Hikmatnya Berjumat di Masjid UGM



Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Kota Gudeg, lalu mendapatkan kost di kompleks Samirono, Depok Sleman DIY, kewajiban mingguan sebagai muslim untuk melaksanakan Shalat Jumat selalu dilaksanakan di masjid samping kost (Masjid Manhajul Hidayah). Pertimbangan ini sangat praktis mengingat bahwa jarak antara masjid dengan tempat kost hanya sekitar tujuh atau sepuluh langkah. Namun, sejak tiga bulan belakangan kewajiban jumat selalu ditunaikan di Masjid kampus UGM. Masjid yang menurut beberapa sumber menjadi masjid kampus terbesar di kawasan ASEAN. Semula, hanya kebetulan saja, tidak lebih dari sekedar mencari suasana baru setelah sekian bulan memenuhi kewajiban jumatan dalam suasana yang monoton. Tetapi, kesan pertama menuntunku untuk memutuskan bahwa shalat jumat harus selalu di Masjid UGM. Mengapa? Pertama, situasi masjid sangat kondusif. Artsitektur masjid UGM memang sangat menarik, dinding masjid hanya ada dibagian depan pintu utama dan bagian belakang (belakang mihrab). Sedangkan samping kiri dan kanan masjid tidak berdinding, sehingga sirkulasi udara sangat bagus. Suasana menjadi semakin sejuk karena, pepohonan di sekitar masjid sangat rimbun. Suasana interior masjid juga sangat indah, karena memang disiapkan bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual, tetapi juga menjadi pusat syiar Islam. Kedua, pengelolaan masjid sangat modern. Hal ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan sholat jumat selalu on-time, tidak pernah molor hanya karena menunggu khatib yang belum kunjung datang, atau tidak pernah ada khatib dadakan. Di masjid UGM, tidak sembarang orang dipersilahkan untuk mengkumandangkan adzan menjelang jumat. Sudah ada yang dipercayakan oleh pengelola masjid, sehingga suara dan jenis lagu yang dilantunkan oleh muadzin betul-betul terjaga. Demikian pula takmir masjid menyampaikan susunan acara jumat seperlunya saja. Pada beberapa masjid, terkadang kita kesulitan membedakan antara pengantar kata dari takmir masjid yang akan menyampaikan susunan acara jumat dengan pengantar khutbah dari khatib. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk penyampaian acara jumat dengan waktu untuk membacakan khutbah kurang lebih sama. Susunan acara yang disampaikan juga terkadang sangat banyak, bahkan aspek yang tidak substansi ikut dimasukan. Di masjid UGM, takmir masjid hanya akan menyampaikan dua hal, yaitu jumlah celengan minggu lalu disertai dengan ucapan terima kasih, dan siapa yang bertugas menjadi khatib. Tentu diawali dengan pengantar kata seperlunya saja.

Ketiga, dukungan sarana yang memadai. Sound system tidak pernah bermasalah sehingga semua informasi yang disampaikan oleh takmir, suara adzan, materi khutbah, serta suara imam dalam sholat selalu didengarkan oleh jamaah. Demikian pula posisi mimbar sangat ideal sehingga khatib dapat dilihat oleh semua jamaah pada setiap sudut masjid. Dukungan sarana menjadikan jamaah semakin khusyuk dalam ibadah. Keempat, khatib pilihan. Para tokoh atau figur yang dipercayakan untuk membawakan khutbah di masjih UGM adalah orang-orang pilihan. Sehingga khutbah yang dibawakan tidak sekedar untuk memenuhi syarat jumat. Tetapi betul-betul memenuhi ketentuan bahwa core dari khutbah adalah nasehat taqwa. Sehingga tidak ada khatib yang dalam khutbahnya, menjelek-jelekkan orang lain, mengkafirkan orang lain, apakah lagi menjustifikasi pihak tertentu sebagai ahli neraka atau ahli surga. Para khatib di masjid UGM selalu mendudukkan khutbah pada posisi yang sebenarnya, yaitu nasihat Taqwa. Pernah pada suatu jumat saya begitu terkagum dengan khatib serta muatan khutbah yang disampaikan. Saya bahkan sampai berguman dalam hati, “jangan-jangan sudah seperti inilah gambaran ketika Nabi Muhammad SAW menyampaikan khutbah” dihadapan para sahabat dan kaum muslimin ketika masih hidup. Tentu, khutbahnya Nabi Muhammad pasti akan jauh lebih bagus, tetapi khatib dengan materi khutbahnya telah membuatku berguman seperti itu, karena rasa kagum.

Kelima, suara dan bacaan imam yang khas. Di masjid UGM saya menemukan suara, intonasi, dan lagu dalam bacaan imam yang begitu khas. Saya belum pernah menemukannya pada masjid-masjid lain yang pernah saya singgahi. Yang bagus banyak, tetapi yang khas seperti di masjid UGM belum pernah. Apa yang khas? Suaranya tenang sehingga betul-betul menyejukkan, intonasi suara tidak tinggi atau rendah sehingga jamaah betul-betul nyaman mendengarnya, dan pilihan lagu dalam melantunkan ayat-ayat begitu syahdu sehingga menyentuh alam bawah sadar. Tidak sedikit jamaah yang meneteskan air mata, jamaah betul-batul dibuat hanyut oleh suara dan lagu Imam. Minggu lalu, saya berdiri satu shaf berdampingan dengan jamaah, yang kelihatannya China. Setelah salam, lalu saya mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan (mengakrabkan suasana, bukan bid’ah), dan pada saat itulah saya melihat begitu banyak air matanya yang menetes. Saya begitu yakin bahwa tetesan air mata itu, memiliki  relevansi yang kuat dengan suara, lagu dan ayat yang dibacakan oleh Imam shalat jumat. Inilah beberapa sisi menarik yang saya temukan dalam pelaksanaan shalat jumat di Masjid UGM. Wallahu a’lam bish-shawab.


 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Hikmatnya Berjumat di Masjid UGM"

Posting Komentar