Ibadah Puasa dan Pembentukan Karakter



Ilustrasi Ramadhan

Pada hari rabu (15/06) pagi tiba-tiba mendapat telepon dari salah seorang teman yang bekerja di Kementerian Agama Kabupaten Wakatobi. Semula, saya berpikir dihubungi sekedar untuk berdiskusi sembari menanyakan kabar setelah sekian lama tidak saling bertegur-sapa. Ternyata dihubungi untuk mengisi jadwal khutbah jumat di masjid Al Muqarrabin kelurahan Pongo Kabupaten Wakatobi, berhubung teman tadi sedang berhalangan. Setelah saya mengiyakan, lalu saya merenung, apa topik khutbah yang up-date untuk disampaikan? Saya lalu terpikir bahwa saat ini ibadah puasa terus dikaji dalam berbagai perspektif, dan dalam kajian-kajian tersebut seringkali ditemukan beragam hikmah baru yang menunjukkan bahwa ibadah puasa tidak hanya memiliki dimensi habluminallah, tetapi juga memiliki dimensi habluminnas. Memang, dalam salah satu hadits qudsi, Allah mengatakan bahwa “ashauma fainnahu liy, wa ana ajdzibihi” (puasa itu adalah sesungguhnya untukku, maka akulah yang akan memberikan balasan). Hadits qudsi ini menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan ibadah puasa, terjadi hubungan yang sangat lekat antara manusia sebagai hamba dengan Tuhan sebagai khaliq. Mengapa? Karena ketika kita berpuasa, kita mencoba mengikuti salah satu sifat Allah, yaitu tidak makan dan tidak minum. Tetapi, kajian dalam bidang kesehatan yang menemukan adanya pengaruh yang kuat antara ibadah puasa dengan pembentukan tubuh yang sehat; kajian dalam bidang ekonomi yang menunjukkan adanya trend peningkatan ekonomi masyarakat selama bulan ramadhan; serta kajian sosial yaitu meningkatnya rasa solidaritas sosial yang tinggi selama ramadhan, menunjukkan bahwa ibadah puasa dapat memperkuat adanya hubungan antar sesama manusia yang dalam istilah agama disebut dengan hablumminannas.

Akhirnya saya memutuskan untuk menyampaikan khutbah jumat dengan topik “Ibadah Puasa dan Pembentukan Karakter”. Selama ini, uraian tentang ibadah puasa lebih berfokus pada tujuan puasa sebagaimana diuraikan dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 183, yaitu la’allakumm tattaquwn (supaya kamu bertaqwa). Sedangkan uraian yang menggambarkan adanya pembentukan kepribadian, perubahan perilaku menjadi lebih positif, pendidikan moral dalam pelaksanaan ibadah puasa sedikit kurang tersentuh. Padahal, jika kita yakini bahwa ibadah puasa mempunyai dimensi habluminallah dan habluminannats, maka sudah tentu banyak muatan-muatan hikmah yang terkandung dalam ibadah puasa. Bagaimana proses pembentukan karakter dalam ibadah puasa?

Ketika kita berpuasa, dimana saja kita berada, entah diruang terbuka ataupun diruang tertutup; apakah didalam rumah atau diluar rumah; atau apakah kita sedang berada ditempat yang dapat disaksikan oleh banyak orang atau pada tempat yang tidak ada seorangpun yang melihat; kita tetap menahan lapar dan dahaga. Seandainya kita mau, dapat saja kita masuk ke dalam ruang tertutup yang tidak ada seorangpun yang melihat, lalu kita makan dan minum sesukanya kita, setelah itu kita keluar dan tetap mengaku bahwa kita berpuasa. Apakah orang lain mengetahui itu? Tentu saja tidak. Karena hanya kita yang tahu apa yang kita lakukan diruangan tertutup tadi. Tetapi, mengapa kita tidak berani lakukan padahal tidak ada yang mengetahui? Dalam konteks ini, puasa telah menjadikan kita menjadi orang yang jujur. Karena kita puasa, lalu kepribadian kita telah terlatih menjadi jujur. Jujur kepada siapa? Jujur kepada diri sendiri dan itu adalah modal yang utama membangun kejujuran kepada orang lain. Perintah puasa sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 183,…kutiba ‘alaikumushiyam… (diwajibkan atas kamu berpuasa) betul-betul dipegang teguh kapan dan dimanapun kita berada selama bulan ramdhan.

Ibadah puasa bukan soal siapa yang paling kuat menahan lapar dan haus. Jika aspek yang ditekankan dalam puasa adalah siapa yang paling kuat menahan lapar dan haus, maka dapat saja kita tidak makan dan minum selama dua hari, tiga hari, satu minggu, atau bahkan satu bulan sekaligus. Atau dapat saja puasa kita lanjutkan sampai selesai ramadhan sepanjang kita mampu lakukan. Tetapi puasa memiliki ketentuan. Puasa itu dilaksanakan ayyamamma’dudah, yaitu pada beberapa hari yang telah ditentukan (QS Al-Baqarah ; 184). Apa beberapa hari yang telah ditentukan itu? Itulah jumlah hari selama bulan ramadhan. Dengan demikian, ketentuan kewajiban puasa hanya dilaksanakan selama bulan ramadhan. Diluar bulan ramadhan, tidak ada kewajiban untuk berpuasa. Bagi yang sakit atau yang berhalangan boleh tidak berpuasa tetapi wajib menggantinya pada hari lain, sedangkan bagi yang sudah tidak mampu boleh tidak berpuasa tetapi wajib memberi makan fakir miskin. Wamangkaana minkum maridhan, aw ‘ala safarin, fa’idatun min ayyamin ukhar, wala yuthikunahu fidyatun tho’amummiskin. Itulah ketentuan pelaksanaan ibadah puasa, dan kaum muslimin secara konsisten menaatinya. Hal ini menunjukkan bahwa sadar atau tidak, diri kita telah digembleng menjadi pribadi-pribadi yang taat aturan, belajar berada pada jalur yang benar, yaitu jalan yang senantiasa sesuai dengan ketentuan atau hukum yang berlaku. Puasa telah menuntun pribadi-pribadi yang menjungjung tinggi supremasi hukum.

Disamping itu, ketentuan lain tentang puasa dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 187, dikatakan bahwa…wakuluw wasyrabuw hattatabayana lakumul khaitul abyadhu minal khaitil aswadi minal fajri, summa atimushiyama ilallayli (makan dan minumlah hingga jelas bagimu perbedaan antara “benang putih” dan “benang hitam”, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai datang malam). Kata khaitul abyadhu minal khaitil aswadi menunjukkan awal dimulainya puasa, yaitu ketika sudah mulai masuk fajar atau waktu subuh (waktu imsak adalah waktu menahan, karena sudah menjelang subuh), sedangkan kata summa atimushiyama ilallayli menjelaskan waktu berbuka yaitu ketika sudah masuk magrib. Dengan demikian, ketentuan kewajiban puasa hanya dilaksanakan pada siang hari ramadhan yaitu dilakukan sejak waktu fajar sampai terbenam matahari. Pada siang hari dibulan ramadhan, kita tidak boleh makan dan minum, tidak boleh memenuhi kebutuhan biologis bagi yang sudah bersuami-istri, tidak boleh marah, menghina, dan lain sebagainya. Meskipun kita sedang sangat lapar atau sangat haus pada siang hari, kita tidak boleh langsung berbuka, tetapi kita harus sabar menanti datangnya waktu berbuka. Pada waktu malam kita bebas makan dan minum, kita bebas menenuhi segala kebutuhan kita, tetapi kita harus mengontrol diri agar tidak melakukannya diwaktu subuh. Pola hidup ini dengan sendirinya mendidik kita menjadi pribadi yang mampu mengontrol diri dan senantiasa bersabar dalam segala urusan. Dengan puasa, kita membiasakan diri mampu mengontrol diri kita untuk makan dan minum pada malam hari tetapi hanya sampai waktu imsak atau sebelum subuh, sedangkan pada siang hari, kita melatih diri untuk senantiasa sabar menanti datangnya waktu berbuka. Dengan puasa, jadilah kita menjadi orang-orang yang selalu sabar dan tawadhu.

Selama menjalankan ibadah puasa, kita disunnahkan untuk mempercepat berbuka dan memperlambat makan sahur; dan pada saat yang sama kita dihimbau untuk tidak berlebih-lebihan dalam berbuka, dan tidak lupa makan sahur. Mempercepat berbuka bukan berarti berbuka sebelum waktunya, tetapi berbuka ketika sudah waktunya. Seringkali, kita memiliki kebiasaan menunda waktu berbuka karena khawatir nilai pahala puasa akan berkurang karena merasa terlalu cepat berbuka. Kita juga terkadang tidak makan sahur karena merasa mampu menahan lapar. Kita juga memiliki kebiasaan makan sangat banyak setelah waktu berbuka, sampai-sampai merasa berat ketika hendak menunaikan shalat magrib. Yang demikian itu dilarang, yang dianjurkan adalah makan secukupnya. Makan ketika lapar dan berhenti ketika sudah kenyang. Dalam hal berbuka dan makan sahur, dianjurkan untuk tidak berlebih-lebihan karena sesungguhnya berlebih-lebihan itu mengikuti langkah-langkah syaitan. Innalbuazziriyna kaana ikhwanu syaithan. Dalam konteks ini, puasa telah mendidik kita menjadi orang-orang yang sederhana.


Itulah beberapa karakter positif yang terbentuk ketika kita menjalankan ibadah puasa. Dengan ibadah puasa, diri kita telah dibiasakan menjadi orang yang jujur; dengan puasa kita telah mendidik diri kita menjadi orang taat aturan; dengan puasa kita telah belajar menjadi orang sabar dan tawadhu, dan dengan puasa kita telah melatih diri menjadi orang yang sederhana. Semoga karakter ini tidak hanya bertahan selama ramadhan, tetapi dapat terus dipertahankan serta diaktualisasikan dalam kehidupan setelah bulan ramadhan. Ramadhan hanya satu bulan dalam satu tahun, diluar ramadhan ada sebelas bulan. Pada sebelas bulan itulah sejatinya kejujuran, ketaatan pada aturan, kesabaran, ke-tawadhu-an, serta kesederhanaan terus diterapkan dalam kehidupan kita secara konsisten. Waqul rabbigfirwarham wa anta khairurraziqiin.

Postingan terkait:

4 Tanggapan untuk "Ibadah Puasa dan Pembentukan Karakter"