Teori Perkembangan Kognitif Piaget dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah



PENDAHULUAN
         Pendidikan menjadi institusi yang paling strategis dalam upaya penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Melalui pendidikan setiap warga negara diharapkan menjadi manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang utuh, memiliki pengetahuan, keterampilan, serta sikap dan prilaku yang selaras dengan nilai dan norma dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Disamping itu, melalui institusi pendidikan pula warga masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam menyukseskan pembangunan baik yang sifatnya fisik mamupun non fisik. Tetapi, mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas bukanlah persoalan gampang. Kita dapat melihat bahwa penyelenggaraan pendidikan kita sudah berjalan puluhan tahun, tetapi dari aspek kualitas kita masih jauh tertinggal dari negara-negara lain semisal Singapore, Thailand, Korea Selatan, Jepang, Finlandia, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, maka penting untuk memahami psikologi perkembangan manusia, sehingga strategi pengembangan sumber daya manusia dapat dirumuskan dengan berbasis pada teori psikologi perkembangan.
         Salah satu tokoh psikologi perkembangan manusia yang sangat berpengaruh adalah Piaget. Berdasarkan hasil penelitiannya, Piaget mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif manusia yang berkembang secara kronologis. Keempat tahap tersebut adalah; (1) tahap sensori motor, (2) tahap pra operasi, (3) tahap operasi konkrit, dan (4) tahap operasi formal. Mekanisme perkembangan masing-masing tahap dilakukan dengan organisasi kognitif, adaptasi kognitif, dan keseimbangan kognitif. Memahami tahap perkembangan kognitif Piaget serta mekanisme perkembangannya merupakan sesuatu yang sangat urgen, hal ini dapat menjadi pemandu bagaimana meningkatkan potensi sumber daya manusia, khususnya peserta didik di sekolah agar dapat berkembang sesuai dengan tingkatan usia dan kedewasaannya.
         Dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3). Berdasarkan pada undang-undang tersebut nampak bahwa apa yang menjadi penekanan dalam pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik. Oleh karena itu, institusi yang dianggap paling bertanggungjawab adalah sekolah. Melalui sekolah, diharapkan bahwa potensi peserta didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin agar menjadi generasi yang berkualitas, generasi yang berkompetensi, serta generasi yang bermoral dan beretika. Tentu, harapan tersebut tidaklah mudah, karena itu untuk mencapainya dibutuhkan kerja keras dan bahu-membahu serta komitmen yang tinggi dari semua stakeholder pendidikan.         Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas tidak terlepas untuk mendukung fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah diharapkan mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengembangkan potensi peserta didik. Oleh karena itu, pemahaman tentang teori perkembangan Piaget sangat penting sehingga dapat dilihat implikasinya terhadap madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan madrasah juga memiliki jenjang sebagaimana sekolah. Jika jenjang pendidikan di sekolah terdiri dari Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menegah Atas (SMA), maka jenjang pendidikan madrasah terdiri dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Masing-masing jenjang tersebut menggambarkan perbedaan usia, dengan demikian memiliki implikasi yang kuat dengan teori perkembangan Piaget khususnya dalam penentuan pendekatan dan metode pembelajaran sehingga sesuai dengan perkembangan peserta didik.

PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Piaget
         Sebagian besar materi dalam sketsa geografi bersumber dari Autobiografi Piage (1952a). Jean Piaget lahir pada tahun 1896 di Neuchatel, Swiss (Switszerland). Piaget diceritakan oleh bapaknya yang seorang sejarahwan, sebagai seorang yang sangat teliti dan pemikir yang kritis, orang yang tidak suka terburu-buru mengambil kesimpulan, dia tidak takut memulai pertengkaran (fight) ketika menemukan kebenaran sejarah dipelintir untuk disesuaikan dengan tradisi (Piaget, 1952a, p.237). Piaget diingat oleh ibunya sebagai adalah orang yang cerdas, penuh semangat, baik hati, dan memiliki jalan bagi apa yang diinginkan Piaget terhadap “dunia pribadi dan tanpa hayalan” (private and nonfictitious world), dunia kerja yang serius. Piaget mengetahui bahwa situasi yang tidak normal dalam keluarga telah menggungah minatnya dalam Teori psikoanalisis (Miller, 2011: 28).
         Piaget adalah seorang anak yang terlalu cepat menjadi matang, yang mengembangkan minatnya dalam biologi dan dunia pengetahuan alam, khususnya tentang moluska (kerang-kerangan), dan bahkan menerbitkan sejumlah makalah sebelum ia lulus dari SMA. Karirnya yang panjang dalam penelitian ilmiah dimulai ketika ia baru berusia 11 tahun dengan diterrbitkannya sebuah makalah pendek pada tahun 1907 tentang burung gereja albino. Sepanjang karirnya, Piaget menulis lebih dari 60 buah buku dan ratusan artikel. Memperoleh gelar Ph.D dalam bidang ilmu alamiah dari Universitas Neuchatel, dan juga pernah belajar di Universitas Zurich. Selama masa ini, ia menerbitkan dua makalah filsafat yang memperlihatkan arah pemikirannya pada saat itu, tetapi kemudian ditolaknya karena dianggap sebagai karya tulis seorang remaja. Minatnya terhadap psikoanalisis, sebuah aliran psikologi yang berkembang pada saat itu, mulai berkembang pada periode ini.
         Piaget pindah dari Swiss ke Grange-aux-Belles, Prancis, kemudian mengajar di sekolah untuk anak-anak lelaki yang dikelola oleh Alfred Binet, pengembang tes inteligensia Binet. Ketika ia membantu menandai beberapa contoh dari tes-tes inteligensia inilah Piaget memperhatikan bahwa anak-anak kecil terus menerus memberikan jawaban yang salah untuk pertanyaan-pertanyaan tertentu. Piaget tidak terlalu memperhatikan pada jawaban-jawaban yang keliru tersebut, melainkan pada kenyataan bahwa anak-anak yang kecil it uterus menerus membuat kesalahan dalam pola yang sama, yang tidak dilakukan oleh anak-anak yang lebih besar dan orang dewasa. Hal ini menyebabkan Piaget mengajukan teori bahwa pemikiran atau proses kognitif anak-anak yang lebih kecil pada dasarnya berbeda dengan orang dewasa. Pada tahun 1921, Piaget kembali ke Swiss sebagai direktur Institut Rousseau di Geneva.
         Pada tahun 1923, Piaget menikah dengan salah seorang mahasiswanya yang bernama Valentine Chatenay. Mereka kemudian dikaruniai tiga orang anak yang menjadi subjek penelitiannya sejak masa bayinya. Sampai pada tahun 1950, Piaget banyak meneliti dan menulis tentang perkembangan inteligensi manusia. Ia juga mengaplikasikan hasil temua psikologis tersebut dalam persoalan epistemologi. Pada tahun ini juga, ia mempublikasikan seri epistemology genetik. Buku tersebut merupakan sintesis pemikirannya mengenai beberapa aspek pengetahuan, termasuk matematika, fisika, psikologi, sosiologi, biologi dan logika. Piaget menganalisis aspek-aspek pengetahuan dalam term hubungan antara individu dengan lingkungannya, antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Ia mencoba menentukan apakah relasi itu disebabkan oleh jenis pengetahuan yang ada. Misalnya, apakah pengetahuan matematis menuntut suatu tipe interaksi yang berbeda dengan lingkungannya dari pada pengetahuan fisis. Ia juga menarik paralelisme antara sejarah perkembangan pengetahuan dengan perkembangan kognitif seseorang. Ia menemukan bahwa perkembangan kognitif seseorang kerapkali mengikuti perkembangan yang sama seperti sejarah pengetahuan ilmiah.
         Sejak tahun 1952 sampai dengan tahun 1962, ia ditunjuk sebagai guru besar psikologi genetik di Universitas of Sorbonne. Pada tahun 1956 ia memulai proyek yang telah lama ia cita-citakan, yaitu suatu pendekatan interdisipliner tentang persoalan-persoalan kognitif dasar. Suatu pusat internasional untuk epistemologi genetik dibangun di fakultas ilmu pengetahuan di Uniersitas Geneva. Tujuannya adalah untuk mempersatukan banyak ahli dalam berbagai macam keahlian: biologi, psikologi, matematika, fisika, dan lain-lain, yang ingin mempelajari suatu persoalan secara bersama-sama. Setiap ahli akan membahas persoalan dari perpektifnya masing-masing, tetapi hasilnya kemudian akan dikoordinasikan melalui suatu diskusi. Suatu simposium akan diadakan guna mendiskusikan kesimpulan melalui forum diskusi. Hasilnya dipublikasikan dalam suatu monogram studies dalam epistemology genetic. Ada sekitar 40 volume yang menyangkut berbagai subjek, seperti pengertian kausalitas, proses belajar, dan pemikiran matematis telah dipublikasikan. Piaget pensiun dari Institute Rousseau pada tahun 1971. Meskipun demikian, ia tetap aktif dan menulis banyak buku. Piaget meninggal dunia pada tanggal 16 september 1980 di Geneva, Swiss.
         Piaget tidak dapat dilepaskan dari tipikal sebagai seorang filosof sosial dan krisis remaja. Pertentangan antara agama yang dia yakini dengan pembelajaran sains mendorong dia untuk menulis dengan produktif (hungrily) seperti halnya Bergson, Kant, Spencer, Comte, Durkheim, dan William James serta yang lainnya. Gejolak filosofis ini diekspresikan dalam Novel filosofisnya yang dipublikasikan pada tahun 1917. Novel ini tidak akan menjadi best seller, ini dapat diduga dari pesan-pesan yang ada didalammnya seperti; “sekarang tidak ada kesadaran tentang kualitas, maka kualitas tidak akan eksis, jika tidak ada hubungan diantara mereka, jika mereka tidak, akibatnya, dicampur kedalam kualitas total yang berisi mereka kemudian menjaga mereka dalam suatu wilayah,” “dan teori positif mengenai kualitas memperhitungkan hubungan keseimbangan antara keseluruhan kualitas” (1965a, p.243). Piaget mengamati bahwa “tidak ada yang berbicara tentang hal tersebut kecuali satu atau dua filosof yang marah” (1952a, p.243) (Ibid, 29).
B.    Orientasi Umum Teori Piaget
Sebagai panduan singkat selayaknya melakukan perjalanan ke kota yang masih asing, upaya berikut ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai Teori Piaget sebelum menjelajahi sudut dan celah—dan mungkin menjadi yang terakhir. Kami mengkaji lima karakteristik yang menonjol dari teori; epistemology genetik, pendekatan biologi, strukturalisme, pendekatan tahapan, dan metodologi Piaget. Karakteristik ini berhubungan dengan minat dan tujuan Piaget, di deskripsikan terlebih dahulu.
a.     Epistemologi Genetik
   Teori Piaget sering diistilahkan sebagai genetic epistemology karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual. Istilah genetic mengacu pada pertumbuhan developmental bukan warisan biologis. Cabang filsafat yang konsen dengan perkembangan ilmu pengetahuan disebut dengan epistemologi. Dalam pandangan Piaget, epistemologi adalah masalah hubungan antara bertindak atau berpikir subyek dari obyek dan pengalamannya. Piaget mengemukakan pertanyaan yang sama denga  filosof abad ini: bagaimana kita tahu sesuatu? Pengetahuan adalah objektif, tanpa prasangka oleh sifat mengetahui, walaupun mungkin? Apakah ada ide lain, atau semua ilmu dapat diperoleh? Semua tulisan-tulisan Piaget dapat dilihat sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bidang misalnya, matematika, moral, dan bahasa. Seperti yang kita lihat dalam sketsa biografis, ia memimpin penyelidikan filosofis melalui berbagai sekolah filsafat, biologi, sejarah, matematika, dan psikologi. Akhirnya ia perhenti di psikologi perkembangan.
   Genetik, merujuk pada apa yang asli. Dengan mempelajari perubaha  perkembangan dalam proses mengetahui dan dalam organisasi pengetahuan, Piaget merasa bahwa ia dapat menemukan jawaban atas pertanyaan epistemology tradisional. Piaget peduli dengan masalah klasik  dalam epistemology yang menjelaskan apa yang dianggap filosof sebagai kategori dasar pemikiran, yaitu: waktu, ruang, hubungan sebab dan akibat, dan kuantitas. Tidak seperti kebanyakan epistemologis, yang hanya menggunakan alasan logis untuk mendukung pandangannya, Piaget menolak pendekatan armchair dan rumusan empiris hipotesis yang dapat diuji. Sebagai contoh, ia mengajukan pertanyaan tentang bagamana manusia memperoleh konsep-konsep waktu, ruang, dan hubungan sebab akibat dalam pengembangan konsep-konsep ini. Dengan demikian, epistemology Piaget menghubungkan filsafat dan metode ilmiah, yang logis dan nyata.
   Solusi Piaget untuk masalah epistemology terlihat sederhana namun revolusioner, yang menyatakan bahwa yang penting dalam pengetahuan adalah proses dari pada hasil. Seorang yang “membangun” pengetahuan, memiliki baian aktif dalam proses mengetahui dan bahkan memberikan kontribusi dalam membentuk pengetahuan. Kognitif manusia aktif memilih dan menafsirkan informasi pada lingkungan. Mereka tidak pasif mengumpulkan informasi untuk membangun pengetahuan. Salah satu implikasi teori Piaget dalam pengetahuan adalah bahwa pengetahuan adalah bias. Pengalaman selalu disaring untuk dipahami. Pikiran anak bukanlah sebuah kamera  yang mengambil gambar sebagai sebuah kenyataan. Namun, pikirannya berkembang, menjadi lebih selaras dengan kenyataan.
b.     Pendekatan Biologi
         Dimulai dari masa anak-anak yang tertarik pada kerang dan burung, pemikiran Piaget telah tertarik pada biologi. Paiget melihat moluska lebih dari ahli biologi. Dengan melihat moluska ia melihat prinsip-prinsip umum tentang cara hidup organisme dalam beradaptasi dengan dunia. Moluska menyesuaikan diri dengan lingkungan dan aktif dalam berasimilasi dalam struktur biologis mereka. Piaget merasa bahwa prinsip-prinsip ini juga berlaku untuk pikiran manusia. Definisi umum tentang kecerdasan adalah bahwa manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tidak sesuai dengan pikiran lingkungan di tingkat psikologis. Hipotesis Piaget mengatakan bahwa cakupan modus dari fungsi psikologis dalam beradaptasi adalah universal.
c.     Strukturalisme
   Strukturalis melihat bahwa suatu bagian berasal dari keseluruhan, mereka konsen dengan hubungan antar-bagian dengan keseluruhan dan antara permulaan dengan kemudian. Menurut Piaget, hakikat dari perubahan struktur mental adalah sebagai struktur perkembangan. Seorang bayi memiliki struktur kognitif yang disebut “skema”. Skema disusun dari pola prilaku, yang mencerminkan suatu cara interaksi dengan lingkungan. Menurut Piaget, skema adalah sesuatu yang dapat diulang, dan dapat di generalisasi dari sebuah tindakan. Skema pada anak-anak dapat dilihat bagaimana cara menjamah berbagai benda ke dalam mulutnya lalu menelannya. Skema pada anak-anak dibedakan menjadi; benda yang “suckables” dan “nonsckables,” dengan berbagai subkategori seperti; suckables yang keras, suckables yang lunak, dan suckables yang lembut. Sebaliknya, struktur kognitif anak yang lebih tua, kira-kira pada usia 7 tahun dijelaskan dalam bentuk operasi mental yang abstrak, mirip dengan sistem logikamatematika, yang disusun dan dapat diaplikasikan ke dalam berbagai konten. Misalnya; penambahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian adalah operasi yang terkoordinir dalam konsep bilangan dalam operasi matematika.
d.     Pendekatan Tahapan
Menurut Piaget, tahapan adalah periode waktu dimana anak berpikir dan berprilaku dalam berbagai situasi  tertentu yang mencerminkan jenis struktur mental. Ada berbagai jenis spesies yang memiliki berbagai cara dalam beradaptasi dengan lingkungan, jadi ada berbagai tingkatan kognisi yang memiliki berbagai cara dalam beradaptasi dengan lingkungan. Lima karakteristik menonjol dalam tahapan ini adalah sebagai berikut;
1.     Tahap dimana keseluruhan struktur dalam keadaan seimbang. Piaget melihat tahap sebagai keseluruhan yang terintegrasi yang mengorganisasikan bagian. Skema atau operasi dari masing-masing tahap saling berhubungan untuk membentuk keseluruhan yang terorganisasi. Masing-masing tahap strukturnya berbeda, yang memungkinkan berbagai jenis interaksi antara anak dengan lingkungan, dan konsekuensi yang muncul dari perbedaan fundamental melihat dunia. Esensi dari pendekatan tahap Piaget adalah gerakan melalui tahapan yang melibatkan perubahan struktural yang kualitatif (perubahan dalam tipe atau jenis) daripada kuantitatif (perubahan derajat, jumlah, kecepatan, atau efisiensi).
2.     Setiap Tahap berasal dari tahap sebelumnya, menggabungkan dan mengubah tahap, dan persiapan untuk tahap selanjutnya. Tahap sebelumnya membukan jalan untuk tahap yang baru. Dalam proses pencapaian tahap yang baru, tahap sebelumnya adalah pengulangan. Dengan demikian, anak-anak setelah mencapai tahap baru, mereka tidak lagi memiliki tahap sebelumnya tersedia.
3.     Setiap Tahap mengikuti urutan invariant. Karena masing-masing tahap adalah kejadian dari tahap sebelumnya, maka tahap harus meneruskan urutan tertentu. Tidak ada tahap yang terlewatkan. Dengan kata lain, sejak tahap pertama tidak dapat mengembangkan semua materi yang dibutuhkan untuk tahap ketiga, tahap kedua yang diperlukan.
4.     Tahap bersifat universal. Oleh karena Piaget tertarik pada bagaimana spesies manusia beradaptasi secara psikologis dengan lingkungannya, maka dia fokus pada struktur dan konsep yang diperlukan oleh manusia dimana saja. Tentu saja, orang-orang dengan IQ rendah mungkin tidak akan berkembang melalui semua tahap atau mungkin berkembang tetapi lebih lambat. Dan orang-orang pada umumnya bervariasi pada seberapa cepat mereka melanjutkan melalui tahapan.
5.     Setiap Tahap meliputi masukan, proses, dan hasil (coming-into-being  and a being). Ada periode inisiasi persiapan dan ada periode akhir pencapaian dari masing-masing tahap. Tidak stabil atau struktur organisasi yang longgar adalah tanda transisi periode awal  dari tahap sebelumnya. Mengubahnya baik di dalam tahapan dan antara tahapan membutuhkan harus secara bertahap.
e.     Metodologi
         Piaget menggunakan pengamatan dan pengelompokkan ketika mengamati bayi memegang benda dan ketika mengamati anak kecil yang sedang belajar berjalan untuk mengekspresikan pikirannya secara spontan. Piaget mengamati anak-anak TK biasanya melibatkan metode klinis, yang merujuk pada rangkaian interaksi verbal antara peneliti dengan anak. Percobaan yang diawali dengan mengajukan sebuah pertanyaan, kemudian anak-anak dipandu untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Wawancara ini sering digabungkan dengan manipulasi objek dalam percobaan yang dilakukan oleh anak. Hal ini dilakukan ketika Piaget belajar belajar numerik dan konsep fisik atau perkembangan konseptual.
C.    Perkembangan Kognitif Piaget
   Setelah melakukan penelitian, Piaget lalu mengklasifikasi tahap perkembangan kognitif setiap individu menjadi empat tahap. Keempat tahap tersebut saling berkaitan dan berkembang secara kromologis. Keempat tahap tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Periode Sensori Motor (sejak masa kelahiran sampai usia 2 Tahun)
      Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensori motor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget berpendapat bahwa periode ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting dalam enam sub tahapan;
1)    Sub tahapan skema refleks, muncul saat lahir sampai usia enam minggu dan berhubungan terutama dengan refleks.
2)    Sub tahapan fase reaksi sirkular primer, dari usia enam minggu sampai empat bulan dan berhubungan terutama dengan munculnya kebiasaan-kebiasaan.
3)    Sub tahapan fase reaksi sirkular sekunder, muncul antara usia empat sampai Sembilan bulan dan berhubungan terutama dengan koordinasi antara penglihatan dan pemaknaan.
4)    Sub tahapan koordinasi reaksi sirkular sekunder, muncul dari usia Sembilan sampai dua belas bulan, saat berkembangnya kemampuan untuk melihat obje sebagai sesuatu yang permanen walau kelihatannya berbeda kalau dilihat dari sudut berbeda (permanensi objek).
5)    Sub tahapan fase reaksi sirkular tersier, muncul dalam usia dua belas sampai delapan belas bulan dan berhubungan terutama dengan penemuan cara-cara baru untuk mencapai tujuan.
6)    Sub tahapan awal representasi simbolik, berhubungan terutama dengan tahapan awal kreativitas.
      Bagi anak yang berada pada tahap ini, pengalaman diperoleh melalui fisik (gerakan anggota tubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bila ada pada penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya terlihat kemudian mnghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat. Akhir dari tahap ini, ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan dengan itu konsep onjek dalam struktur kognitifnya mulai dikatakan matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik ke dalam symbol-symbol, misalnya mulai bisa berbicara meniru suara kendaraan, suara binatang, dan lain-lain. Di tahap pra-konseptual, anak-anak belum lagi dapat membedakan dan memahami dua atau lebih dimensi pada masa yang sama. Hal ini terjadi karena mereka belum dapat menyusun skema yang ada dalam pikiran. Kecerdasan pada tahap ini selalu diuraikan dengan kaku, tegang, ketidak sanggupan membuat kesimpulan  dan tidak menumpukan perhatian terhadap  hubungan diantara peristiwa yang berbeda. Ada empat kandungan utama proses kognitif pada tahap ini, yaitu; egocentrism, konsep sebab-akibat, peningkatan perolehan bahasa, dan pembentukan identitas diri.
            Kesimpulan pada tahap ini adalah; bayi lahir dengan refleks bawaan, skema di modifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak belum mempunyai konsepsi tentang obje yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap oleh inderanya.
2.     Periode Pra-operasional (kurang lebih 2 sampai 7 Tahun)
      Tahap ini adalah persiapan untuk mengorganisasian operasi konkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget disini adalah berupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda menurut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting). Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrot dari pada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-objek yang kelihatannya berbeda maka ia mengatakannya berbeda pula. Pada tahap ini, anak masih berada pada tahap pra operasional yang belum emahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas dan lain-lain. Selain itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan.
      Dengan mengamati urutan permainan, Piaget menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari fungsi psikologis muncul. Pemikiran pra Operasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap berbagai objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini, anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambar dan kata-kata. Pemikirannya bersifat egosentris: anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti mengumpulkan semua benda merah  walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya berbeda-beda.
         Menurut Piaget, tahapan pra operasional mengikuti tahapan sensori motor dan muncul antara usia dua sampai enam tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan bahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan kata-kata dan gambar. bagaimanapun mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka cenderung egosentris, yaitu mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama lain. Mereka kesulitan memahami perasaan orang lain di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki perasaan yang sangat imajinatif disaat ini dan menganggap semua benda yang tidak hidup memiliki perasaan. Kesimpulan tahap ini adalah; anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dilihat dan dalam lingkungannya saja.
3.     Periode Operasional Konkrit (kurang lebih 7 sampai 11 Tahun)
      Anak-anak yang berada pada tahap ini umumnya sudah berada pada usia sekolah dasar (SD). Pada umumnya, anak-anak pada tahap usia ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasikan dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda. Anak pada tahap ini sudah cukup matang untuk menggunakan pikiran logika, tetapi hanya objek fisik yang ada saat ini, karena itu disebut tahap operasional konkrit. Namun tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak akan mengalami kesulitan belajar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika.
      Tahap ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam dampai dua belas tahun dan mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai.  Proses-proses penting selama tahap ini adalah;
1)    Pengurutan, yaitu kemampuan untuk mengurut objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paing besar sampai yang paling kecil atau sebaliknya.
2)    Klasifikasi, adalah kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animism (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).
3)    Decentering, yaitu anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan  untuk bisa memecahkannya. Contoh; anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar tapi pendek lebih sedikit isinya disbanding cangkir kecil yang tinggi.
4)    Reversibility, yaitu perkembangan dimana anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4 + 4 = 8, 8 – 4 = 4, jumlah sebelumnya.
5)    Konservasi, yaitu memahami bahwa kuantitas, panjang, dan jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Contoh; bila anak diberikan cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain, air gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain.
6)    Penghilangan sifat egosentrisme, yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan pada saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah).
Kesimpulan pada tahap ini adalah anak telah mengetahui symbol-symbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak atau yang tidak berwujud.
4.     Periode Operasional Formal (kurang lebih 11 sampai 15 Tahun)
      Tahap ini adalah tahap akhir dari tahap perkembangan Piaget, yang disebut dengan Tahap Operasi Formal. Anak pada tahap ini sudah dapat melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dan menggunakan logika. Penggunaan hal-hal yang konkrit sudah tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya berlangsung. Penalaran terjadi dalam struktur kognitifnya yang telah mampu menggunakan sombol-simbol, ide-ide, abstraksi, dan generalisasi. Anak telah memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan antar sesuatu.
      tahap operasional formal dialami oleh anak pada usia sebelas tahun (pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik pada tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesipulan dari informasi yang diperoleh. Pada tahapan ini, seorang anak dapat menglami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas, menandai masuknya ke duna dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Karakteristik anak pada tahap ini adalah memiliki kemampuan untuk melakukan penalaran hipotetik-deduktif, yaitu kemampuan untuk menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya.
      Kesimpulan pada tahap ini adalah pada tahap operasional formal, anak-anak sudah mampu memahami bentuk argument dan tidak dibingungkan oleh isi argument (karena itu disebut operasional formal). Tahap ini mengartikan bahwa anak-anak telah memasuki tahap baru dalam logika orang dewasa, yaitu mampu melakukan penalaran abstrak. Sama halnya dengan logika penalaran abstrak sistematis, operasi-operasi formal memungkinkan berkembangnya sistem nilai dan ideal, serta pemahaman untuk masalah-masalah filosofis.      
         Dalam teori tahap perkembangan kognitif tersebut, Piaget mengembangkan tiga tahap perkembangan. Ketiga tahap perkembangan tersebut adalah sebagai berikut.  Pertama, organisasi kognitif, yaitu merujuk kepada kecenderungan pikiran yang berisi sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang terintegrasi untuk membentuk keseluruhan. Sistem ini pada gilirannya akan dikoordinasikan, ada interrelasi diantara kegiatan kognitif. Pandangan ini menjadi lebih banyak dan menjadi lebih koheren  yang terkait dengan perkembangan anak. Pengembangan melalui tahapan melibatkan perubahan dalam organisasi kognitif sebagai struktur pemikiran dari tahap ke tahap. Sebagai hasil perkembangan, pikiran dapat diatur dalam skema, peraturan (bagian reversibility), fungsi, operasi konkrit, atau operasi formal. Kedua, adaptasi kognitif, adalah merujuk pada interaksi antara organisme dan lingkungan. Piaget mengatakan bahwa semua organisme mempunyai kecenderungan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Perilaku intelligent adalah prilaku yang menyesuaikan dengan lingkungan. Adaptasi melibatkan dua proses komplementer, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses yang sesuai realitas saat ini dan menjadi salah satu organisasi kognitif. Empat jenis asimilasi terjadi di semua masa dan tahapan, tetapi paling mudah diamati pada periode sensori motor; reproduksi asimilasi (bayi melatih skemanya dengan berulang-ulang sehingga skema menjadi kuat); generalisasi asimilasi (rentan dari stimuli yang dapat di asimilasikan untuk meningkatkan skema); rekognisi asimilasi (berbagai objek yang dibedakan bahkan sebagai skema umum); mutual asimilasi (skema dapat saling mengasimilasi ke bentuk yang lebih besar, skema yang lebih terorganisasi). Ketiga keseimbangan kognitif. Kedua dasar fungsional infariant, orgaisasi dan adaptasi, menyiratkan fungsional invariant yang ketiga yaitu ekuilibrasi. Setiap organisasi berusaha menuju keseimbangan dengan lingkungan dan keseimbangan dengan dirinya sendiri (diantara unsur-unsur kognitif). Ketika asimilasi dan akomodasi berkoordinasi secara seimbang dan tidak ada yang dominan, maka keseimbangan akan tercapai. Kesimbangan ini akan dicapai melalui pengembangan struktur yang terorganisir untuk menyediakan cara dalam berinteraksi dengan dunia. Perubahan yang baik dalam organisme atau lingkungan mengarah ke keadaan disekuilibrium.
         Dalam perkembangan kognitif, diperlukan keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Proses itu disebut ekuilibrium, yaitu itu mengaturan diri secara mekanis (mechanical self regulation) yang perlu untuk mengatur keseimbangan dalam proses asimilasi dan akomodasi. Disekuilibrium adalah keadaan tidak seimbang antara asimilasi dan akomodasi. Ekuilibrasi adalah proses bergerak dari keadaan disekuilibrium ke ekuilibrium. Proses tersebut berjalan secara terus menerus dalam diri seseorang melalui asimilasi dan akomodasi.

D.    Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah
   Memperhatikan sejarah lahirnya dan perkembangan madrasah dapat dikemukakan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat. Inilah identitas madrasah (Yahya Daud M, 2014 : 79). Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa madrasah mempunyai identitas sendiri yang tidak bisa digantikan oleh satuan pendidikan lain. Dalam Peraturan Menteri Agama nomor 90 Tahun 2013 tentang  Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah dijelaskan bahwa madrasah adalah satuan pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama yang menyelenggarakan pendidikan umum dan kejuruan dengan kekhasan agama islam yang mencakup Raudhatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Madrasah Aliyah Kejuruan ( Bab I, Pasal 1, ayat 2). Adapun kurikulum yang diselenggarakan pada madrasah adalah mengikuti model kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana yang diselenggarakan pada Satuan Pendidikan Umum (TK, SD, SMP, dan SMA/SMK). Hal ini dipertegas pada Bab I Pasal 22 yang menyatakan bahwa setiap madrasah wajib melaksanakan kurikulum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Apa yang membedakan antara Madrasah dengan Sekolah umum adalah ciri khasnya, yaitu sebagai sekolah yang berciri khas agama islam. Konsekuensi dari kekhasan tersebut adalah penerapan mata pelajaran agama yang lebih banyak, yaitu terdiri dari; a) mata pelajaran Al-Qur’an Hadis; b) Akidah-akhlak; c) Fikih; dan d) sejarah kebudayaan Islam (Pasal 29). Tentu hal ini berbeda dengan sekolah umum, yang hanya menerapkan satu mata pelajaran agama dengan beban mengajar 2 jam tatap muka tiap pekan.
   Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan madrasah tentu tidak bisa lepas dari tuntutan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Dalam undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003 dijelskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Bab II Pasal 3). Untuk mencapai tujuan tersebut, kelembagaan madrasah lalu dikembangkan dengan mengikuti sistem kelembagaan persekolahan. Jenjang pendidikan madrasah terdiri dari;
1.     Jenjang pendidikan Usia Dini. Pada jenjang ini peserta didik yang dibina adalah anak-anak usia pra-sekolah. Rata-rata usia anak yang memasuki jenjang ini adalah antara empat (4) sampai enam (6) tahun. Madrasah pada jenjang ini disebut Raudhatul Athfal (RA), setara dengan TK (dalam pengelolaan Diknas).
2.     Jenjang Pendidikan Dasar. Sejak pendidikan dasar 9 tahun diberlakukan, maka ada dua madrasah yang masuk pada kategori ini, yaitu Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan madrasah Tsanawiyah (MTs). Anak-anak yang dibina pada MI adalah ana usia tujuh (7) sampai dua belas (12), sedangkan anak yang di didik pada MTs adalah anak usia dua belas (12) sampai usia lima belas (15) Tahun. MI setingkat dengan SD, dan MTs setingkat dengan SMP.
3.     Jenjang Pendidikan Menengah. Pada jenjang ini, anak-anak yang menjadi sasaran binaan adalah anak usia lima belas (15) sampai delapan belas (18) tahun, setingkat dengan SMA di Kemendikbud.
         Dalam hubungannya dengan pencapaian tujuan pendidikan melalui madrasah, implikasi teori tahapan perkembangan kognitif Piaget dapat dikatakan sangat kuat. Pencapaian tujuan pendidikan sangat erat hubungannya dengan pencapaian tujuan pembelajaran pada masing-masing jenjang madrasah, sedangkan pencapaian tujuan pembelajaran sangat ditentukan oleh kesesuaian metode pembelajaran dengan tingkat pertumbuhan peserta didik. Dalam konteks ini, tahapan perkembangan kognitif Piaget sejatinya menjadi rujukan untuk menentukan metode pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa madrasah. Dengan demikian, implikasi tahapan perkembangan kognitif Piaget terhadap pendidikan madrasah dapat diuraikan sebagai berikut;
1.     Pembelajaran pada tingkat Raudhatul Athfal (RA). Peserta didik pada tingkat RA adalah anak usia 4 (empat) sampai 6 (enam) tahun. Dalam tahap perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap Pra-Operasi. Pada tahap ini, pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis. Dengan demikian, pendekatan pembelajaran yang tepat digunakan adalah menggunakan alat peraga atau media belajar. Melalui pendekatan ini, anak dibiasakan untuk mengenal sesuatu secara konkrit, bukan abstrak. Dengan demikian, pendekatan pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak.
2.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI). Anak didik yang belajar pada tingkat MI adalah rata-rata berusia 6 (enam) sampai 12 (dua belas) tahun. Jika merujuk pada teori tahap perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap Operasi konkrit. Anak-anak usia ini pada umumnya telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan terwujud dalam memahami konsep kekekalan. Kemampuan untuk mengklasifikasikan, dan serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda. Dengan tahapan kognitif seperti itu, maka pendekatan pembelajaraj yang sesuai adalah selain menggunakan media belajar, pembelajaran lebih diarahkan pada dialog, diskusi kelompok, dan tanya-jawab.
3.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs). Peserta didik pada tingkat ini rata-rata berusia 11 (sebelas) sampai 15 (lima belas) tahun. Dalam teori Piaget, anak pada usia ini telah berada pada tahap operasi formal. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak dengan menggunakan logika. Benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi, sehingga pendekatan pembelajaran yang tepat adalah bagaimana membiasakan siswa untuk bekerja sama (cooperative learning) serta menyelesaikan masalah (problem solving).
4.     Pembelajaran pada tingkat Madrasah Aliyah (MA). Anak pada usia SMA sudah memasuki usia dewasa, biasanya mempunyai umur antara 15 (lima belas) sampai 18 (delapan belas) tahun. Dalam teori perkembangan kognitif Piaget, anak pada usia ini berada pada tahap operasi formal. Tetapi, karena tingkatannya sudah lebih dewasa dari pada anak usia MTs, maka pembelajaran pada tingkat MA akan lebih tepat kalau diarahkan pada pembelajaran penemuan (discovery learning). Dengan metode ini, peserta didik diberikan ruang ekspresi untuk mengembangkan daya nalarnya guna menemukan pengetahuan baru tanpa terikat oleh target kurikulum.
         Dengan menyesuaikan pendekatan pembelajaran dikelas dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik sebagaimana teori tahapan perkembangan kognitif Piaget, berarti peserta didik akan belajar secara ikhlas tanpa paksaan. Hal ini akan memudahkan siswa dalam mengembangkan kemampuan kognitifnya.

KESIMPULAN
         Teori tahapan perkembangan kognitif Piaget tentu mempunyai implikasi, bukan hanya pada perkembangan psikologi, tetapi juga berimplikasi pada sistem pendidikan secara umum dan sistem madrasah secara khusus. Implikasi tersebut terutama terkait dengan pencapaian tujuan pendidikan. Madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional ikut bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan pendidikan. Namun demikian, pencapaian tujuan pendidikan sangat relevan dengan pencapaian tujuan institusional dan tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran.
         Tujuan pembelajaran, biasanya diarahkan pada peningkatan kognitif peserta didik, selain afektif dan psikomotorik. Teori tahapan perkembangan kognitif Piaget akan ditemukan implikasinya yang kuat ketika menentukan pendekatan pembelajaran di kelas. Pendekatan pembelajaran maupun metode pembelajaran akan memudahkan siswa belajar, apabila pendekatan dan metode tersebut sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif peserta didik. Dengan demikian, sangat penting bagi guru madrasah memahami empat tahapan perkembangan kognitif Piaget, sehingga tidak keliru dalam menentukan pendekatan dan metode pembelajaran.
         Ada empat tahap perkembangan kognitif menurut teori Piaget, yaitu tahap sensori motor (usia 0 – 2 tahun), tahap pra-operasional (usia 2 – 7 tahun), tahap operasional konkrit (usia 7 – 11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 – 15 tahun). Dari keempat tahap perkembangan tersebut, jika kita bawa ke ranah pendidikan madrasah, maka tahap sensori motor anak masih berada dalam pengawasan dan pembinaan orang tua khususnya Ibu (pendidikan keluarga), pada tahap pra-operasional, anak sedang berada pada Madrasah Ibtidaiyah, pada tahap operasional formal anak sedang di didik pada Madrasah Tsanawiyah, sedangkan pada tahap operasional formal, anak sedang mendapatkan pendidikan di Madrasah Aliyah.
         Dalam hal pembelajaran, anak pada usia RA lebih tepat jika pembelajaran dilakukan dengan menggunakan alat peraga atau media belajar; anak pada usia MI selain menggunakan media belajar, pembelajaran lebih diarahkan pada dialog, diskusi kelompok, dan tanya-jawab; anak pada usia MTs kegiatan pembelajaran sebaiknya diarahkan pada membiasakan siswa untuk bekerja sama (cooperative learning) serta menyelesaikan masalah (problem solving); sedangkan pada usia MA pembelajaran akan lebih tepat kalau diarahkan pada pembelajaran penemuan (discovery learning).


 DAFTAR PUSTAKA

Alwisol. 2011.  Psikologi Kepribadian. Edisi Revisi. Malang: UMM Press.

Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta:
      PT. Rineka Cipta.

Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds dan Ruth Duskin Feldman. 2009. Human
      Development. Perkembangan Manusia. Edisi 10, Buku 1 (Penerjemah Brian
      Masrwendy). Jakarta: Salemba Humanika.

Joy A. Palmer (Ed.). 2015. Ide-Ide Brilian 50 Pakar Pendidikan Kontemporer.
      Yogyakarta: IRCiSoD.

Patricia H. Miller. 2011. Theories of Devepomental Psychology. Fifth edition. USA:
      Forth Publishers;

Soedjatmoko. 1995. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Salkind, Neil J. 2004. Teori-Teori Perkembangan Manusia: Sejarah Kemunculan,
            Konsepsi Dasar, Analisis Komparatif, dan Apikasi. Terjemahan M. Khozim.
            Bandung: Penerbit Nusa Media.

Yahya Daud M. (2014). Posisi Madrasah Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Era
            Otonomi Daerah. Jurnal Khasanah: Vol. XII. No. 01 Januari-Juni 2014.

Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Teori Perkembangan Kognitif Piaget dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Madrasah"

Posting Komentar