Menyoal Ekspresi Kelulusan, Fungsi Sekolah dan Kunci Kesuksesan


Ilustrasi
Hand phone yang saya pegang tiba-tiba bergetar memberi signal adanya pesan wasuk melalui WhatsApp. Setelah saya buka, ternyata seorang teman mengirimkan video sekelompok siswa yang bergoyang erotis sambil berpegang pada tiang bendera. Anak-anak ini adalah siswa salah satu sekolah menengah atas yang ditetapkan lulus ujian nasional. Nampaknya, coretan yang memenuhi seragam sekolahnya serta goyangan erotis yang mereka lakukan adalah ekspresi kegembiraan karena telah menamatkan sekolahnya pada jenjang SMA. Mereka bergembira karena telah bebas dari segala ikatan uniform sekolah, tidak akan lagi berurusan dengan jadwal masuk dan pulang serta segala tugas mata pelajaran, juga tidak lagi terikat oleh ketentuan “boleh” dan “tidak boleh” yang berlaku dalam lingkungan sekolah.

Hanya berselang beberapa menit, video tersebut menjadi viral di media sosial. Beragam tanggapan atas video tersebut bermunculan, sangat banyak yang menyesalkan, terutama yang merasa sebagai alumni. Bagi mereka, semestinya ekspresi kelulusan dirayakan sewajarnya, dan baju seragam yang dimiliki selayaknya dihibahkan kepada mereka yang masih membutuhkan. Banyak cara yang terpuji untuk menuangkan kegembiraan karena telah lulus, dibanding harus melakukan coret-moret apakah lagi dengan goyangan erotis. Namun ada juga yang menganggap goyangan erotis itu sebagai hal yang wajar, sebagai sesuatu yang biasa saja. Toh kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat pendidikannya, namun ditentukan oleh usaha masing-masing. Banyak contoh kasus, bahwa pendidikannya tidak tinggi-tinggi amat, namun dapat menjadi orang sukses atau orang kaya raya. Kurang lebih seperti itulah argumentasi kelompok yang menganggap goyangan erotis siswa yang merayakan kelulusan sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.  

Atas dasar perdebatan tersebut, maka akan lebih bijak jika ekspresi kelulusan dan kesuksesan seseorang dilihat pada ruang yang terpisah. Ekspresi kelulusan dilihat sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari tujuan menuntut ilmu di sekolah, oleh karena itu mempunyai hubungan yang erat dengan fungsi sekolah. Sedangkan kesuksesan seseorang dipandang sebagai rangkaian dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan aktualisasi diri. Dengan demikian, sukses tidak hanya dilihat dalam konteks fisik-jasmaniyah, tetapi juga dalam aspek psikis-rohaniyah.

Apa tujuan seorang anak bersekolah, dan untuk apa orang tua menyekolahkan anaknya? Tentu bukan untuk sukses, karena sesungguhnya anak maupun orang tua tahu bahwa mencapai sukses itu membutuhkan usaha yang serius dan proses yang panjang. Seorang anak bersekolah atau disekolahkan oleh orang tuanya dengan satu harapan yakni mendapatkan pengetahuan sebagai bekalnya mengarungi kehidupan. Dengan pengetahuan yang mereka peroleh di sekolah, mereka dapat membaca, menulis, dan menghitung, dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dapat memilah mana yang indah dan mana yang norak, mengetahui yang dilarang dan yang tidak dilarang, membedakan perbuatan yang sesuai hukum dengan yang melanggar hukum, termasuk memilah mana yang etis dan mana yang erotis, dan lain sebagainya. Sejumlah pengetahuan tersebut diyakini dapat menjadi bekal siswa untuk mewujudkan kehidupan yang rukun dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan fungsi sekolah yaitu mewujudkan keteraturan sosial. Guna memenuhi harapan tersebut maka disusunlah dokumen kurikulum yang terdiri dari kelompok mata pelajaran untuk dipelajari oleh anak di sekolah. Kurikulum ini sifatnya sequen, artinya disusun secara sistematis berdasarkan level kelas dan jenjang sekolah. Ketuntasan materi pelajaran pada masing-masing level akan disertai dengan kenaikan kelas, sedangkan ketuntasan pada setiap jenjang akan diakhiri dengan kelulusan. Indikator untuk menentukan kenaikan kelas dan atau kelulusan seorang siswa diukur dengan melihat tiga domain pembelajaran, yakni kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Seorang anak yang dinyatakan naik kelas atau lulus ujian berarti memiliki pengetahuan yang baik, sikap dan prilaku yang baik, serta keterampilan yang baik.

Adanya sekelompok siswa yang melakukan goyangan erotis dalam lingkungan sekolah, sesungguhnya mengirim pesan kepada dewan gurunya bahwa mereka sebenarnya belum layak lulus sekolah. Indikatornya jelas, bahwa domain afektifnya belum tuntas karena belum mampu membedakan mana yang pantas dengan yang tidak pantas dilakukan di depan umum. Jika domain afektifnya sudah tuntas, maka tidak semestinya goyangan norak, tidak etis dan tidak punya nilai estetika itu dilakukan dihadapan halayak ramai. Pesan kedua adalah belum maksimalnya fungsi sekolah. Pihak sekolah belum mampu melakukan fungsi prefentif guna mencegah berbagai hal yang terjadi pada acara pelulusan. Bukankah sekolah adalah sistem, bukankah sekolah memiliki perangkat aturan yang mengikat semua komunitas sekolah. Goyangan erotis yang dipertontonkan oleh sekelompok siswa dalam lingkungan sekolah adalah bukti bahwa sekolah telah gagal membina mental dan kepribadian mereka. Pesan ketiga adalah tidak tercapainya harapan orang tua, yakni menyekolahkan anaknya untuk mendapatkan pengetahuan sebagai bekalnya mengarungi kehidupan. Silahkan hal ini diperdebatkan, tapi orang tua manapun pasti akan bersedih ketika mengetahui anaknya melakukan sesuatu yang tidak sepatutnya dilakukan.

Bagaimana dengan kesuksesan seseorang? Dalam ajaran agama (Islam), kesuksesan seseorang tidak ditentukan oleh seberapa tinggi sekolahnya, seberapa pintar gurunya, atau seberapa kaya orang tuanya. Kesuksesan seseorang sangat tergantung pada usahanya sendiri (lihat QS Ar-Ra’ad:11). Tetapi, dalam melaksanakan usaha guna mendapatkan hasil, seseorang atau kelompok diikat oleh ketentuan. Islam mengharuskan terpenuhinya dua aspek dalam berusaha yakni halal (diperbolehkan) dan thayyib (baik). Halal berkaitan dengan hasil usaha dalam bentuk barang atau benda, sedangkan thayyib berhubungan dengan cara yang digunakan. Berdagang adalah cara yang baik (thayyib) tetapi jika yang diperdagangkan adalah minuman keras, maka muniman kerasnya tidak halal. Menjadi pejabat adalah halal (diperbolehkan) namun jika jabatan itu diperoleh dengan jalan sogok, maka caranya tidak thayyib (baik), dengan demikian agama melarangnya. Aspek yang ditekankan oleh agama adalah menjadi pejabat (halal) atas dasar prestasi dan kinerja (thayyib), menjadi pengusaha walaupun hanya dengan warung pojok yang sempit tetapi menjual makanan dan minuman yang halal dan baik, pada konteks inilah kesuksesan bersemayam. Seorang WTS, pemilik bar, penyanyi dengan pakaian seksi dan goyangan erotis, pengedar narkoba, penjudi, dan lain sebagainya, bisa saja menjadi kaya raya. Namun dalam konteks agama mereka bukanlah orang-orang yang sukses, karena usaha yang dilakukan tidak halal dan thayyib. Demikian pula pelaku korupsi bisa saja menjadi sangat kaya, pelaku sogok dapat saja memiliki jabatan sangat tinggi, tetapi karena cara yang digunakan tidak thayyib (baik) maka agama justru memandangnya sebagai orang yang tercela, bukan orang yang sukses. Pemenuhan aspek halal dan thayyib dalam setiap usaha, tidak hanya menjamin kesuksesan secara fisik-jasmaniyah semata, tetapi juga menjamin kesuksesan secara psikis-rohaniyah.

Lalu, bagaimana dengan siswa yang mengekspresikan kelulusannya dengan melakukan goyang erotis di sekolah? Semoga ke depannya menjadi orang sukses sebagaimana yang diharapkan gurunya, orang tuanya, dan ia sendiri. Toh Tuhan tidak akan merubah nasib seseorang kecuali dia sendiri yang merubahnya. Artinya, kesuksesan seseorang tidak terkait dengan apa yang ia lakukan ketika menamatkan sekolahnya pada salah satu jenjang pendidikan tertentu. Tetapi melakukan goyangan erotis dihadapan orang banyak merupakan sikap yang tidak terdidik sekaligus tidak mendidik. Semoga kita dapat mengambil hikmah, sembari berharap bahwa kejadian yang sama tidak kembali terulang. Wallahu a’lam bish-shawab

Komp. Samirono, Sleman DIY, 6/5/2018

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "Menyoal Ekspresi Kelulusan, Fungsi Sekolah dan Kunci Kesuksesan"