Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Perspektif Humanis Religius



www.fastabiqu.com
Indonesia pernah mengalami masa yang begitu kelam, yaitu ketika mengalami penjajahan dan penindasan. Masa kelam itu begitu lama yaitu selama kurang lebih 350 tahun, sehingga meninggalkan traumatik yang mendalam bukan hanya bagi generasi pendahulu, tetapi sampai pada generasi masa sekarang. Bahkan pada hal-hal tertentu, terkadang Indonesia masih menempatkan diri sebagai bangsa yang inlander atau bangsa yang terjajah. Sifat ketergantungan terhadap bangsa asing atau negara lain terkadang masih dominan, sehingga oleh sebagian kalangan menganggap bahwa Indonesia belum merdeka dengan sebenar-benarnya (the truly of independent). Segala sesuatu masih serba impor alias bergantung kepada negara-negara lain. Misalnya; kita masih terus mengimpor beras, terigu, gula, kedelai, sapi, bahkan yang lebih ironi adalah kita masih mengimpor garam padahal negeri ini adalah negara bahari terluas di dunia. Indonesia adalah negara kepulauan terluas dan terbanyak dengan jumlah lebih dari 13.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari keseluruhan pulaunya, baru diperkirakan 6.000 pulau yang dihuni manusia (Daulat P. Tampubolon; 2001, 1).
Namun demikian, kita juga patut berbangga bahwa negeri ini memiliki para pendahulu yang begitu gigih memperjuangkan Indonesia agar terbebas dari penjajahan. Mereka memiliki keterbatasan persenjataan, memiliki modal finansial seadanya, tapi memiliki jiwa nasionalisime yang kuat, semangat persatuan yang kokoh sehingga secara konsisten berjuang merebut kemerdekaan. Ada yang meninggal sebelum perjuangannya berhasil merebut kemerdekaan, tetapi mereka telah mampu meletakkan fondasi dan semangat perjuangan sehingga terwariskan pada setiap generasi penerus. Kelompok ini, dalam perspektif historis dikenal sebagai pahlawan pra-kemerdekaan. Mereka berjuang merebut kemerdekaan, tetapi meninggal belum sampai mencapai kemerdekaan. Ada juga yang perjuangannya dilakukan sampai mencapai kemerdekaan, berhasil mengusir penjajah dari negeri tercinta ini, berhasil mengibarkan bendera merah putih, dan ikut merumuskan dan membacakan Proklamasi kemerdekaan. Mereka yang tergabung ke dalam kelompok ini dalam perspektif sejarah dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan. Baik pahlawan pra-kemerdekaan, maupun pahlawan kemerdekaan, memiliki peran yang sama penting dengan ukuran yang tidak ternilai dalam perjuangan mencapai kemerdekaan. Sebagai penghargaan atas jasanya, baik pahlawan pra-kemerdekaan maupun pahlawan kemerdekaan, keduanya diistilahkan dengan Pahlawan Nasional.
Diantara sekian banyak tokoh yang tergabung dalam kategori pahlawan pra kemerdekaan adalah K.H Ahmad Dahlan. Tokoh kharismatik ini dikenal sebagai pendiri organisasi keagamaan yang disebut Muhammadiyah. Kisah tentang peperangan yang dilakukan untuk menentang penjajah memang tidak terlalu banyak. Tetapi perjuangannya melalui Muhammadiyah diakui telah banyak memberikan pencerahan kepada masyarakat. Pada satu sisi, kegiatan amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan untuk memberantas praktek keagamaan yang dianggap sudah melenceng dari ajaran Islam (Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat) telah menumbuhkan keasadaran beragama bagi umat Islam Indonesia yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Pada sisi yang lain, sistem pendidikan yang telah dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah ikut mengambil peran yang tidak sedikit dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Masyarakat Indonesia mengalami penindasan, pembodohan, kerja paksa, dan segala perbuatan yang tidak manusia dari penjajah dalam kurun waktu yang tidak singkat. Sekolah disediakan oleh Belanda hanya untuk kalangan tertentu saja, dan hanya untuk kepentingan memperkokoh penjajahan. Akibatnya masyarakat konsisten dengan kebodohannya. Muhammadiyah dengan sistem pendidikannya yang khas telah menjadi wadah menumbuhkan pengetahuan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia sehingga menyadari nasib bangsanya yang terjajah. Melalui sekolah-sekolah Muhammadiyah, lahirlah generasi-generasi yang cerdas dan pemberani yang kemudian secara bersama-sama berjuang merebut kemerdekaan. Jenderal Sudirman, Presiden Sukarno, dan Presiden Suharto, adalah tiga diantara sekian banyak pejuang yang merupakan alumni sekolah Muhammadiyah.
Dalam konteks ini, penting untuk menguraikan pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religious. Melalui perspektif humanis, kita dapat memahami dimensi-dimensi kemanusiaan yang menjadi fokus K.H Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah, dan dengan perspektif religius kita dapat mengetengahkan landasan dan tujuan perjuangannya melalui Muhammadiyah. Antara gagasan pembaharuan K.H Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan. Mengapa? Karena selain Muhammadiyah diposisikan sebagai wahana dakwah dalam pemberantasan Tahayyul, Bid’ah, dan Churafat (TBC) yang menjadi symbol kejumudan Umat Islam Indonesia pada saat itu, Muhammadiyah sendiri adalah wujud konkrit dari ide-ide pembaharuan K.H Ahmad Dahlan. Tanpa Muhammadiyah, nampaknya akan sulit menghadirkan pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan secara komprehensif.

Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
Nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah pada tahun 1285 H (1868 M). Kyai Haji Abu Bakar adalah Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya Siti Aminah adalah puteri dari H. Ibrahim yang merupakan penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu. Kampung Kauman sebagai tempat kelahiran dan tempat Muhammad Darwis dibesarkan merupakan lingkungan keagamaan yang sangat kuat, yang berpengaruh besar dalam perjalanan hidup Muhammad Darwis di kemudian hari. K.H Ahmad Dahlan belajar mengaji sekitar tahun 1875 dan masuk pondok pesantren. Sejak kanak-kanak Muhammad Darwis kecil sudah diberikan pelajaran  dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada di dalam masyarakat lingkungannya. Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar merupakan hasil otodidaknya, kemampuan membaca dan menulisnya diperoleh dari belajar kepada ayahnya, sahabatnya dan saudara-saudaranya. Ia di didik sendiri melalui cara pengajian yaitu dengan menirukan kalimat-kalimat atau bacaan yang diajarkan oleh ayahnya (Asrofie M. Yusron; 1983, 21).
Ketika masih muda, K.H Ahmad Dahlan terkenal memiliki pikiran yang cerdas dan memiliki akal budi yang bersih dan baik. Pendidikan agama yang diterima dipilih secara selektif tidak hanya itu tetapi sesudah dipikirkan di bawa dalam perenungan-perenungan, ingin dilaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Waktu menjelang dewasa K.H Ahmad Dahlan belajar Ilmu Fiqih kepada KH Muhammad Shaleh, belajar Ilmu Nahwu kepada K.H Muhsin, kemudian gurunya yang lain ialah KH Abdul Hamid. Keahlian dalam Ilmu Falaq, diperoleh dari belajar dan berguru kepada K.H Raden Dahlan salah seorang putra Kyai Termas dan yang terakhir Ilmu Hadits dipelajarinya dari Kyai Mahfud dan Syekh Khayyat.
Pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau berangkat ke Makkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam. Setelah kembali ke Yogyakarta K.H Ahmad Dahlan membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak namun pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan sering pula K.H Ahmad Dahlan mewakili ayahnya memberikan pelajaran keagamaan kepada orang-orang yang usianya lebih tua dari dirinya sendiri. Keadaan itu telah menyebabkan pengaruhnya dalam masyarakat semakin luas karena masyarakat semakin yakin bahwa K.H Ahmad Dahlan adalah seorang yang memiliki ketaatan beragama yang baik serta mempunyai pengetahuan yang luas, baik dalam ilmu maupun dalam penalangan akal budi. Oleh sebab itu, K.H Ahmad Dahlan diberikan gelar “Kyai”.  Menurut catatan Junus Salam, beberapa buku yang pernah dibaca oleh K.H Ahmad Dahlan diantaranya adalah; Kitab Tauhid, Tafsir Juz’Amma, ai-Islam wa an-Nashraniyyah (ketiganya karya Muhammad Abduh), Kanzul Ulum, Dairatul Ma’arif (karya Farid Wajdi), at-Tawassul wa al-Washilah (karya Ibnu Taimiyah), Izharul Haq (karya Rahmatullah al-Hindi), Tafsir al-Manar (karya Rasyid Ridha), Matan al-Hikam (karya Ibn Athaillah), al-Qashaid ath-Tahsiyah (karya Abdullah Al-Attas), Tafsilu an-Nasyatain Tafsilu asy-Syahadatain, kitab-kitab hadis karangan ulama mazhab Hambali, majalah al-Urwatu al-Wustaqa, dan lain-lain (Mu’arif; 2014, 136).
Dalam silsilah keluarga, beliau termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali Songo (wali Sembilan), yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di tanah Jawa.

Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Menurut K.H. Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan utnuk menciptakan individu yang salih dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya, pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang didalamnya tidak diajarkan agama sama sekali.
Melihat ketimpangan tersebut K.H Ahamd Dahlan berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sempurna adalah melahirkan individu yang utuh menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spritual serta dunia dan akhirat. Bagi K.H. Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-umum, material-spritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa KH. Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama dan ilmu umum sekaligus di Madrasah Muhammadiyah. Bagi K.H Ahmad Dahlan, kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi tiga hal, yaitu; 1) Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, 2) Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat, dan 3) Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
Pada masa sebelum kemerdekaan, ada dua sistem pendidikan yang berkembang di Indonesia, yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan barat. Pendidikan pesantren lebih banyak dikembangkan oleh para pemuka Agama khususnya yang berafiliasi dengan Nahdatul Ulama (NU), sedangkan pendidikan barat adalah yang dikembangkan oleh Belanda. K.H Ahmad Dahlan berpandangan bahwa, ada problem mendasar berkaitan dengan lembaga pendidikan di kalangan umat Islam, khususnya lembaga pendidikan pesantren. Menurut Syamsul Nizar, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam, menerangkan bahwa problem tersebut berkaitan dengan proses belajar-mengajar, kurikulum, dan materi pendidikan. Berdasarkan realitas pendidikan tersebut, K.H. Ahmad Dahlan menawarkan sebuah metode sintesis antara metode pendidikan modern Barat dengan metode pendidikan pesantren. Dari sini tampak bahwa lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh K.H. Ahmad Dahlan berbeda dengan lembaga pendidikan Pondok Pesantren dan lembaga Pendidikan Barat. Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan bercorak kontekstual melalui proses dialogis dan penyadaran. Dengan demikian, penekanan materi pelajaran tidak dipahami secara dogmatis, tetapi dipahami secara dialektis. Contoh klasik adalah ketika beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-miskin, dan harus mengamalkan isinya. Bagi K.H Ahmad Dahlan, pelajaran agama tidak cukup hanya dihafalkan atau dipahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. Pada konteks ini, Ahmad Dahlan menekankan pentingnya kontekstualisasi pemahaman Agama. Artinya, pemahaman agama tidak cukup pada tingkatan tekstual, tetapi harus dapat diaplikasikan secara kontekstual. Beberapa perbedaan model belajar yang digunakan pada pendidikan di pesantren dengan pendidikan yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
  1. Cara belajar-mengajar di pesantren menggunakan sistem Weton dan Sorogal, sedangkan pada Madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan menggunakan sistem masihal seperti yang diterapkan pada sekolah Belanda.
  2. Bahan pelajaran di pesantren mengambil kitab-kitab agama (klasik). Sedangkan pada madrasah yang dibangun Ahmad Dahlan bahan pelajarannya diambil dari buku-buku umum.
  3. Hubungan antara guru-murid, di pesantren hubungan guru-murid biasanya terkesan otoriter karena para kiai memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Sedangkan pada madrasah yang dibangun oleh K.H Ahmad Dahlan mulai mengembangkan hubungan guru-murid yang akrab.
 Muhammadiyah menanamkan keyakinan paham tentang Islam dalam sistem pendidikan dan pengajaran.  Penerapan sistem pendidikan Muhammadiyah ini ternyata membawa hasil yang tidak ternilai harganya bagi kemajuan, bangsa Indonesia pada umumnya dan khususnya umat Islam di Indonesia. Pada pendidikan Muhammadiyah, posisi guru memegang peranan yang sangat penting di sekolah dalam upaya menciptakan peserta didik seperti yang dicita-citakan oleh Muhammadiyah. Peranan Guru memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah dengan senantiasa berpegang teguh pada misi pendirian Muhammadiyah yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Dengan memahami dan menghayati serta ikut beramal dalam Muhammadiyah, para guru dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang dicita-citakan Muhammadiyah, yaitu menyerukan pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran. Muhammadiyah berusaha mengembalikan ajaran islam pada sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Muhammadiyah bertujuan meluaskan dan mempertinggi pendidikan agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia.
Dalam dunia pendidikan dan pengajaran Muhammadiyah telah mengadakan pembaruan Pendidikan Agama. Modernisasi dalam sistem pendidikan dijalankan dengan menukar sistem pondok pesantren dengan pendidikan modern sesuai dengan tuntutan dan kehendak zaman. Pengajaran agama Islam diberikan di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Muhammadiyah telah mendirikan sekolah-sekolah baik yang khas agama maupun yang bersifat umum.
Selain memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan sebagai uraian tersebut, secara spesifik pemikiran dapat dipahami pada tiga aspek, yaitu;
1.     Tujuan dan Model Pendidikan
Setelah berdirinya Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912, rintisan sekolah K.H Ahmad Dahlan dikelola dibawah manajemen Hoofdbestuur Muhammadiyah bagian Sekolahan (Departemen van Onderwijs). Amal usaha pendidikan Muhammadiyah merupakan  alat untuk mencapai Persyarikatan Muhammadiyah.  Dalam statuta Muhammadiyah tahun 1912, tujuan persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai berikut: “(a) menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan (b) memajukan hal agama kepada angggota-anggotanya.” Untuk mencapai tujuan tersebut, Muhammadiyah mendirikan berbagai amal usaha, diantaranya adalah sekolah-sekolah.
Model pendidikan yang pertama kali dirintis oleh K.H Ahmad Dahlan adalah Madrasah. Model pendidikan ini sebenarnya bukan hal baru karena sudah pernah berkembang dan mencapai puncak kejayaan pada masa Nizamul Mulk. Sistem Madrasah pada abad pertengahan yang tergolong modern. Akan tetapi berdasarkan sumber Mehdi Nakosteen, sistem madrasah pada abad pertengahan masih sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. sebab, penyelenggaraan madrasah pada waktu itu memang bersinggungan dengan gesekan politik antara kaum Sunni dan Syi’ah (Mu’arif;2014, 142).
Di Tanah Air, model madrasah pertama kali dirintis  di Padang Panjang  pada tahun 1907. Madrasah tersebut bernama Adabiyah School, pendirinya adalah Haji Abdullah Ahmad. Hanya saja, sistem baru ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Pada kenyataannya, Adabiyah School di Padang Panjang tidak bertahan lama karena belum genap satu tahun sudah ditutup. Sumber-sumber yang dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad terhadap pemikiran K.H Ahmad Dahlan memang belum ditemukan hingga kini. Dengan demikian, model madrasah dengan sisten kurikulum integral dapat dikatakan sebagai gagasan murni K.H Ahmad Dahlan. Akan tetapi, apabila dikemudian hari ditemukan sumber-sumber yang dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemikiran Haji Abdullah Ahmad kepada K.H Ahmad Dahlan, model Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hanya sebatas adopsi gagasan tokoh pendiri Adabiyah School tersebut (Ibid, 142-143).
2.     Peran Guru dan Murid
K.H Ahmad Dahlan, selain dipandang sebagai seorang ulama, juga berperan sebagai guru bagi para pengikutnya. Sebagai ulama dan guru sekaligus tentu mempunyai cara pandang tersendiri bagaimana membangun interaksi dengan murid-muridnya sehingga tercipta suasana yang edukatif. Salah seorang murid K.H Ahmad Dahlan yang bernama Badilah Zuber menguraikan bahwa peran K.H Ahmad Dahlan dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai pemandu atau pembimbing belajar. Dalam proses membimbing peserta didik, guru dituntut bersabar ketika menghadapi berbagai kelakuan para murid.
Cara pandang K.H Ahmad Dahlan dalam menghadapi murid muridnya yang nakal termasuk unik. Menurutnya, murid-murid yang nakal justru dipahami sebagai manifestasi kehendak dan kebebasan yang akan menentukan dalam proses pembentukan karakter. Murid-murid yang nakal (mbeling) diartikan sebagai ekspresi kreatif yang butuh bimbingan. Dalam membimbing murid-murid, Kyai Dahlan berpesan agar ikhlas dan senang belajar menuntut ilmu. Apabila berhadapan dengan murid yang enggan belajar, tetapi selalu mengharapkan cepat lulus, K.H Ahmad Dahlan akan memberi peringatan. Sebaliknya, apabila terdapat murid yang serius belajar, tetapi prestasi di kelas tidak pernah bertambah, maka akan diberinya semangat atau support.
Sebagai seorang guru, K.H Ahmad Dahlan selalu kreatif dalam menyampaikan pelajaran. Metode yang digunakan cenderung variatif sehingga tidak membosankan. Metode yang paling sering digunakan adalah metode dialog. Dalam proses mengajar, K.H Ahmad Dahlan tidak keberatan menjawab semua pertanyaan peserta didi secara tuntas sehingga secara psikologis membekas pada peserta didik. Salah satu bukti kreativitas K.H. Ahmad Dahlan dalam mengajar adalah ketika murid-muridnya diajak tamasya ke Taman Sriwedari di Solo. Surat kabar Bromartani edisi 15 September 1915 memberitakan peristiwa ketika murid-murid K.H Ahmad Dahlan yang sedang bertamasya dibuntuti pencopet. K.H Ahmad Dahlan sebagai seorang guru harus bersabar menghadapi musibah tersebut (Ibid; 143-144).
3.     Kurikulum dan Pembelajaran
Wujud kecerdasan K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pemikiran pendidikan adalah ketika mampu mengembangkan pendekatan yang memadukan pengetahuan umum dan pengetahuan agama melalui madrasah. Tidak seperti madrasah pada umumnya yang hanya mengajarkan pengetahuan agama, madrasah yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan, selain mengajarkan pengetahuan agama juga mengajarkan pengetahuan umum. Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah hasil eksperimen K.H Ahmad Dahlan dapat dikatakan berhasil dalam integrasi keilmuan. Karena, selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Dalam perspektif pendidikan Islam, dapat dikatakan sebagai madrasah plus, sedangkan dalam perspektif sekolah umum dapat dikatakan sebagai sekolah berciri khas.
Setelah perkembangan sekolah-sekolah Muhamadiyah cukup pesat, pada tahun 1919, K.H Ahmad Dahlan mendirikan Al-Qismul Arqa yang pada dasarnya jenis pendidikan Islam tradisional. Al-Qismul Arqa hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama karena memang tujuan praktisnya adalah untuk menyediakan para tenaga guru agama di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Perkembangan Al-Qismul Arqa pada tahun 1921 cukup menarik karena sistem yang digunakan tidak lagi murni pondok pesantren. Seiring perubahan nama lembaga pendidikan menjadi Pondok Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan berusaha memadukan model dan sistem pondok pesantren dan sekolah umum. Di Pondok Muhammadiyah berlaku sistem pesantren, yang mana para santri harus tinggal diasrama. Pelajaran agama tidak hanya disampaikan secara formal lewat proses pembelajaran di kelas, tetapi juga lewat asrama yang dijaga oleh guru. Ilmu-ilmu umum disampaikan di kelas dengan metode pembelajaran modern. Walhasil, Pondok Muhammadiyah menjadi satu-satunya lembaga pendidikan Islam modern pertama di Yogyakarta (Wirjosukarto; 1962, 120).
Memasuki tahun 1922, Pondok Muhammadiyah diproses menjadi sebuah institusi pendidikan modern dengan nama Kweekschool Islam. Kweekschool Islam yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kweekschool Moehammadijah berubah menjadi sekolah modern dengan ciri khas keislaman ala Muhammadiyah. Kweekschool Moehammadijah inilah yang hingga saat ini bertahan menjadi Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta (Mu’arif: 2014, 145).
Berikut adalah Rencana Pengajaran di Kweekschool Moehammadijah pada tahun 1922, yang sekaligus menggambarkan struktur kurikulum yang diberlakukan.
Materi
Jam Pelajaran
Keterangan
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Bahasa Arab



Mantik
1
Madarijul-Insya
4
1
 -
2
Nahwu
2
3
2
3
Lughot
5
6
 -
Adab
2
2
3
Kelas III ditambah Akhlak
Tarikh Anbiya dan Islam
4
2
3

Husnul Khat
2
2
 -

Fiqih
4
2
3
Kelas III ditambah Ushul Fiqih
Tauhid
4
5
3

Imla
1
 -
 -

Quranul Karim
2
2
 -

Tafsirul Quran
 -
4
6

Ilmul Asyya'
 -
1
 -

Hadits dan Musthalahul Hadits
 -
 -
4

Tarikh Tanah Jawa dan Hindia
 -
 -
1

Berhitung Rupa-Rupa
1
1
2

Ilmu Bumi
1
1
1

Permulaan Natuurkennis (Ilmu Thabi'i)
 -
 -
1

Ilmu Guru
 -
 -
1

Bahasa Jawa
1
1
2

Bahasa Melayu
1
1
1

Menulis dan Menggambar
 -
 -
1

Jumlah
34
34
34
Jam
Sumber: SM no.1/1992.
Rencana pengajaran yang dimaksud bukan rencana pelaksanaan pengajaran (RPP) dalam konteks sekarang, tetapi yang dimaksud adalah struktur kurikulum atau uraian jumlah mata pelajaran yang diajarkan pada Kweekschool Moehammadijah pada tahun 1922. Struktur pengajaran tersebut tidak hanya menguraikan nama-nama mata pelajaran yang akan diajarkan pada setiap level kelas, tetapi juga menerangkan beban jam setiap mata pelajaran. Ada mata pelajaran yang diajarkan pada setiap kelas da nada yang tidak, demikian juga ada mata pelajaran yang beban jamnya sama pada setiap level kelas, ada juga yang berbeda. Hal ini menjunjukkan bahwa pemahaman K.H Ahmad Dahlan tentang kurikulum dan pembelajaran secara khusus dan pendidikan secara umum sangat komprehensif. Berdasarkan struktur rencana pengajaran tersebut juga nampak bahwa sistem pembelajaran yang diberlakukan pada Kweekschool Moehammadijah adalah sistem pembelajaran modern yang memadukan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dalam istilah yang lebih modern, model kurikulum yang digunakan adalah kurikulum terpadu, sedangkan model sekolah yang dikembangkan adalah sekolah terpadu.
Dimensi Humanis Religius
Dalam mindset barat, dimensi humanis dan dimensi religius adalah dua persoalan yang berbeda, antara keduanya tidak dapat disatukan. Dimensi humanis berhubungan erat denga persoalan-persoalan sosial kemasyarakat dan karenanya bersifat umum. Sedangkan dimensi religius adalah persoalan yang hanya menjadi ranah pribadi. Asumsi dasar yang melandasi pola pikir ini adalah sekularisme, yaitu sebuah paham yang senantiasa memisahkan antara urusan dunia yang sifatnya komunal dan urusan agama yang bersifat personal. Implikasi dari mindset ini adalah urusan negara juga harus dipisahkan dari urusan agama. Tetapi dalam dunia Islam, hubungan antara dimensi humanis dan dimensi religius adalah persoalan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang nampaknya berbeda tetapi sesungguhnya adalah sama. Dalam hal urusan kenegaraan misalnya, ada sebagian kalangan yang memandang hubungan negara dengan agama sebagai “ad-Diynu wa ad-Dawlah”. Artinya, ketika berbicara tentang Islam, maka berarti berbicara tentang sesuatu yang sangat komprehensif, termasuk urusan politik dan negara. Sehingga negara tidak bisa dipisahkan dari agama, demikian pula sebaliknya.
Azyumardi Azra (2015; 115), setidaknya melihat ada tiga bentuk posisi hubungan antara Islam dan negara dalam masa modern-kontemporer. Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism) seperti Turki; kedua, pemisahan disertai dengan ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology) seperti Indonesia. Bentuk kedua ini juga dapat disebut sebagai akomodasi antara negara dan agama; ketiga, penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi, yang juga disebut sebagai teokrasi.
Memahami dimensi humanis religious pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pengaruh pola ketiga dalam pola hubungan agama dengan negara. Paling tidak, ada beberapa argumentasi yang melandasi pemikiran tersebut, antara lain;
1.     K.H Ahmad Dahlan menempuh studi di Arab Saudi. Diseritakan bahwa, pada usia 22 tahun (1890) dengan bantuan kakaknya (Nyai Hajah Sholeh) beliau pergi ke Mekkah, dan belajar disana selama satu tahun untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang Islam. Dengan demikian, pemikiran dan pengetahuan yang diperoleh dan dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia Arab pada saat itu.
2.     Dari sejumlah buku referensi yang menjadi acuan K.H Ahmad Dahlan diketahui bahwa buku-buku tersebut adalah karangan Muhammad Abduh, Farid Wajdi, Ibnu Taimiyah,  Rahmatullah al-Hindi, Rasyid Ridha, Ibn Athaillah, dan Abdullah Al-Attas. Pemikir-pemikir tersebut memiliki cara pandang yang tidak memisahkan antara agama dan negara tetapi melihatnya sebagai bagian yang integral.
3.     Situasi Indonesia pada saat itu masih sedang dalam masa penjajahan, sehingga belum mempunyai format kenegaraan yang baku dan jelas. Sistem kenegaraan masih dikendalikan oleh kaum penjajah, sehingga sesungguhnya Indonesia belum menjadi negara yang sebenar-benarnya (the truely of state).
Namun demikian, memahami dimensi humanis religius pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan tidaklah cukup hanya dengan berdasar pada ketiga asumsi tersebut. Perlu dilakukan kajian mendalam untuk dapat mengungkap berbagai hal yang memiliki relevansi dengan persoalan kemanusiaan (humanis) dan persoalan keagamaan (religius) melalui pemikiran dan praktek pendidikan selama masa perjuangan beliau bersama organisasi yang beliau dirikan yaitu Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah adalah wadah pergerakan K.H Ahmad Dahlan, sekaligus sebagai pengejawantahan dari ide-ide brilian beliau terkait dengan urusan pendidikan, sosial, dan keagamaan. Dengan demikian, antara K.H Ahmad Dahlan sebagai individu dan Muhammadiyah sebagai lembaga tidak bisa dipisahkan, tetapi harus dipandang sebagai sesuatu yang integratif untuk melihat perspektif humanis religius dari pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan.
Berdasarkan uraian yang telah diketengahkan sebelumnya, mulai dari biografi singkat beliau terutama masa kelahiran, Orang tua, kultur keluarga, tempat mengenyam pendidikan, buku-buku serta pengarang yang menjadi rujukan, pemikiran-pemikirannya dalam pendidikan, sampai dengan masa pendirian Muhammadiyah, dapat diketengahkan perspektif humanis religius pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan adalah sebagai berikut:
1.     Misi dakwah yang menjadi acuan adalah “amar Ma’ruf nahi mungkar,” yaitu ajakan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Misi ini didasarkan pada perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang artinya adalah “dan hendaknya ada diantara kamu yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam) dan mencegah kepada kemungkaran (buruk dan keji). Secara literal, ayat ini mengandung ajak untuk berbuat baik sekaligus mencegah perbuaan yang tidak baik. Tetapi kandungan makna ayat ini sangat mendalam, karena menyangkut urusan dunia dan akhirat, urusan ibadah dan muamalah, serta urusan pribadi dan sosial. Hal ini menunjukkan bahwa perspektif  humanis dan religius dalam misi dakwah Muhammadiyah adalah berjalan secara bersamaan. Tentu hal ini, tidak bisa dipisahkan dari K.H Ahmad Dahlan sendiri sebagai pendiri sekaligus sebagai perumus misi dakwah Muhammadiyah.
2.     Integrasi pengetahuan agama dan pengetahuan umum dalam sekolah Muhammadiyah. Jika kita asumsikan bahwa pengetahuan agama adalah untuk urusan pribadi dan akhirat, sedangkan pengetahuan umum adalah untuk urusan umum dan dunia, maka berarti harus ada pemilahan. Inilah yang terjadi di sekolah-sekolah barat. Tetapi di sekolah-sekolah Muhammadiyah, kedua pengetahuan tersebut di integrasikan dan diajarkan secara bersamaan. Hal ini dapat menjadi bukti bahwa K.H Ahmad Dahlan memandang pengetahuan umum sama pentingnya dengan pengetahuan agama, atau sebaliknya.
3.     Tujuan pendidikan Muhamadiyah menekankan pada usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah  dalam kapasitas peserta didik sebagai individu dan sebagai masyarakat. Sebagai individu, pendidikan dipandang sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. Sedangkan sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan dianggap sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat.
4.     Teori dan praktek berjalan secara bersamaan. Pada sekolah-sekolah Muhammadiyah, peserta didik tidak hanya belajar tentang teori, tetapi juga belajar bagaimana teori dipraktekan. Jauh sebelum isu Home Schooling dikembangkan di Indonesia, Muhammadiyah justru telah menerapkannya melalui model sekolah berasrama yang saat ini bernama Madrasah Al-Muallimin Muhammadiyah.
5.     Keseimbangan antara amal ibadah dan amal usaha. Dalam statuta Muhammadiyah tahun 1912, salah satu tujuan persyarikatan Muhammadiyah adalah menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada penduduk bumiputera di dalam residensi Yogyakarta. Hal ini menegaskan bahwa prioritas dari dakwah Muhammadiyah adalah ibadah. Semua warga Muhammadiyah harus taat beribadah, selaksanakan semua ajaran agama yang dibawa oleh Muhammad SAW. Tetapi untuk mendukung langkah tersebut harus ada amal usaha. Maka dibangunlah sekolah-sekolah, lalu dikembangkan ke Rumah Sakit, Rumah bersalin, Panti Asuhan, dan Perguruan Tinggi. Jika amal ibadah adalah dimensi religiusnya, maka amal usaha adalah dimensi humanisnya. Dalam perspektif humanis religius, apa yang ingin diwujudkan oleh K.H Ahmad Dahlan adalah mewujudkan kesalehan sosial (humanis) dan kesalehan individu (religius) pada seluruh warga Muhammadiyah.
Nampaknya kelima hal tersebut dapat menjadi poin-poin penting untuk melihat pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius. Memang secara sengaja, perspektif humanis dan perspektif religius tidak dipisahkan untuk melihat pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan. Karena persoalan kemanusiaan (humanis) dan persoalan keagamaan (religius) dalam misi dakwah K.H Ahmad Dahlan adalah hal yang terpadu. Demikian juga K.H Ahmad Dahlan tidak dipisahkan secara personal dengan Muhammadiyah secara kelembagaan. Mengapa? Karena Muhammadiyah itu sendiri adalah “buah” pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan.

Kesimpulan
Memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan, ibarat menyelami samudra luas dan dalam, semakin luas kita menyelam semakin luas pula butiran-butiran hikmah yang kita temukan, dan semakin dalam kita menyelam, maka semakin dalam pula pengetahuan yang kita peroleh. Kita memang patut bersyukur pernah memiliki tokoh sekaliber K.H Ahmad Dahlan, karena pemikiran-pemikirannya dalam bidang pendidikan telah ikut mencerdaskan banyak generasi, sejak zaman sebelum kemerdekaan, zaman kemerdekaan, hingga saat ini bahkan sampai masa depan.
Mencoba memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius memang bukan persoalan gampang. Dua dimensi kehidupan yang betul-betul menjadi konsen dakwah K.H Ahmad Dahlan, dan memiliki cakupan yang sangat kompleks. Namun demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa memahami pemikiran pendidikan K.H Ahmad Dahlan dalam perspektif humanis religius dapat dilihat dari; (1) misi dakwah yang senantiasa menyerukan pada kebajikan dan mencegah kemungkaran. Misi ini didasarkan pada  Surat Ali Imran ayat 104, yang kandungannya tidak hanya menyangkut urusan akhirat, tapi juga urusan dunia, bukan hanya urusan pribadi tapi juga urusan sosial; (2) model pendidikan yang senantiasa mengintegrasikan pengetahuan umum dan pengetahuan agama, serta menekankan pada perkembangan peserta didik sebagai individu dan sosial; dan (3) keseimbangan antara kesalehan individu (taqwa) dan kesalehan sosial (peduli).


DAFTAR PUSTAKA

Asrofie M. Yusron. 1983. Kyai Haji Ahmad Dahlan, Pemikiran dan Kepemimpinannya.
            Yogyakarta: Yogyakarta Offset.

Azra Azyumardi. 2015. Islam dan Konsep Negara, dalam Fikih Kebhinekaan.
Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan
Non-Muslim. Bandung; PT. Mizan Pustaka.

Bayu Bekti Arfian. 2015. Pemikiran K.H Ahmad Dahlan Tentang Pendidikan Islam.

Latif Yudi. 2015. Bhineka Tunggal Ika: Suatu Konsepsi Dialog Keragaman Budaya,
            dalam Fikih Kebhinekaan. Pandangan Islam Indonesia Tentang Umat,
            Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim. Bandung; PT. Mizan Pustaka.


Mu’arif. 2014. Pendidikan Islam Berkemajuan: Telaah Kritis Pemikiran K.H. Ahmad
            Dahlan Perspektif Filsafat Pendidikan Progresivisme. Dalam Muhrizal Arif,
            dkk. Pendidikan Posmodernisme. Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan.
            Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Mu’arif. 2010. Benteng Muhammadiyah: Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji
            Fachrodin (1890-1929). Yogyakarta: Suara Muhammadiyah

-----------. “Tujuh Tokoh Pendiri Muhammadiyah”. Dalam Basis edisi 01-02,
tahun ke59/2011.

Muhammad Soedja. 1993. Cerita  Tentang Kyiai Haji Ahmad Dahlan.
Jakarta: Rhineka Cipta

Mulkhan, Abdul Munir. 2002. “Pengantar.” Dalam Teven M. Chan, Pendidikan Liberal
Berbasis Sekolah. Terj. Umi Yawisah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

-----------------.1990. Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal
            Muhammadiyah Cet I, Yogyakarta: PT Percetakan Persatuan.

-----------------. 2007. Pesan dan Kesan Kiai Haji Ahmad Dahlan dalam Hikmah
            Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Tampubolon P. Daulat. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu. Paradigma Baru Manajemen
            Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT. Gramedia
            Pustaka Utama.

Wirjosukarto, Hamzah Amir. 1962. Pembaharuan Pendidikan dan Pengdjaran Islam
            jang Diselenggarakan oleh Muhamadiyah. Singosari: Ken Mutia.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan dalam Perspektif Humanis Religius"