Sekolah dan Fenomena Obesitas pada Anak
|
Arya Permana |
Dalam satu minggu terakhir
masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan seorang anak dari Kabupaten Karawang, bernama
Arya Permana yang mengalami obesitas
dengan berat badan mencapai 190 kg. Masalah ini mendapatkan liputan
utama dari media cetak dan elektronik setelah orang tua Arya memilih membawa
anaknya ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung untuk mendapatkan perawatan
khusus dari dokter mengingat bahwa ukuran berat badan anaknya semakin hari
semakin bertambah. Berat badan Arya dianggap telah melampaui batas kewajaran
mengingat bahwa sang anak baru berusia 10 tahun. Menurut dr. Julistyo TB
(dokter yang menangani Arya di RSHS), berat badan ideal untuk anak seumuran
Arya dengan tinggi badan sekitar 1,47 meter adalah 50 kg.
Oleh banyak pengamat, obesitas di
Indonesia dianggap sebagai fenomena gunung es, yang nampak baru sedikit tetapi
sesungguhya banyak namun belum terpublikasi. Jurnal Medis The Lancet pernah
merilis daftar negara-negara dengan tingkat obesitas tertinggi di dunia dan
Indonesia berada diperingkat ke-10. Riset Institut Pengukuran dan Evaluasi
Kesehatan (IHME) Amerika Serikat dalam jurnal The Lancet, menyebutkan jumlah
orang gemuk di dunia naik dari 875 juta orang pada 1980 menjadi 2, 1 miliar
orang pada 2013 (kompas.com/Jumat, 15 Juli 2016). Ini artinya Arya Permana
tidak seorang diri, tapi ada banyak temannya. Orang tua cenderung membiarkan
karena menganggap kegemukan sebagai sesuatu yang biasa, bukan penyakit. Bahkan
pada kalangan tertentu, kegemukan dianggap sebagai bentuk kesehatan sekaligus
sebagai lambang kesejahteraan. Ada anggapan bahwa jika anak gemuk berarti
sehat, dengan demikian memiliki orang tua yang sejahtera. Kalaupun orang tua
tidak masuk kategori sejahtera, paling tidak mereka tidak ingin menampakkan
kemiskinan yang mereka alami pada kondisi fisik anak-anak mereka, pandangan ini
masih berkembang pada banyak masyarakat. Disamping itu, semakin padatnya
aktivitas orang tua berakibat pada kurang terkontrolnya pola makan anak. Orang
tua lebih banyak memilih option memberikan uang kepada anak-anaknya,
lalu anaklah yang menentukan apa, kapan, dan dimana dia makan. Pola ini tanpa
sadar telah membuka ruang terjadinya obesitas pada anak. Lantas, adakah
hubungan antara sekolah dengan fenomena obesitas pada anak?
Dalam tinjauan medis, obesitas dapat
disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kebiasaan makan atau pola makan
(porsi makan banyak dan bisa sampai 4 atau 5 kali dalam sehari), suka
mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula, orang tua terlalu
memanjakan anak dengan uang jajan berlebih, anak terpengaruh oleh iklan makanan
dan minuman di televisi, faktor genetika atau bawaan, dan sebagainya. Tetapi
dalam perspektif pendidikan, terjadinya obesitas pada anak (terutama anak usia
sekolah) dapat disebabkan oleh tidak adanya pendidikan pola makan dan gaya
hidup di sekolah. Pemahaman mengenai pola makan yang sehat serta gaya hidup
yang sesuai dengan tuntunan agama belum diajarkan kepada peserta didik. Kesan
yang muncul adalah sekolah ikut membiarkan kalau tidak dikatakan ikut mendorong
terbentuknya pola makan yang tidak teratur pada peserta didik. Dalam konteks
inilah, sekolah memiliki keterkaitan dengan fenomena obesitas pada anak,
terutama peserta didik.
Berangkat
dari paradigma struktural fungsional yang memandang sekolah sebagai arena
mewujudkan keteraturan sosial. Menurut teori struktural fungsional, sekolah
mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan masyarakat menjadi cerdas,
berbudaya, memelihara keteraturan, serta mewujudkan pembangunan. Tanpa sekolah,
masyarakat akan mengalami kesulitan dalam berkembang, tidak akan tumbuh menjadi
dewasa dan cerdas, serta tidak akan memberikan manfaat. Jika kita maknai
obesitas pada anak sebagai wujud tidak adanya keteraturan dalam masyarakat, maka
sekolah harus kita lihat sebagai salah satu institusi yang selayaknya ikut
bertanggungjawab. Sekolah dapat dianggap telah lalai memberikan pemahaman
kepada anak tentang pentingnya menjaga pola makan, sehingga asupan nutrisi pada
anak tidak seimbang. Sekolah hanya berkutat dengan urusan pencapaian target
kurikulum, sehingga apa yang diberikan kepada peserta didik tidak lebih dari
struktur kurikulum yang ada. Menjaga pola makan dan gaya hidup tidak ada dalam
struktur kurikulum, demikian juga belum ditemukan dalam content atau
materi pelajaran. Oleh karena kegiatan pembelajaran di sekolah hanya mengacu
pada struktur kurikulum, maka pengetahuan mengenai pentingnya menjaga pola
makan dan gaya hidup tidak pernah diajarkan kepada peserta didik. Padahal, jika
sekolah konsisten dengan tugas dan fungsinya untuk mengajar, membina, dan
mendidik peserta didik, maka ruang kearah tersebut sangat terbuka.
Pertama,
sekolah dapat memaksimalkan kegiatan intra-kurikuler. Secara eksplisit, pemahaman
mengenai pola makan dan gaya hidup sehat mungkin tidak akan ditemukan pada
struktur mata pelajaran di sekolah, setapi secara implisit dapat ditemukan pada
mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan. Dengan demikian,
pemahaman mengenai pola makan dan gaya hidup sehat dapat dimaksimalkan pada
pembelajaran penjasorkes melalui pendekatan kontekstual. Oleh karena fenomena
obesitas pada anak sedang mengemuka, dan bisa jadi diantara siswa ada yang
berpotensi obesitas, maka pengetahuan kearah kesadaran mengenai pola makan yang
sehat perlu ditumbuhkan. Disini, peran guru penjasorkes sangat dibutuhkan. Langkah
lain yang dapat dilakukan adalah memaksimalkan fungsi dan peran guru BP
(bimbingan dan konseling). Semua siswa yang memiliki berat badan diatas normal
dilakukan pendataan, lalu dilakukan konseling khusus oleh guru BP untuk
menumbuhkan pengetahuan dan kesadaran pola makan yang sehat. Dengan langkah
ini, anak-anak akan membiasakan diri dengan pola makan yang sehat, baik di
rumah, sekolah, maupun masyarakat.
Kedua,
sekolah dapat mengembangkan kegiatan ekstra-kurikuler. Kegiatan ekstra
kurikuler adalah kegiatan yang dilakukan diluar kelas. Biasanya masih dalam
lingkungan sekolah atau dilaksanakan di alam terbuka (luar sekolah). Berbagai
kegiatan ekstra kurikuler yang dapat dimaksimalkan misalnya; UKS (unit
kesehatan sekolah), Pramuka (praja muda karana), kelompok siswa pencinta alam,
sanggar seni budaya, dan sebagainya. Dalam kegiatan ekstra kurikuler, memang
tidak secara langsung mengajarkan siswa tentang pola makan yang teratur.
Tetapi, sifat kegiatan yang membutuhkan mobilitas tinggi, menuntut siswa untuk
senantiasa bergerak, serta membentuk cara pandang siswa, dengan sendirinya akan
menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya pola hidup sehat dan teratur.
Tumbuhnya kesadaran tentang pola hidup sehat dengan sendirinya akan membiasakan
siswa untuk pandai menjaga pola makan. Dengan pola makan dan minum yang tidak
berlebihan serta senantiasa bergerak akan menghindarkan siswa dari ancaman
obesitas.
Tentu,
kurang bijak juga jika masalah obesitas pada anak (anak sekolah) dibebankan
sepenuhnya pada sekolah. Oleh karena itu perlu ada kerjasama yang baik antara
sekolah dengan keluarga. Anak berasal dari institusi keluarga, lalu dibawa ke
institusi sekolah untuk diajar, dididik, dan dibina, sebelum memasuki institusi
yang lebih luas yaitu masyarakat. Lingkungan keluarga harus diciptakan sebaik
mungkin sehingga anak dapat terjaga pola makannya secara teratur, demikian juga
di lingkungan sekolah harus diciptakan situasi yang dapat menumbuhkan kesadaran
anak tentang pentingnya pola hidup sehat. Dengan demikian, ada simbosis
mutualisme antara keluarga dan sekolah dalam menumbuhkan kesadaran tentang pola
makan dan gaya hidup yang sehat bagi anak. Wallahu a’lam bish-shwab
Postingan terkait:
Belum ada tanggapan untuk "Sekolah dan Fenomena Obesitas pada Anak"
Posting Komentar