'Kutika' dan Semarak Pesta di Bulan Syawal



Tamburu Liya

Pasca Idul Fitri masyarakat Wakatobi betul-betul berpesta. Hampir setiap sudut jalan, kita menemukan adanya pesta dengan beragam kemasan. Ada pesta yang bernuansa adat (seperti; Posepa’a, Kabuenga, dan Lemba’a) dan ada pesta dalam nuansa agama, seperti pernikahan, akikah, maupun sunatan. Uniknya, setiap pesta pasti akan menyuguhkan acara joget dengan iringan musik dangdut yang menjadikan suasana semakin meriah. Pada malam hari suara alunan musik dangdut dari setiap penyelenggaran pesta saling bersahutan antara satu dengan yang lain. Situasi ini selalu terjadi pada bulan Syawal dan bulan Zulhijjah. Pada bulan-bulan yang lain ada juga pesta, tetapi tidak sesemarak pada bulan Syawal atau Zulhijjah. Masyarakat Wakatobi meyakini bahwa dua bulan tersebut adalah bulan yang paling baik dibanding bulan yang lainnya. Tolok ukurnya adalah karena pada kedua bulan tersebut Allah menetapkan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri pada bulan Syawal, dan hari raya Idul Adha pada bulan Zulhijjah. Jadilah masyarakat seolah berlomba memperebutkan hari baik guna melaksanakan hajatan.

Seperti pada masyarakat Jawa yang mempercayai adanya hari baik dan buruk, masyarakat Wakatobi mempunyai keyakinan yang sama. Bedanya, jika pada masyarakat Jawa, pengetahun untuk memahami hari baik dan buruk diketahui melalui Primbon, orang Wakatobi mengenalnya dengan istilah Kutika. Orang yang ahli dalam menentukan hari baik dan buruk disebut Pande Kutika, sedangkan aktivitas menentukan hari baik oleh Pande (ahli) Kutika disebut Hekutika. Dengan pendekatan Kutika, hari baik dan buruk dapat dipetakan oleh Pande Kutika. Biasanya, hari baik selalu jatuh pada hitungan bulan (bulan dilangit) ganjil, sedangkan hari buruk atau naas selalu jatuh pada hitungan bulan genap. Tetapi, penentuan hari baik sangat erat hubungannya dengan bulan. Meskipun bilangan hari masuk kategori ganjil, tetapi bulannya bukan bulan baik, maka hari dalam hitungan ganjil pada bulan tersebut tetap tidak baik. Misalnya, bulan Muharram. Dalam perspektif Kutika, bulan Muharram adalah bulan yang kurang baik, sehingga semua hari dalam bulan ini kurang baik untuk digunakan hajatan atau acara. Mungkin inilah penyebab mengapa masyarakat Wakatobi pada umumnya pantang melakukan hajatan dibulan Muharram. Atau, bisa jadi bulannya dianggap bulan yang baik, tetapi hari dalam bulan baik tersebut masuk dalam hitungan genap, maka hari tersebut dianggap kurang baik. Dalam konteks ini, peranan Pande Kutika dalam menentukan bulan dan hari baik sangat sentral.

Tradisi Lemba'a

Hal yang menarik adalah, pasca lebaran pesta tidak mengenal kata putus. Sejak hari pertama sesudah lebaran hingga kini pesta masih terus ada. Saya lalu terpikir, bahwa nampaknya ada pergeseran pendekatan dalam menentukan hari baik selama bulan Syawal. Atau bisa jadi ada pendekatan lain, alias tidak lagi menggunakan kutika untuk menentukan hari baik. Karena jika menggunakan kutika, maka pasti akan ada jedanya pesta yaitu ketika hitungan hari masuk pada hitungan genap. Tetapi selama bulan Syawal semua hari digunakan oleh masyarakat untuk melangsungkan hajatan. Masyarakat seolah tidak lagi mengenal hitungan ganjil dan hitungan genap sesudah lebaran. Jadilah semua hari adalah baik selama syawal. Saya lalu mencoba menghimpun informasi dari berbagai sumber dan akhirnya ditemukanlah penyebab mengapa semua hari selama bulan Syawal dikategorikan baik, tidak seperti bulan yang lain. Dan ini pula yang menjadi penyebab mengapa pesta selama bulan Syawal sangat semarak.

Ada dua pendekatan dalam menentukan hari baik dalam perspektif Kutika, yaitu Asa Awalu dan Asa Akhiru. Kalau kita Indonesiakan, Asa Awalu berarti hitungan bulan yang dikedepankan. Cara yang digunakan untuk menentukan hari baik pada Asa Awalu adalah hitungan bulan satu jatuh pada bulan ketiga puluh. Artinya, hitungan ketiga puluh pada bulan sebelumnya menjadi pijakan menghitung satu (awal) untuk bulan selanjutnya. Contoh hitungan bulan yang dikedepankan (Asa Awalu) adalah tanggal 30 Ramadhan sekaligus tanggal 1 Syawal. Sedangkan Asa Akhiru adalah hitungan bulan yang dibelakangkan. Cara menghitung bulan baik dengan pendekatan ini adalah hitungan bulan satu jatuh satu hari setelah bulan ke tiga puluh. Dengan demikian, menentukan 1 Syawal adalah satu hari setelah tanggal 30 Ramadhan. Sederhananya adalah, Asa Awalu menghitung satu bersamaan dengan bulan ketiga puluh, sedangkan Asa Akhiru menghitung satu setelah bulan ketiga puluh. Konsekuensinya adalah semua hari atau bulan selama syawal adalah hari baik. Hitungan ganjil selama bulan Syawal adalah hari baik menurut Asa Awalu, sedangkan hitungan genap yang oleh Asa Awalu dianggap tidak baik justru menjadi hari baik menurut Asa Akhiru. Dengan demikian, selama bulan Syawal, ada lima belas hari yang baik menurut hitungan bulan yang dikedepankan dan ada lima belas hari yang baik menurut hitungan bulan yang dibelakangkan. Nampaknya, inilah sebab mengapa pesta dibulan Syawal begitu semarak. Selain bulannya adalah bulan yang sangat baik, semua harinya juga adalah hari yang sangat baik menurut dua versi hitungan Kutika. Lalu, mengapa ada hari yang baik dan hari yang tidak baik? Tentu argumentasinya harus ditanyakan kepada Pande Kutika. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "'Kutika' dan Semarak Pesta di Bulan Syawal"

Posting Komentar