Ilustrasi (kompasiana.com) |
Diskusi ataupun wacara tentang netralitas
Aparatur Sipil Negara (ASN) selalu menghangat setiap memasuki momentum politik
semacam Pilkada. Hal ini terjadi karena telah ada banyak kasus tentang
keterlibatan ASN dalam politik sementara undang-undang dengan tegas mengatakan
bahwa ASN tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 23 tahun
2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sangat tegas mengamanahkan ASN untuk
menjaga netralitas dalam politik praktis. Hal ini diperkuat dengan Surat
Edaran Menteri PANRB No. 06/M.PANRB/11/2016
tentang pelaksanaan Netralitas dan Penegakan Disiplin serta Sanksi bagi ASN
pada Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara serentak. Akan tetapi “keampuhan”
regulasi tersebut dalam menjaga netralitas ASN dalam Pilkada masih perlu
dipertanyakan. Faktanya, Bawaslu mencatat telah menerima laporan 35 kasus keterlibatan
ASN selama pilkada serentak 2018 (Republika,co.id, 30 Juni 2018). Mengapa
netralitas ASN seolah sulit terkontrol pada setiap perhelatan Pilkada?
Posisi ASN dalam
Undang-Undang
Dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, ditegaskan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah
profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian
kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai ASN terdiri dari pegawai negeri
sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat
pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau
diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Fungsi ASN adalah pelaksana kebijakan publik, pelayan publik, serta perekat dan
pemersatu bangsa. Tugasnya adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat
oleh pejabat pembina kepegawaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; serta mempererat
persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya, ASN bertanggung jawab kepada pejabat pembina kepegawaian. Pada tingkat
provinsi, pejabat pembina kepegawaian adalah gubernur, sedangkan pada tingkat
kabupaten/kota adalah bupati/walikota. Karena posisinya sebagai pejabat pembina
kepegawaian, maka bupati/walikota memiliki sejumlah kewenangan dalam mengatur
ASN. Akibatnya adalah ASN memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap bupati/walikota
terkait dengan masa depan karirnya. Pegawai negeri sipil bergantung kepada
bupati/walikota dalam kapasitasnya sebagai pejabat pembina kepegawaian yang berwenang
menilai kinerja, memutasi, promosi, maupun memberikan reward dan punishment.
Juga berwenang mengangkat dan memberhentikan pegawai pemerintah dengan kerjanjian
kerja. Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pejabat pembina kepegawaian menjadikan
ASN sangat loyal pada bupati/walikota. Apapun “titah” bupati/walikota akan senantiasa
didengarkan dan dipatuhi.
Problemnya adalah bupati/walikota
bukanlah jabatan karir, tetapi jabatan politik. Bupati/walikota juga terpilih
melalui proses politik yakni pemilihan langsung yang mekanisme pengajuannya
melalui partai politik. Dengan demikian, bupati/walikota adalah politisi
sehingga sarat dengan kepentingan.
Nilai Tawar ASN dalam Pilkada
Ada dua
nilai tawar ASN dalam pilkada. Pertama, postur birokrasi pemerintah
daerah yang sangat gemuk. Birokrasi pemerintah daerah terdiri dari satuan kerja
perangkat daerah (SKPD) yang di isi oleh pegawai negeri sipil mulai dari eselon
rendah sampai paling tinggi, pejabat struktural dan fungsional, serta staf
biasa maupun tenaga yang dipekerjakan dengan perjanjian. Sebaran ASN tidak
hanya sampai level kabupaten/kota tetapi sampai kecamatan dan kelurahan. Secara
kuantitas, jumlah ini bahkan mengalahkan jumlah pengurus partai politik pada
level kabupaten/kota hingga kecamatan (PC) dan desa/kelurahan (PAC). Kedua,
kualitas ASN yang rata-rata baik karena memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
serta rentan usia yang masih tergolong muda. Jenjang pendidikan ASN paling
rendah adalah SMA/sederajat, selebihnya adalah sarjana dan pascasarjana. Hal
ini menjadikan ASN memiliki daya tarik tersendiri dalam masyarakat serta kadar
kepercayaan yang tinggi karena perannya sebagai pelayan publik. Dalam pandangan
masyarakat, layanan yang diberikan oleh ASN adalah kerja tanpa pamrih. Tentu,
situasi ini berbeda dengan kerja pengurus partai politik yang selalu dianggap oleh
masyarakat mempunyai kepentingan dan agenda politik.
Nampaknya,
aspek kuantitas dan kualitas inilah yang menjadikannya ASN selalu “seksi” dalam
setiap perhelatan pilkada. Jumlah ASN yang sangat banyak, kualitas pendidikan
yang baik, kharismatik dan dipercaya oleh masyarakat dapat dipandang oleh kepala
daerah maupun calon kepala daerah sebagai kekuatan yang dapat digerakan untuk
mendulang simpati dan dukungan publik. Bagi kepala daerah (bupati/walikota), posisinya
sebagai pejabat pembina kepegawaian dapat menjadi senjata ampuh untuk menyeret
ASN terlibat menjadi tim pemenangan. Melakukan promosi dan ancaman mutasi adalah
langkah jitu guna mengajak ASN bekerja membantu pemenangan untuk melanggengkan
kekuasaan lima tahun berikutnya. Sedangkan bagi calon kepala daerah, pemberian
janji atau iming-iming mendapatkan jabatan strategis bisa saja dilakukan untuk
mengajak ASN terlibat dalam kerja-kerja politik praktis. Pilkada pada akhirnya
menjadi kesempatan yang tepat untuk membangun symbiosis mutualisme antara calon
kepala daerah dengan aparatur sipil negara.
Bagi ASN
sendiri, iming-iming jabatan maupun ancaman mutasi menjadikannya sulit untuk
mengelak. Bagaimanapun, ASN adalah jabatan karir, keinginan untuk mendapatkan posisi
yang lebih tinggi adalah manusiawi, sama dengan kekhawatiran mendapatkan mutasi
apakah lagi non job. Mengemban jabatan “basah” bagi ASN adalah kebutuhan
sekaligus kesempatan membuktikan kemampuan diri yang oleh Abraham Maslow disebut
sebagai kebutuhan aktualisasi diri (self actualization needs). Hal ini
sangat mungkin terutama pada daerah-daerah yang belum memberlakukan merit
sistem dalam pengisian jabatan struktural. Secara sederhana, merit sistem dapat
dipahami sebagai mekanisme pengisian jabatan melalui assessment untuk
mendapatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat (the right man on the
right place) tanpa intervensi kepala daerah.
Dengan
demikian, mengharapkan ASN untuk netral dalam setiap pelaksanaan pilkada
sangatlah sulit, bahkan hampir pasti menjadi sebuah utopis. Kewenangan kuat
yang dimiliki bupati/walikota, kebutuhan akan jabatan strategis dan kekhawatiran mutasi bagi ASN, serta belum
diberlakukannya merit sistem dalam pengisian jabatan-jabatan struktural
nampaknya menjadi instrumen penghalang yang utama. Oleh karena itu, jika pemerintah
serius ingin menjaga netralitas ASN dalam setiap perhelatan pemilihan kepala
daerah, maka diperlukan regulasi yang mengatur bahwa pejabat pembina kepegawaian
bukan lagi dijabat oleh bupati/walikota, dan juga regulasi yang mengharuskan
pengisian jabatan struktural dilakukan melalui mekanisme merit sistem. Dengan begitu,
tingkat ketergantungan ASN terhadap bupati/walikota sebagai pimpinan politik
akan semakin berkurang dan pengisian jabatan struktural lebih didasarkan pada
kompetensi, kinerja, dan integritas. Wallahu a’lam bish-shawab
Kendari, 06 Des 2019
Kendari, 06 Des 2019
Belum ada tanggapan untuk "Menyoal Netralitas ASN dalam Pilkada"
Posting Komentar