Selamat Jalan Kyai Care
Indonesia
kembali kehilangan ulama kharismatik. Berpulangnya KH. Ali Mustafa Yaqub ke
rahmatullah, bagi saya bukan hanya duka bagi keluarga yang ditinggalkan, juga
bukan hanya bagi santrinya di Pondok Pesantren Luhur Darussunnah Pisangan
Barat Ciputat Tangerang Selatan, tetapi duka bagi seluruh kaum muslimin dan
Indonesia. Beliau adalah salah satu ulama yang cerdas dan tegas, yang
senantiasa responsif terhadap berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat dan bangsa. KH. Ali Mustafa Yaqub mulai dikenal oleh publik ketika menjadi kolumnis
tetap di Harian Pelita dan Majalah Amanah. Tulisan-tulisannya yang kritis
dan cerdas dalam merespon berbagai persoalan umat menjadikannya semakin menarik
perhatian publik. Saya sendiri mengenal beliau belum lama, yaitu ketika
dilantik oleh Menteri Agama (Muhammad Maftuh Basyuni) menjadi imam besar Masjid
Istiqlal Jakarta serta karena sering tampil di layar televisi mengisi acara
keagamaan. Seingat saya, salah satu acara yang sering beliau isi adalah Damai Indonesiaku yang tayang disalah
satu televisi swasta setiap hari minggu.
Nama lengkapnya adalah Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub. Lahir pada tanggal 2 Maret 1952 di Batang Jawa Tengah.
Setelah menamatkan pendidikan dasar, pendidikannya dilanjutkan menjadi santri
di Pondok Seblak Jombang Jawa Timur sampai tingkat Tsanawiyah (1966-1969).
Kemudian kembali nyantri di Pesantren Tebuireng Jombang (1969-1971). Pendidikan
formal jenjang S1 diselesaikan pada Fakultas Syariah Universitas Islam Imam
Muhammad bin Saud, Riyadh Saudi Arabia (1976-1980), kemudian melanjutkan pada
jenjang S2 di Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh Saudi Arabia
dengan Spesialisasi Tafsir Hadits (1980-1985). Sedangkan program Doktor diselesaikan
pada Universitas Nizamia, Hyderabad, India, dengan spesialisasi Hukum Islam
(2005-2008). Masa pengabiannya lebih banyak dihabiskan menjadi tenaga pengajar
pada Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ), sampai kemudian memperoleh gelar akademik
tertinggi yaitu sebagai Profesor pada bidang Ilmu Hadits. Beliau juga tercatat
sebagai tenaga Dosen pada Institut Studi Ilmu al-Qur’an (ISIQ/PTIQ), Pengajian
Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi
Ilmu Dakwah (STIDA) Al Hamidiyah, dan IAIN (sekarang UIN) Jakarta
(Wikipedia.org). Disamping itu, beliau pernah menjadi wakil ketua Komisi Fatwa
MUI dan anggota Dewan Syariah Nasional. Memperhatikan riwayat pendidikan yang
ditempuh, maka tidak salah kalau Almarhum disebut sebagai Profesor yang Kyai
atau Kyai yang Profesor. Karena secara akademik, kapasitas keilmuannya diakui
yang dibuktikan dengan perolehan gelar Profesor, dan secara kultural kualitas
keulamaannya tidak diragukan yang dibuktikan dengan pemberian gelar Kyai.
Sepanjang kiprahnya dalam dunia dakwah,
paling tidak saya mencatat ada tiga peristiwa penting yang dapat dijadikan
pelajaran. Pertama, polemik tentang
hadits minum sambil berdiri dengan menggunakan tangan kiri. Polemik ini mencuat
ke publik setelah beredarnya foto Jokowi yang terlihat minum menggunakan tangan
kiri sambil berdiri pada acara buka puasa bersama yang dihadiri ratusan anak
yatim di Istana Negara (Kamis, 18/6/2015). Karena banyaknya kritikan, Ade
Armando (pakar komunikasi UI) kemudian melakukan pembelaan melalui tulisan yang
berjudul “Ketika Keislaman Jokowi Dipersoalkan Karena Minum Sambil Berdiri”.
Dalam tulisan tersebut, Ade menyebut bahwa Hadits riwayat Imam Muslim sebagai “tidak
rasional”. Hadits yang dimaksud adalah yang terjemahannya sebagai berikut:
“Jika seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya. Dan jika
kalian minum, minumlah dengan tangan kanannya, karena setan makan dan minum
dengan tangan kirinya” (HR Muslim). Menanggapi pernyataan itu, Ali Mustafa
Yaqub menegaskan bahwa status hadits tersebut adalah shahih. “Hadits itu masih
berlaku dan shahih, Riwayat Muslim. Selanjutnya ditegaskan bahwa “orang yang
makan minum dengan tangan kiri menyerupai setan. Prilaku setan itu tidak ada
yang boleh ditiru,” tutur beliau. Tanggapannya tentang polemik ini menunjukkan
kapasitas beliau sebagai ulama yang tegas. Pesan yang disampaikan adalah bahwa
kebenaran ajaran agama harus berani disampaikan meskipun itu berat didengar
oleh pemimpin atau Presiden sekalipun. Bagi Kyai Mustafa Yaqub, kebenaran
ajaran agama adalah diatas segalanya.
Kedua,
mendampingi Presiden Obama dan Ibu Michelle Obama berkeliling Masjid Istiqlal. Ketika
Presiden Obama melakukan lawatan kenegaraan di Indonesia, beliau bersama istri
berkesempatan bersilaturrahmi ke Masjid Istiqlal Jakarta. Sepintas, bahwa
peristiwa ini biasa, tapi saya justru menganggapnya sebagai hal yang luar
biasa. Mengapa Obama bersama istrinya ke Masjid Istiqlal? Jawabannya adalah,
karena Obama menaruh simpatik dengan pengelolaan Masjid Istiqlal selama masa
kepemimpinan Ali Mustafa Yaqub. Hal ini juga diakui oleh banyak kalangan, bahwa
dimasa kepemimpinannya fungsi Istiqlal sebagai Masjid Negara dapat diletakkan
kembali. Jawaban lainnya adalah karena Obama bersimpatik dengan cara dakwah
yang dikembangkan oleh Ali Mustafa Yaqub yang senantiasa tegas, tetapi santun,
sejuk dan moderat. Tentu juga, hadirnya Obama di Istiqlal tidak terlepas dari
rasa simpatiknya kepada umat Islam Indonesia yang mayoritas, terbesar di dunia,
tetapi senantiasa rukun dan damai, rahmatan
lil’alamin. Ketiga, memberikan respon
secara positif dan cerdas atas wacana permohonan maaf pemerintah kepada
keluarga eks PKI. Dalam tulisannya yang dimuat pada kolom opini harian
Republika (Sabtu, 03/10/2015) yang diberi judul “Maaf-memaafkan PKI” beliau
mengutip hadits Riwayat Imam Muslim yang artinya “siapa diantara kalian yang
pernah menzalimi saudaranya, baik menzalimi dirinya atau hartanya, maka
hendaklah ia minta dihalalkan (dimaafkan) sebelum datang kematian.” Tetapi
ditegaskan bahwa dalam hadits ini, permintaan maaf atau memberi maaf pada
kesalahan sesama manusia adalah ketika masing-masing masih hidup. Apabila yang
bersangkutan sudah meninggal dunia dan belum saling maaf-memaafkan maka urusan
selanjutnya adalah diselesaikan dalam pengadilan akhirat. Selanjutnya
dijelaskan bahwa dalam ajaran Islam, negara adalah sebuah lembaga atau
institusi dan tidak disebut sebagai mukalaf
(yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab). Mukalaf adalah manusia, bukan institusi. Maka, apabila negara
melakukan kezaliman, yang dikenai tanggung jawab adalah manusia (mukalaf) yang mengelola negara itu. Dalam
konteks ini, pesan yang ingin disampaikan adalah tidak adanya relevansi dan
urgensi bagi Pemerintah untuk meminta maaf kepada keluarga eks PKI, karena
dalam Islam tidak pernah mengenal dosa warisan apakah lagi maaf warisan. Dari
sini nampak bahwa beliau adalah Ulama yang senantiasa memberikan solusi atas
berbagai persoalan umat dengan senantiasa berpegang pada pengetahuan hadits
yang menjadi concern-nya.
Kini, beliau sudah kembali menghadap
keharibaan Ilahi. Pengabdiannya dalam bidang dakwah bagi kita mungkin belum
cukup karena memang masih dibutuhkan, tapi Yang Maha Kuasa menganggapnya sudah
cukup. Selamat jalan Kyai Care (penuh
perhatian). Bagaimanapun, perhatiannya atas berbagai persoalan umat bagiku
layak untuk diberikan predikat yang demikian. Semoga Allah mengampuni segala
salah dan khilafnya, memberikannya rahmat, melapangkan kuburnya, menerima amal
ibadahnya, dan menempatkannya di Surga bersama para syuhada. Dan semoga Allah dapat menggantikannya dengan puluhan “the New” Ali Mustafa Yaqub. Wallahu a’lam bish-shawab.
Postingan terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Selamat Jalan Kyai Care"
Posting Komentar