Menyeimbangkan Urusan Dunia dengan Urusan Akhirat



Hikmah Jum'at

Ilustrasi (www.google.com)

Dalam Al-Qur’an surah Az-Zalzalah ayat 7-8, Allah berfirman, “fa may ya’mal misqala zarratin khairay yarah, wa may ya’mal misqala zarratin syarray yarah”. Artinya, maka barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Kemudian dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda “i’mal lidunyaka ka’annaka ta’isu abada, wa i’mal akhiratika kaannaka tamuwtu gada”. Artinya, beramallah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok.
Ayat dan hadis tersebut menegaskan tentang eksistensi kehambaan manusia. Hakikat penciptaan kita oleh Allah adalah dalam rangka beribadah kepada-Nya, oleh karena itu dalam hidup ini kita tidak dapat menghindar dari urusan perbuatan baik dan buruk, urusan dunia dan akhirat yang muara akhirnya adalah surga atau neraka. Inilah sebabnya, mengapa setiap do’a, setiap permohonan kita kepada Allah senantiasa di akhiri dengan permintaan pamungkas, “fiddunya hasanah, wafillakhirati hasanah”, dan ujungnya adalah “waqina azabannar”. Setiap akhir do’a yang kita panjatkan selalu meminta kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta terhindarkan dari azab api beraka.
Namun, permintaan kita senantiasa tidak paralel dengan apa yang kita lakukan. Kita meminta kebaikan di akhirat tetapi di dunia kita menjadi ingkar. Perbuatan baik yang walaupun sedikit akan ada imbalannya dihari kemudian, selalu kita abaikan. Terkadang kita lalai beribadah, kita alasankan sibuk mengurus usaha dan harta. Kita lupa bahwa Nabi Sulaiman AS adalah orang yang sangat banyak harta, tetapi justru dengan harta menjadikannya semakin dekat kepada Allah. Kita jadikan kesibukan kantor sebagai alasan untuk tidak beribadah, padahal Nabi Yusuf AS adalah pejabat tinggi pada zamannya tetapi justru menjadikannya semakin bertaqwa kepada Allah. Kesibukan mengurus jualan menjadi alasan, padahal Rasulullah Muhammad SAW berdagang bersama Khadijah tetapi tidak lupa akan ibadah. Terakhir, kadang sakit menjadi alasan bagi kita untuk lalai beribadah, padahal Nabi Ayub AS justru menjadikan sakitnya semakin dekat kepada Allah SWT.
Mengapa Rasul memerintahkan kita untuk beramal seolah-olah kita akan hidup selamanya? Karena hidup yang lama membutuhkan bekal yang banyak, jangan sampai kehabisan bekal ditengah perjalanan. Hidup yang lama berarti menempuh perjalanan panjang, sehingga tidak boleh berhenti beribadah. Ibadah yang bagaimana? Ibadah apa saja sepanjang untuk kebaikan. Karena Allah akan memberikan imbalan atas semua amal perbuatan walau sekecil apapun kadarnya. Sebaliknya, kita dianjurkan untuk menghindari perbuatan yang tercela, perbuatan dosa dan maksiat. Karena sedikit apapun kadarnya juga akan ada balasannya.
Pasa saat yang sama kita juga dingatkan oleh Rasulullah Muhammad SAW berbuat untuk akhirat seolah-oleh esok sudah akan meninggal. Dengan demikian waktu luang yang ada harus kita gunakan sebaik-baiknya untuk mengumpulkan amal sebanyak-banyaknya. Waktu dari sekarang hingga sebelum besok adalah kesempatan untuk mengumpulkan bekal kebaikan. Mengapa kita harus gunakan sebaik-baiknya? Karena tidak ada lagi waktu yang panjang, waktu itu terasa sangat singkat. Waktu tidak bisa lagi ditunda, entah setelah pensiun, setelah banyak harta, setelah sukses dalam usaha atau karir, atau setelah memasuki usia tua.
Langkah bijak yang harus kita lakukan adalah menyeimbangkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Di dunia ini kita siapkan bekal tetapi akhirat jangan kita lupakan. Maka untuk memenuhi keduanya, ada tinga langkah yang dapat kita lakukan;
Pertama, jadikan hidup sebagai sarana ibadah. Hal ini berarti bahwa dimanapun dan kapanpun kita berada senantiasa mengabdikan diri kepada Allah. Menjadi pejabat tinggi, menjadi pengusaha sukses, menjadi penegak hukum, menjadi staf biasa, menjadi guru, dosen, tenaga administrasi, bahkan menjadi ibu rumah tangga dan masyarakat biasa adalah sarana untuk beribadah. Intinya adalah apapun yang kita lakukan adalah dalam rangka menghambakan diri kepada Allah. Bagaimana cara mewujudkannya? Mulai dengan niat yang baik, kerjakan dengan hati yang ikhlas karena itu mudahkanlah segala urusan, jangan persulit, lakukan berdasarkan aturan, dan bertawakal kepada Allah. Apapun yang kita lakukan harus diawali dengan nait yang baik, niat semata-mata karena Allah. Ibadah shalat saja, jika tidak diawali dengan niat maka dia hanya menjadi ritual tanpa makna. Tetapi, karena diawali dengan niat semata-mata karena Allah maka shalat menjadi ibadah yang paling disukai oleh Allah. Itulah sebabnya shalat menjadi amalan yang pertama-tama di hisap nanti. Setelah niat yang baik, maka lakukanlah segala urusan dengan ikhlas. Jangan terpaksa dan jangan juga dengan jalan kekerasan. Mudahkanlah segala urusan, “yassiru wala tuassiru”, mudahkanlah jangan persulit. Jika senantiasa memudahkan segala urusan, maka kitapun akan dimudahkan dalam segala urusan. Tetapi, jangan bertentangan dengan aturan, jangan bertentangan dengan norma. Mengapa korupsi dilarang? karena bertentangan dengan norma hukum, norma susila, dan norma agama. Jika semua sudah dilakukan, maka terakhir adalah bertawallah kepada Allah, serahkan semua urusan kepada Allah. Dengan demikian, apa yang kita lakukan akan selalu bernilai ibadah.
Kedua, jadikan hidup senantiasa memberi bermanfaat. Dalam sebuah hadis dikatakan bahwa “sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesamanya”. Jadi parameter kebaikan manusia tidak dilihat dari wajah, tidak dilihat dari ras, tidak dilihat dari kepemilikan usaha, tidak dilihat dari banyaknya harta, tidak dilihat dari tingginya jabatan, tetapi dilihat dari seberapa besar dia memberi manfaat. Oleh karena itu penting rasanya kita renungkan diri ini, apakah dengan pekerjaan yang kita geluti sudah memberi manfaat atau belum. Apakah dengan kewenangan yang kita miliki, membuat segala urusan menjadi mudah atau malah semakin sulit? Apakah dengan profesi guru yang dijalankan telah membuat siswa semakin pintar atau sebaliknya, apakah dengan profesi nelayan menjadikan lingkungan semakin terjaga atau sebaliknya, apakah dengan pekerjaan dagang saya berlaku jujur atau tidak, apakah dengan status penegak hukum yang saya sandang telah berlaku adil atau tidak? Tentu, manfaat tidak harus dalam cakupan yang lebih besar, hal-hal sedikit sekalipun jika memberikan manfaat itu lebih baik. Kalau ada ilmu, sampaikanlah ilmu itu untuk bermanfaat, jika mempunyai kelebihan rezki maka sedekahkanlah sedikit kepada yang membutuhkan, jika kita mempunyai kewenangan maka gunakanlah untuk kemaslahatan umat.
Ketiga, jadikan hidup untuk selalu bersyukur. “Manusia itu senantiasa lupa ketika diberikan ujian dalam bentuk kenikmatan, tetapi cepat ingat ketika diuji dengan kesulitan”.  Ketika sedang sehat, maka ibadah masih ditunda, setelah sakit langsung ingat kepada Allah. Inilah watak kita manusia, selalu lupa. Padahal Allah sudah menyampaikan dalam Al-Qur’an, “bahwa jika kita bersyukur maka nikmat-Nya sangat banyak, jika ingkar maka azab-Nya sangat pedih”. Oleh karena itu, jadikanlah hidup ini untuk senantiasa bersyukur, apapun yang kita dapatkan. Karena dibalik setiap peristiwa selalu ada hikmah yang bersemayam di dalamnya. Sehatnya tubuh mari kita syukuri karena dengan sehat itu kita dapat semakin rajin beribadah; Sakit yang kita alami mari kita syukuri, karena mungkin dengan sakit itu kita dapat mengingat Allah; Barang mewah yang belum kita miliki mari kita syukuri, mungkin dengan itu membuat kita semakin rajin berusaha; belum mendapatkan jabatan mari kita syukuri, mungkin dengan bagitu kita akan semakin rajin bekerja dan semakin disiplin.
Sejatinya, dunia ini hanyalah tempat persinggahan sebelum kita ke kampung yang lebih luas dan lama yaitu akhirat. Berapa lama masa persinggahan semuanya sudah diatur oleh Maha Mengatur, entah 5 tahun, 20 tahun, hingga pensiun atau mungkin hingga 100 tahun lamanya. Karena itu waktu persinggahan ini, mari kita isi dengan amalan kebaikan sebanyak-banyaknya. Caranya adalah, jadikan hidup sebagai sarana ibadah kepada Allah, jadikan hidup senantiasa memberi bermanfaat kepada sesama, dan jadikan hidup untuk selalu bersyukur. Wallahu a’lam bish-shawab

Numana, 9 Februari 2018

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Menyeimbangkan Urusan Dunia dengan Urusan Akhirat"