memberikan pengaruh terhadap pengelolaan pendidikan nasional,
maka tentu tidak bijak mengkomparasikan Indonesia dengan Finlandia. Jangan-jangan,
anggaran pendidikan untuk satu negara Finlandia, hanya cukup untuk membiayai
pendidikan di wilayah Sulawesi atau Indonesia Timur.
Negara
lain, yang juga menjadi sasaran perbandingan adalah Jepang. Argumentasi yang
diajukan adalah karena pernah sama-sama mengalami kehancuran. Jepang pernah
mengalami itu ketika kalah pada perang dunia ke-2 saat kota Hirosima dan Nagasaki
dibuat hancur lebur oleh Bom atom Sekutu. Sedangkan Indonesia pernah hancur lebur
selama masa perjuangan kemerdekaan membebaskan diri dari penjajahan Belanda. Namun
demikian, harus diingat bahwa kehancuran Jepang pasca perang dunia ke-2,
hanyalah kerusakan fisik, tetapi tidak hancur secara psikis. Karakter nasional
Jepang tidak hilang karena kekalahan itu. Mengapa? Karena Jepang hanya
mengalami kekalahan dalam perang, tetapi tidak mengalami penjajahan. Indonesia,
mengalami kehancuran secara fisik dan psikis karena penjajahan selama kurang
lebih 350 Tahun. Selama masa itu, Belanda nampaknya memahami sejarah masa kejayaan
Sriwijaya dan Majapahit. Bahwa salah satu aspek yang menjadikan kedua kerajaan
tersebut mampu mengusai dan berjaya di nusantara adalah karena mereka memiliki
karakter bahari/maritim. Karakter bahari atau maritim adalah karakter tangguh,
berani, jujur, pantang menyerah, egaliter, penakluk, pekerja keras, disiplin,
hemat, penurut, dan tidak takut dengan segala ancaman. Maka apa yang dilakukan
kolonialisme adalah merubah orientasi budaya kita, dari budaya bahari ke budaya
darat. Bahkan, munculnya cerita-cerita tentang angkernya lautan, ganasnya
ombak, banyaknya makhluk yang menyeramkan di laut, dan tidak boleh makan ikan
agar tidak cacingan, ditengarai sebagai cerita yang sengaja dihadirkan oleh
penjajah. Supaya apa? Supaya kita jauh dari kehidupan bahari. Setelah itu
dibuatlah sistem tanam paksa, agar penduduk pribumi berorientasi agraris dengan
menanam tanaman yang hanya dibutuhkan oleh kompeni, lalu dibuatlah jalan yang
menghubungkan Anyer dan Panarukan pada zaman Daendels. Semua itu, dilakukan
agar penduduk pribumi lebih fokus dengan darat dan mengabaikan laut. Dan yang
paling sadis adalah selama masa penjajahan itu, para nenek moyang kita diperlihatkan
dengan role model karakter yang
sangat tidak manusiawi. Jadilah Indonesia terserabut dari akar budayanya,
budaya bahari dengan seluruh karakter excellent-nya
terlupakan, dan justru yang membekas adalah karakter imperialis, karakter perampok,
pemaksa, penindas, mau menang sendiri, serakah, rakus, dengki dan lain-lain, yang
disaksikan selama masa penjajahan. Dengan demikian, menjadi sangat tidak bijak
membandingkan Jepang dengan Indonesia dalam hal kemajuan termasuk dalam pendidikan.
Atau,
terkadang kita selalu membandingkan Indonesia dengan Malaysia. Alasannyaadalah karena pernah ada suatu masa dimana
banyak mahasiswa dari Malaysia yang belajar di Indonesia, dan sekarang justru
terbalik. Nampaknya kita lupa, bahwa Malaysia pernah dijajah tetapi di
cerdaskan oleh Inggris, itulah sebabnya disebut sebagai negara persemakmuran. Sedangkan
Indonesia dijajah dan diintimidasi selama ratusan tahun oleh Belanda tanpa rasa
perikemanusiaan sedikitpun. Sehingga, sekali lagi nampaknya tidak bijak, untuk
membandingkan kedua negara tersebut meskipun serumpun karena sama-sama negara
melayu.
Menatap
wajah pendidikan kita, haruslah dengan pendekatan yang objektif, sehingga
nampak lebih bijak melihatnya. Oleh karena itu, melihat wajah pendidikan nasional
harus membandingkannya dengan Indonesia sendiri bukan dengan negara lain. Dalam
konteks ini, ada dua pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, pendekatan vertikal.
Pendekatan ini mencoba membandingkan kemajuan pendidikan antar rezim, yaitu
pendidikan masa pra-kemerdekaan, pendidikan masa kemerdekaan, dan pendidikan
masa reformasi hingga sekarang; atau pendidikan masa Orde Lama (masa
kepemimpinan Soekarno), pendidikan masa Orde Baru (masa kepemimpinan Soeharto),
pendidikan masa Reformasi (masa kepemimpinan Habibie, Gusdur, dan Megawati),
dan pendidikan masa pasca Reformasi (masa kepemimpinan SBY dan Jokowi). Dengan
demikian, akan tumbuh kesadaran bahwa pendidikan kita sudah sangat maju bila
dibandingkan dengan masa awal kemerdekaan, dan kitapun akan bangga bahwa wajah
pendidikan kita terus mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Bahwa masih ada
sisi-sisi yang dianggap belum maksimal, maka disitulah yang menjadi agenda
pemerintah dan seluruh masyarakat Indonesia, bahwa yang belum maksimal itu akan
terus dimaksimalkan, yang rusak akan terus direhabilitasi, dan yang kurang akan
dilengkapi. Kedua, pendekatan horisontal. Dengan pendekatan
ini, berarti kita akan melihat wajah pendidikan nasional dengan membandingkan
kuantitas dan kualitas pendidikan antar wilayah (Indonesia Barat, Indonesia
Tengah, dan Indonesia Timur), antar pulau (Sumatera, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tengara, Maluku, dan Papua), dan antar Provinsi dan
Kabupaten/Kota se-Indonesia. Dengan pendekatan kedua ini, maka kitapun akan
melihat adanya ketimpangan kualitas dan kualitas pendidikan, baik antar
wilayah, antar pulau, maupun antar Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dan ketimpangan
tersebut bukan hanya pada satu aspek, tapi hampir pada semua aspek.
Ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan, kondisi sekolah, sarana dan
prasarana, buku dan sumber belajar, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah,
siapa yang bertanggungjawab atas ketimpangan tersebut? Presiden, Menteri
Pendidikan, Gubernur, Bupati/Walikota, Kepala Dinas, Kepala Sekolah, atau
Guru?
Jika kita
sepakat bahwa Indonesia ini adalah milik kita bersama, maka berarti tanggung jawab
untuk memperbaiki ketimpangan dalam dunia pendidikan adalah tanggung jawab
bersama pula. Jangan ada ruang untuk saling menyalahkan, dan yang terpenting
adalah berbuat sekecil apapun demi mewujudkan perbaikan. Tugas dan tanggung jawab
itu melekat dipundak kita masing-masing. Guru memiliki tugas dan tanggung jawab
yang harus ia tunaikan, Kepala Sekolah memiliki tugas dan tanggung jawab yang
lebih besar untuk perbaikan kualitas pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan juga
memiliki tugas dan tanggung jawab yang tentu jauh lebih besar, begitupula
Bupati, Gubernur, Menteri Pendidikan, apakah lagi Presiden. Yang salah adalah
kita memiliki tugas dan tanggung jawab, kita mengemban amanah, kita memiliki kemampuan
dan kewenangan, kita memiliki pengetahuan untuk mencerdaskan, tetapi kita
abaikan. Langkah bijak adalah mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki, terus mendukung
program-program pemerintah khususnya dalam peningkatan kualitas pendidikan, dan
terus memupuk rasa bangga dan percaya diri sebagai bangsa Indonesia, serta
selalu yakin bahwa Indonesia ini, bangsa dan negara ini, akan terus maju untuk
menggapai masa ke-emas-annya. Wallahu a’lam bish-shawab.
Cerdas.. trima kasih atas ilmunya..
BalasHapus