Mengambil Pelajaran dari Kisah Tsa’labah



Hikmah Jum'at
Ilustrasi
Tsa’labah bin Haathib Al-Anshariy adalah nama lengkapnya, biasa disapa Tsa’labah. Beliau adalah salah satu sahabat Rasulullah yang sangat rajin melaksanakan shalat, hebatnya adalah semua waktu shalat dilaksanakan di masjid secara berjamaah. Tetapi ada satu kebiasaan Tsa’labah yang mengundang tanya Rasulullah, yaitu selalu bergegas pulang setelah selesai melaksanakan shalat. Berbeda dengan sahabat lainnya yang masih meluangkan waktu untuk berdzikir serta bermunajat kepada Allah. Hingga suatu kesempatan, ketika bergegas hendak meninggalkan masjid, Rasulullah memanggilnya. Setelah Tsa’labah menghadap, Rasulullah bertanya kepadanya. “wahai Tsa’labah, mengapa kamu buru-buru ketika selesai shalat berjamaah? Tsa’labah pun menjawab, “sesungguhnya saat ini di rumah ada seorang yang menungguku ya Rasul. Dia menungguku untuk bergantian memakai baju untuk melaksanakan shalat. Saya hanya memiliki sehelai kain untuk dipakai secara bergantian. Ketika saya shalat, maka istriku akan bersembunyi hingga saya datang untuk kembali.” Tsa’labah menjelaskan keadaan yang sebenarnya kepada Rasulullah Muhammad SAW. Rasulullah sangat terkesan dengan Tsa’labah lalu mengizinkannya untuk segera kembali.
Selang beberapa hari kemudian Tsa’labah meminta tolong kepada Rasulullah untuk mendoakan agar dia bisa merubah nasib sedikit saja, agar memiliki harta benda. Tsa’labah merasa sangat lelah dalam kehidupannya yang sangat miskin serta menderita. Namun Rasulullah memberikan nasihat untuk mensyukuri apa yang telah dimiliki. Nasihat ini diberikan oleh Rasulullah karena takut ketika Tsa’labah memiliki harta benda dia akan melupakan agamanya. Keesokan harinya, Tsa’labah kembali mendatangi Rasulullah dan meminta tolong untuk mendo’akannya. Dia berjanji akan menjaga apa yang nanti dia akan dapatkan dan menggunakannya untuk jalan kebaikan. Akhirnya, Rasulullah mendoakan Tsa’labah agar memiliki harta dan bisa hidup dalam kecukupan. Tsa’labah senang dengan do’a itu, dan dia kembali menemui istrinya dengan suka cita dengan membawa serta dua ekor kambing pemberian Rasulullah.
Sejak saat itu, Tsa’labah sangat rajin merawat dua ekor kambingnya, menernaknya hingga berkembang menjadi sangat banyak. Kehidupan Tsa’labah pelan-pelan mengalami perubahan, dari serba kekurangan menjadi serba kecukupan dengan harta yang semakin berlimpah. Tsa’labah semakin sibuk dengan hewan piaraannya, juga semakin sibuk menghitung-hitung hartanya yang semakin hari semakin bertambah. Namun, bertambahnya harta bukan menjadikan Tsa’labah semakin pandai bersyukur, tapi dia mulai jarang datang ke masjid, bahkan sering mengakhirkan shalat. Tsa’labah mulai lupa dengan Tuhannya, dan lebih perhatian dengan kambing peliharaannya.
Jarangnya Tsa’labah muncul di masjid membuat Rasulullah bertanya, “ada apa dengan Tsa’labah”? Lalu Rasulullah mengutus sahabat untuk datang ke tempat Tsa’labah bertepatan dengan perintah membayar zakat bagi yang memiliki kemampuan. Tsa’labah yang saat itu sudah menjadi hartawan berpura-pura tidak mengerti tentang zakat, dan enggan membayar zakat. Setelah kembali, sahabat yang diutus lalu bercerita kepada Rasulullah, tentang perilaku Tsa’labah, mulai dari kesengajaannya tidak memahami zakat dan juga keenggananya membayar zakat. Rasulullah kecewa, Tsa’labah telah ingkar janji. Tsa’labah pernah berjanji akan menjaga amanah dan berjuang dijalan yang benar, nyatanya dia sudah lupa dengan janjinya.
Setelah kejadian menolak perintah zakat dari Rasulullah, Tsa’labah menjadi resah, dia merasa bersalah karena telah mengingkari janjinya. Lalu diputuskan untuk ke kediaman Rasulullah untuk meminta maaf sekaligus memberikan zakat ternak kambingnya. Namun, ketika zakat itu hendak mau diserahkan, Rasulullah menjawab, “Allah telah melarangku menerima zakatmu”. Tsa’labah kecewa, tapi apa hendak dikata. Sifat kikir dan lalai telah menjadikannya lupa dengan ajaran agamanya. Dikisahkan bahwa setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat, zakat hartanya Tsa’labah dibawa ke Khalifah Abu Bakar, tapi Abu Bakar menolaknya, demikian juga ketika dibawakan pada Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, kedua khalifah tersebut juga tidak berani menerima. Akhirnya, hingga Tsa’labah meninggal dunia, dia tidak membayarkan zakat hartanya.
Kisah ini memberikan pelajaran, bahwa kekayaan sejatinya jangan menjadikan kita lalai untuk beribadah kepada Allah SWT. Banyaknya harta yang kita miliki adalah bukti rasa sayangnya Allah kepada kita, sehingga wajib bagi kita mensyukurinya. Caranya adalah semakin rajin beribadah dan berzdikir kepada-Nya. Bukankah Allah sudah berjanji, bahwa “jika engkau bersyukur maka nikmatku sangat banyak, namun jika engkau kufur maka adzab-Ku sangat pedih”. Terkadang kita jumawa, bahwa harta yang kita miliki adalah buah usaha yang sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah. Lalu kita enggan mengeluarkannya sebagian kepada kaum fakir dan miskin yang membutuhkannya. Kitapun sangat bangga ketika dipuji sebagai pengusaha sukses dengan segudang aset yang nilainya miliaran bahkan triliunan. Lalu kita lupa, bahwa semua itu hanya sementara, hanya di dunia lalu kitapun lupa dengan bekal kehidupan selanjutnya.
Allah berfirman, “dan diantara mereka ada yang telah berikrar kepada Allah; ‘sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih. Maka, setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karuani-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).” (Surah At-Taubah; 75-76).
Semoga kita tidak mengikuti langkah Tsa’labah yang lupa dengan ajaran agamanya hanya karena sibuk mengurus harta. Semoga juga tidak menjadi “Tsa’labah-Tsa’labah baru” yang enggan membayar zakat harta hanya karena takut jatuh miskin. Semoga harta yang kita miliki sedikit ataupun banyak, dapat kita jaga kebaikan dan kehalalannya serta kita gunakan di jalan agama. Semoga kita menjadi kaum yang pandai bersyukur dan rajin berdzikir serta beribadah. Wallahu a’lam bish-shawab
Numana, 03 Maret 2017

Postingan terkait:

5 Tanggapan untuk "Mengambil Pelajaran dari Kisah Tsa’labah"