Ilustrasi Madrasah |
Pada suatu
perjalanan mudik dari Kendari menuju Wakatobi tanpa sengaja berjumpa dengan
beberapa teman (senior) yang kebetulan mendapatkan amanah sebagai Kepala Madrasah di Kabupaten Wakatobi. Ada
yang bertugas di Wangi-Wangi, Kaledupa, dan Binongko. Setelah saling tegur sapa
akhirnya saya tahu bahwa para Kepala Madrasah tersebut sedang dalam perjalanan
balik setelah menghadiri kegiatan KSM (Kompetisi Sains Madrasah) tingkat
nasional yang dilaksanakan di Pontianak Kalimantan Barat. Salah seorang Kepala
Madrasah memulai cerita tentang ‘wajah madrasah’ di daerah Pontianak. Saya lalu
menyimak dengan seksama, karena buat saya ini adalah ‘buah tangan’ yang paling
bernilai dibanding sekedar dibawakan gantungan kunci atau baju kaos bertuliskan
KSM. Secara umum mereka terkagum-kagum dengan perkembangan madrasah disana
(Pontianak), karena hampir semua madrasah yang dikunjungi rata-rata mempunyai
siswa diatas lima ratus-an, bahkan salah satu madrasah mempunyai siswa lebih
dari delapan ratus orang.
Saya lalu
teringat dengan cerita teman yang kebetulan bulan lalu mudik ke Padang. Setelah
kembali beliau bercerita tentang perkembangan siswa madrasah di Kota ‘Egypte
van Andalas’ itu. Baginya, madrasah kini telah mengalami perubahan.
Tingginya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya di madrasah menjadi
salah satu indikator bahwa madrasah bukan lagi sekolah “pelarian” (setelah
tidak diterima di sekolah favorit), tetapi sudah menjadi pilihan utama. Madrasah
dipilih bukan karena tidak diterima di sekolah umum, tetapi karena diyakini
bahwa madrasah memang layak menjadi pilihan (madrasah lebih baik, lebih baik
madrasah). Saya sendiri mengamati perkembangan madrasah terhitung sudah lama.
Pada tahun 1994-1997 menjadi siswa di salah satu madrasah aliyah swasta di
Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Buton (sekarang Wakatobi), pada tahun 1999
menjadi mahasiswa PPL (praktek pengalaman lapangan) di MAN 1 Kendari, tahun
2002 menjadi guru honorer di MAN Bau-Bau, tahun 2003-2004 menjadi guru (PNS) di
MAN Kota Baru Raha (sekarang MAN 1 Raha), tahun 2005-2006 dipindahtugaskan menjadi guru di MAN
Wangi-Wangi. Pengalaman ini kemudian dilengkapi dengan masa kerja menangani
madrasah dan pendidikan Islam di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wakatobi
pada tahun 2009-2015. Momentum ini menjadi ruang buatku untuk dapat berkeliling
mengunjungi semua madrasah dalam wilayah Kabupaten Wakatobi, mulai dari Patuno
(pulau Wangi-Wangi) hingga Haka (pulau Binongko). Sejumlah pengalaman
tersebut mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa “madrasah kini telah
berevolusi, dari sekolah yang tidak diminati menjadi sekolah yang diminati. Dahulu
madrasah kekurangan peserta didik, sekarang tidak kekurangan dan bahkan kelebihan peserta didik”.
Situasi ini
tentu menjadi tantangan baru bagi pengelola madrasah. Tingginya minat
masyarakat menyekolahkan putra-putrinya di madrasah harus dijawab dengan
perbaikan kualitas. Jika tidak mampu dijawab, maka lambat laun kepercayaan
masyarakat akan memudar dan pada gilirannya akan kembali meninggalkan madrasah.
Pada konteks inilah pentingnya merumuskan strategi pengembangan madrasah. Pertama, dari tanpa
seleksi menuju seleksi. Sampai dengan tahun 90-an, siswa yang masuk di madrasah
tidak pernah diseleksi. Meskipun demikian, kebanyakan madrasah masih mengalami
kekurangan peserta didik baru. Bahkan hingga kini madrasah yang menerapkan
sistem seleksi masih dapat dihitung, kecenderungan yang ada adalah
menerima semua siswa yang masuk. Akibatnya adalah banyak madrasah yang
mengalami kelebihan kapasitas (over capaticy). Hal ini kemudian
berimplikasi pada manajemen sumber belajar madrasah yang tidak optimal. Jumlah rombongan
belajar (rombel) tidak paralel dengan jumlah RKB (ruang kelas belajar),
ketersediaan tenaga pendidik dan kependidikan tidak sepadan dengan jumlah siswa,
serta sumber belajar belum memadai untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran.
Bahkan pada madrasah tertentu harus menyulap aula menjadi ruang belajar
(disekat dengan tripleks), belajar di musholla, atau memperbanyak jumlah siswa
setiap kelas (melebihi standar normal). Kondisi ini tentu harus segera dirubah
dengan menerapkan sistem seleksi. Melalui mekanisme seleksi, siswa yang masuk
di madrasah dapat dipetakan asal sekolahnya, nilai dan peringkatnya, bakat dan
minatnya, serta latar belakang orang tuanya. Dengan seleksi juga, madrasah dapat
menyesuaikan jumlah siswa baru yang akan diterima dengan ketersediaan RKB.
Tetapi, aspek yang paling penting dari adanya seleksi adalah tersedianya “bibit
unggul” di madrasah. Jika langkah ini dapat dilakukan, maka madrasah berarti
telah menanamkan budaya kualitas. Faktanya, semua sekolah favorit, termasuk Perguruang
Tinggi favorit selalu melakukan seleksi.
Kedua, dari
orientasi kuantitatif menuju kualitatif. Jika sampai dengan tahun 90-an hingga
awal tahun 2000-an, madrasah dengan jumlah siswa yang banyak dianggap sebagai
madrasah bergengsi, atau madrasah favorit, maka cara pandang ini harus dirubah.
Bergengsi atau tidaknya madrasah, favorit atau tidaknya madrasah tidak
ditentukan oleh kuantitas (jumlah) peserta didik, tetapi lebih ditentukan oleh
kualitas (kadar, derajat, atau taraf kecakapan) peserta didik maupun tenaga
pendidik dan kependidikan. Wajah madrasah kini telah banyak mengalami
perubahan, dari gedung darurat berubah menjadi gedung permanen, semula
kelebihan guru Agama (Islam) dan kekurangan guru umum kini memiliki tenaga guru
yang merata (imbang antara guru mapel agama dan mapel umum), semula memiliki
keterbatasan sumber belajar kini mempunyai ketersediaan sumber belajar.
Artinya, bisa jadi meningkatnya jumlah siswa yang masuk madrasah bukan
disebabkan oleh faktor kesuksesan kepemimpinan madrasah, tetapi lebih
disebabkan oleh trend perkembangan zaman dimana orang tua siswa lebih
meminati sekolah yang berciri khas agama. Pada konteks inilah madrasah menjadi
pilihan utama. Jika hipotesis ini benar, maka banyaknya siswa yang masuk di
madrasah tidak dapat dijadikan sebagai indikator keberhasilan kepemimpinan
madrasah. Indikator keberhasilan kepemimpinan di madrasah dapat dilihat melalui
torehan prestasi yang diukir oleh siswa maupun guru madrasah dalam setiap momentum,
dan hal ini sangat relevan dengan berbagai program dan kegiatan yang
dikembangkan di madrasah. Ketika ada siswa atau guru yang meraih prestasi pada
ajang tertentu, pihak manajemen madrasah lalu bangga, tetapi lupa mengevaluasi
bahwa apakah sudah ada program madrasah yang mengarah pada pencapaian prestasi.
Jangan-jangan siswa atau guru tersebut tetap akan mendapatkan prestasi meskipun
tidak bersekolah atau bertugas di madrasah. Artinya, prestasi yang dicapai oleh
siswa dan atau guru madrasah lebih ditentukan oleh potensi pribadi (self
talent), bukan karena program atau perlakuan (treatment) yang dikembangkan
pada madrasah.
Ketiga, dari
paradigma ‘bengkel’ menuju excellent. Ketika madrasah masih kekurangan
siswa, maka paradigma yang dianut adalah “bengkel”. Madrasah di ibaratkan
sebagai ‘bengkel moral’ yang siap menampung dan membina semua siswa dari mana
saja tanpa memperhatikan berbagai latar belakang yang dimiliki. Akibatnya adalah
banyak siswa pindahan yang sebenarnya sudah tidak mampu dibina oleh sekolah
induknya tetapi diterima masuk di madrasah. Targetnya adalah minimal semua
siswa, ketika tamat madrasah mempunyai sikap dan prilaku yang sesuai dengan
tuntunan agama. Paradigma ini lambat laun mengalami kehilangan relevansi. Kini
madrasah tidak lagi kekurangan peserta didik, dan pada saat yang sama ada
tuntutan peningkatan kualitas lulusan agar mampu bersaing dengan lulusan
sekolah lain baik dalam memasuki jenjang yang lebih tinggi, memasuki dunia
kerja, maupun memasuki dunia masyarakat. Situasi ini memaksa pengelola madrasah
mau tidak mau harus merubah paradigma, yaitu dari paradigma ‘bengkel’ menuju
paradigma excellent. Sudah saatnya madrasah dilihat sebagai sekolah yang
berciri khas agama Islam dengan segala keunggulan yang dimiliki. Konsekuensinya
adalah pengelola madrasah (terutama kepala madrasah) harus berani melakukan
terobosan dengan mengembangkan berbagai program unggulan, baik yang telah ada
pada sekolah lain (borrowing) maupun sesuatu yang baru (innovation).
Berbagai program unggulan tersebut misalnya; kelas akselerasi, kelas
international, kelas bilingual, Group music Islami, jurnalistik,
debat bahasa Arab/Inggris, Kajian Lintas Agama dan Budaya, Drama musikal, Lomba
menulis opini, dan lain sebagainya). Tentu harus dilakukan secara terprogram,
terjadwal, dan terstruktur dengan dibina oleh sumber daya yang berkompeten.
Jika ketiga
strategi pengembangan tersebut dapat dilakukan, maka madrasah lambat laun akan
semakin berkualitas. Saat ini, referensi madrasah yang berkualitas selalu
merujuk pada MAN Insan Cendekia Serpong, MAN Insan Cendekia Gorontalo, MAN
Model Malang, dan beberapa madrasah unggulan lainnya. Semoga ke depan, madrasah
unggulan atau apapun namanya tidak hanya ditemukan di Serpong, Gorontalo, atau
Malang, tetapi ada di seluruh pelosok Indonesia. Especially those in
Wakatobi, from Patuno to Waloindi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Menuju Madrasah yang Semakin Berkualitas"
Posting Komentar