Tutungi : Tradisi Menyambut Laylat Al-Qadr



Ilustrasi Laylat Al-Qadr

Cerita tentang malam Laylat Al-Qadr ditemukan dalam Surah Al-Qadr, surah yang ke-97 menurut urutannya di dalam mushaf Al-Qur’an. Ia ditempatkan sesudah Surah Al-Iqra’. Para ulama Al-Qur’an menyatakan bahwa ia turun jauh sesudah turunnya Surah Al-Iqra’. Bahkan sebagian diantara mereka menyatakan bahwa Surah Al-Qadr turun setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, sedangkan surah Al-Iqra’ turun ketika masih di Makkah. Sehingga rentan waktu turunnya kedua surah tersebut sangat jauh. Penempatan dan menurutan Surah dalam Al-Qur’an dilakukan langsung atas perintah Allah SWT, dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang mengagumkan. Kalau Surah Iqra’, Nabi Muhammad SAW diperintahkan (demikian pula kaum muslimin) untuk membaca dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Qur’an, maka wajarlah kalau surah sesudahnya, yakni Surah Al-Qadr berbicara tentang turunnya Al-Qur’an dan kemuliaan malam yang terpilih sebagai malam diturunkannya Al-Qur'an (Quraish Shihab; 2007, 486).  

Malam turunnya Al-Qur’an diistilahkan dengan malam Laylat Al-Qadr. Dalam Surah Al-Qadr ayat 1-5 dijelaskan bahwa; “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar”. Oleh karena posisinya yang sangat istimewa, yaitu setara dengan seribu bulan, maka seluruh umat muslim begitu berkeinginan untuk berjumpa dengan malam Laylatul Qadr. Kaum muslimin berkeyakinan bahwa, Laylatul Qadr hanya ada satu malam dalam bulan ramadhan. Hadirnya tidak menentu, tetapi dipahami oleh sebagian kalangan bahwa malam tersebut hadir pada malam-malam ganjil setelah hari ke-10 puasa.

Masyarakat Wakatobi yang keseluruhannya adalah muslim, mempunyai tradisi menarik dalam menyambut datangnya malam Laylatul Qadr. Mereka berkeyakinan bahwa malam kemuliaan tersebut datang pada malam ke-27 ramadhan, sehingga pada malam itu dilakukan tradisi Tutungi. Tradisi ini adalah wujud antusias masyarakat dalam menyambut datangnya malam, dimana satu amalan kebajikan akan dilipatgandakan imbalannya setara dengan seribu bulan. Secara kebahasaan, Tutungi berarti membakar atau melakukan bakar-bakar. Terminologi Tutungi adalah ritual menyalakan lampu tembok dalam jumlah banyak pada malam hari ramadhan, tepatnya pada malam ke-27. Jumlah lampu tembok yang dinyalakan tidak menentu. Pada zaman dahulu, kebanyakan rumah warga adalah rumah panggung (mirip dengan malige di Buton), sehingga jumlah lampu tembok disesuaikan dengan jumlah tiang rumah, serta sudut-sudut rumah. Setiap tiang rumah ditempatkan satu atau dua buah lampu tembok, demikian pula setiap sudut luar rumah ditempatkan satu buah lampu tembok. Setiap pemilik rumah melakukan hal yang sama, sehingga suasana malam seketika menjadi terang benderang. Wadah lampu tembok adalah kulit kerang, sumbunya adalah kapas, sedangkan minyaknya menggunakan minyak kelapa. Wadah kulit kerang adalah pilihan cerdas, selain karena Wakatobi adalah daerah pesisir sehingga tidak kulit mencari kulit kerang, kulit kerang juga tidak cepat panas sehingga dapat mengurangi resiko kebakaran. Sedangkan penggunaan minyak kelapa untuk pengapian, selain alasan hemat, apinya lembut, juga karena saat itu masyarakat masih lebih gampang menemukan minyak kelapa daripada minyak tanah. Menemukan minyak tanah masih harus menunggu pasokan dari penjual, sedangkan minyak kelapa dapat diproduksi sendiri oleh masyarakat lokal. Hari pelaksanaan tutungi oleh masyarakat Wakatobi istilahkan dengan Kazdiri/Kajiri.

Ternyata, tradisi menyambut Laylatul Qadr di Wakatobi sangat mirip dengan di Ereke (Buton Utara). Dari beberapa sumber yang dapat dihimpun, dijelaskan bahwa jika di Wakatobi diistilahkan Kazdiri/Kajiri, di Ereke diistilahkan dengan Laela. Kata Laela berarti malam, sedangkan kata Kazdiri/Kajiri adalah istilah lokal untuk kata Qadr. Dalam konteks ke-bahasa-an, masyarakat Ereke mengambil kata pertama sedangkan masyarakat Wakatobi mengambil kata kedua dalam penamaan tradisi penyambutan malam Laylat Al-Qadr. Tradisi membakar lampu tembok juga mempunyai kemiripan, bedanya adalah bahan dasar lampu tembok. Di Ereke, lampu yang dibakar berasal dari kapas yang ditumbuk bercampur dengan kenari. Setelah ditumbuk lalu digulung dan dililitkan pada kayu kemudian dikeringkan. Setelah kering, lalu dibakar menjadi penerang pada malam Laela. Pemilihan bahan dasar lampu dari kenari dan kapas terkait dengan ketersediaan bahan dasar. Ereke adalah daerah yang sangat subur, sehingga kapas dan kenari mudah ditemukan di Ereke. Disamping itu, lampu yang bahan dasarnya dari kenari dan kapas, mempunyai aroma yang sangat harum. Banyaknya lampu yang dibakar pada malam Laela menjadikan suasana malam menjadi sangat terang benderang.

Tradisi tutungi pada masyarakat Wakatobi dan masyarakat Ereke adalah wujud aktualisasi semangat keberagamaan masyarakat. Laylat Al-Qadr adalah peristiwa agama  sehingga bersifat universal, sedangkan Tutungi adalah peristiwa budaya dan karenanya bersifat lokal. Terjadinya peristiwa budaya (Tutungi) untuk menanti datangnya peristiwa agama (Laylat Al-Qadr) adalah khasanah kearifan masyarakat lokal dalam merefleksikan spirit keberagamaannya. Kini, tradisi itu terancam kepunahannya seiring dengan perkembangan zaman. Rumah-rumah warga yang semula adalah rumah panggung, kini berubah menjadi rumah beton. Lampu-lampu tembok yang semula menjadi penerang utama, kini berganti dengan listrik yang kualitasnya jauh lebih bagus. Jika tradisi tutungi dilihat sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari rumah panggung dan lampu tembok, maka tentu lambat laun akan menghilang dari kehidupan masyarakat Wakatobi dan Ereke. Sejatinya, tradisi tutungi dilihat sebagai wujud semangat keberagamaan masyarakat, sehingga ia akan tetap lestari meskipun rumah sudah semakin modern dan lampu tempok hanya tinggal kenangan. Aplikasi semangat keberagamaan masyarakat mungkin tidak lagi dengan Tutungi, tetapi dapat diganti dengan bertadarrus al-Qur’an, qiyamullayli, atau memperbanyak zikir. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Tutungi : Tradisi Menyambut Laylat Al-Qadr"

Posting Komentar