Ramadhan dan Tradisi Haroa

Tradisi Haroa


Ketika bulan ramadhan datang, masyarakat Liya akan dihadapkan pada banyak kesibukkan. Kaum pria akan disibukkan dengan urusan mencari kayu bakar, mengambil janur dan mencari ikan. Kayu bakar disiapkan untuk acara memasak, sedangkan janur untuk bahan dasar membuat lapa, yaitu penganan yang terbuat dari beras ketan dan dibungkus janur. Untuk mendapatkan ikan terbaik, waktu memancing dilakukan pada malam hari. Masyarakat Liya secara khusus, dan masyarakat pesisir secara umum meyakini bahwa memancing pada malam hari adalah waktu yang tepat untuk mendapatkan ikan-ikan besar dan terbaik. Kaum perempuan akan sibuk didapur, menyiapkan segala jenis masakan; sedangkan para remaja dan anak-anak akan sibuk mengumpulkan air dari sumur umum yang jaraknya sekitar 3 km dengan medan menuruni lembah. Semua wadah dimuati air, untuk memenuhi kebutuhan memasak yang meningkat tajam menjelang ramadhan. Semua aktivitas tersebut dilakukan demi menyambut datangnya bulan ramadhan. Bulan Ramadhan, bagi masyarakat Liya (masyarakat yang mendiami Desa Liya Togo, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi), adalah bulan yang istimewa. Pada bulan ramadhan, semua amal ibadah dilipatgandakan pahalanya, dan semua kesalahan dimaafkan. Dalam bulan ramdhan terdapat satu malam, yang kebaikannya setara dengan seribu bulan, itulah pemahaman yang mereka yakini. Oleh karena itu, masyarakat Liya mempunyai tradisi yang unik dalam menyambut bulan ramadhan. Tradisi tersebut dinamakan dengan Haroa.

Kata haroa berarti sesajen (sajian makanan) yang disiapkan untuk menyambut datangnya bulan ramadhan. Wadah yang digunakan untuk menyajikan sesajen adalah Tala (talang berkaki) dengan penutup yang oleh masyarakat Liya menyebutnya dengan katubangko. Ketika sajian haroa telah siap maka tuan rumah akan memanggil orang tua yang akan membacakan do’a. Biasanya, do’a yang dipanjatkan adalah untuk panjang umur, banyak rezki, dan terhindarkan dari segala musibah.  Pada saat pembacaan do’a, semua anggota keluarga berkumpul mengelilingi haroa, setelah do’a dipanjatkan, sajian haroa akan dinikmati bersama. Banyak ragam menu dalam haroa, yang semuanya bersifat spesial. Misalnya, Lapa (semacam buras tetapi modelnya memanjang dan dibungkus janur), nasi dari beras ketan (orang Bugis menyebutnya Songkolo), kue cucur, pisang goreng, dan ikan goreng. Semua jenis makanan yang dihidangkan dalam haroa adalah masakan yang masuk pada kategori “enak dan manis”. Ragam jenis makanan ini biasanya hanya bisa dinikmati pada hari pelaksanaan haroa.

Selama bulan ramadhan, ada empat waktu pelaksanaan haroa. Pertama, pada awal ramadhan, tetapi tidak dilaksanakan pada hari pertama puasa. Haroa pertama dilaksanakan pada hari ke-30 bulan sya’ban; haroa kedua dilaksanakan pada hari ke-15 atau pada pertengahan ramadhan; haroa ketiga dilaksanakan pada hari ke-27 ramadhan, yakni khusus dilakukan untuk menyambut datangnya malam Lailatul Qadir; sedangkan haroa keempat dilaksanakan setelah selesai bulan ramadhan, yaitu pada tanggal 1 syawal bertepatana dengan Idul Fitri.

Tradisi haroa dalam masyarakat Liya bukan sekedar ritual tanpa makna, tetapi merupakan kebiasaan yang sudah mendarah daging dan sarat dengan nilai-nilai. Haroa yang dilaksanakan pada awal memasuki bulan ramdhan adalah bentuk refleksi ungkapan rasa senang masyarakat atas datangnyan bulan ramadhan. Kegembiraan masyarakat karena dapat kembali berjumpa dengan bulan puasa diwujudkan dengan membuat sejumlah sajian untuk dicicipi secara bersama. Dalam kontks ini, haroa menjadi wahana membangun keakraban dalam keluarga, juga menjadi momentum membangun komitmen bersama untuk menjalankan ibadah puasa sebulan penuh. Nampaknya, tradisi ini merupakan bentuk aktualisasi dari salah satu hadits yang mengatakan bahwa “barang siapa yang senang atau bergembira dengan datangnya bulan ramadhan, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah”. Haroa kedua yang dilaksanakan pada pertengahan ramadhan adalah upaya membangun spirit agar puasa yang tinggal lima belas hari lagi dapat dituntaskan. Aneka makanan yang disajikan dalan haroa seolah menjadi 'hadiah' atas puasa yang telah dilaksanakan selama lima belas hari, sekaligus sebagai 'stimulus' untuk menuntaskan kewajiban puasa yang tinggal lima belas hari. Haroa yang dilaksanakan pada hari ke dua puluh tujuh adalah tradisi menyambut datangnya malam Lailatur Qadir. Pada malam ke-27, masyarakat Liya meyakini sebagai waktu datangnya malam seribu bulan, sehingga masyarakat menyambutnya dengan membuat haroa serta menyalakan lampu tembok yang disebut tutungi.  Tradisi tutungi adalah menyalakan lampu tembok pada setiap tiang-tiang rumah yang menjadikan suasana malam begitu terang. Pada zaman dulu listrik belum ada, alat penerang adalah lapu tembok. Pada saat tutungi, lampu tembok disiapkan khusus yaitu wadahnya dari kulit kerang, menggunakan minyak kelapa, sedangkan sumbunya berasal dari kapas. Meskipun ukuran nyalanya sedikit, tetapi karena ada disetiap tiang dan sudut-sudut rumah serta pada semua rumah, maka suasana menjadi sangat terang. Haroa ketiga ini memberikan gambaran tentang geliat masyarakat Liya dalam usahanya berjumpa dengan malam Lailatul Qadir. Suatu malam, yang amalan kebajikan disetarakan dengan seribu bulan. Haroa keempat yang dilaksanakan pada hari raya Idul Fitri adalah tradisi merayakan hari kemenangan, setelah ibadah puasa dilaksanakan sebulan penuh. Tradisi ini merefleksikan rasa bangga, rasa senang, dan rasa haru masyarakat setelah melaksanakan ibadah puasa. Rasa bangga karena mampu melaksanakan ibadah puasa serta ibadah-ibadah sunnah lainnya, senang karena berhasil menghadapi segala ujian selama bulan ramadhan, dan rasa haru karena kembali menjadi pribadi-pribadi yang fitrah setelah mengalami mencucian selama bulan ramadhan.

Dalam perspektif teori pembelajaran, haroa dapat dikatakan sebagai pengkondisian (conditioning). Skinner mengembangkan teori operant conditioning, menurutnya, tingkah laku bukanlah sekedar respon terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant. Operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya, dengan demikian operant conditioning atau operant learning melibatkan pengendalian konsekuensi. Dalam konteks pembelajaran, tradisi haroa adalah operant conditioning yaitu kondisi yang sengaja diciptakan untuk menumbuhkan kesadaran serta semangat berpuasa. Ibadah puasa dilakukan dengan menahan lapar dan haus pada siang hari selama bulan ramadhan. Oleh karena itu, pelaksanaan ibadah puasa membutuhkan kesiapan fisik dan mental. Nampaknya, para orang tua menyadari bahwa menumbuhkan kesadaran bagi anak untuk melaksanakan ibadah puasa bukan persoalan mudah. Sehingga dibutuhkan suatu rangsangan agar anak-anak dapat menyadari pentingnya puasa lalu melaksanakannya. Disinilah letak urgensinya haroa, sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun yang tujuannya adalah agar anak-anak pada setiap keluarga dapat terbiasa melaksanakan ibadah puasa. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Ramadhan dan Tradisi Haroa"

Posting Komentar