Memahami Ombak dalam Perspektif Pelaut Wakatobi



Ilustrasi

Berlayar mengarungi lautan luas untuk merangkai pulau demi pulau, bagi pelaut Wakatobi adalah takdir bukan pilihan. Kemanapun mereka melangkah, yang ada dihadapannya adalah bentangan laut banda dan laut flores yang terkenal dengan keganasan ombaknya. Mengarungi lautan adalah keniscayaan untuk melepaskan diri dari belenggu “pulau karang” dimana mereka tinggal. Pelaut Wakatobi karenanya memiliki sejumlah pengetahuan bahari yang menjadi modal dalam mengarungi lautan. Salah satu pengetahuan tersebut adalah mengenai ombak. Bagi pelaut Wakatobi, ombak musim barat dan musim timur adalah berbeda. Musim barat ditamsilkan dengan perempuan, ombaknya sangat keras, amukannya sangat ganas tetapi prosesnya tidak lama. Meskipun hempasan ombak angin barat adalah sangat keras, tetapi temponya hanya sewaktu-waktu, yaitu ketika langit sedang gelap. Setelah cuaca cerah, hempasan ombak kembali normal. Ibarat marahnya perempuan, tensinya sangat keras tetapi temponya tidak lama. Angin musim timur diumpamakan dengan laki-laki, amukan ombaknya berlangsung sepanjang waktu. Tensi ombaknya  sangat tinggi dan keras dengan tempo yang sangat lama. Situasi ini oleh pelaut Wakatobi disamakan dengan marahnya laki-laki yang biasanya keras dan lama.
Pada musim angin, pelaut Wakatobi mengklasifikasi empat level ombak yang keras. Pengklasifikasian ini didasarkan pada kerasnya hantaman ombak pada lampung perahu dan atau kualitas dan kuantitas ombak yang menggulung dalam satu kali pergerakan perahu. Level pertama adalah 3 (tiga) ombak, kevel kedua adalah 5 (lima) ombak, level ketiga adalah 7 (tujuh) ombak, dan level paling top adalah 9 ombak. Bagaimana cara membedakannya? Membedakan level ombak pada musim angin, pelaut Wakatobi akan melakukan dua hal. Pertama, menghitung jumlah hempasan ombak pada lambung perahu dalam satu kali pergerakan perahu. Jika dalam satu kali pergerakan, ombak yang menghantam lambung perahu adalah tiga kali berturut-turut, maka kerasnya ombak adalah berada dalam level 1 (satu). Namun jika dalam satu kali pergerakan, ombak yang menghantam secara berurut adalah lima, maka kerasnya ombak berada pada level 2, dan seterusnya. Kedua, menghitung jumlah gulungan ombak yang mengarah ke perahu. Biasanya gulungan ombak besar yang mengarah ke perahu hanya satu atau dua buah, ombak susulan biasanya sudah tidak sebesar dan sekeras yang pertama atau yang kedua. Jika besar dan kerasnya tiga buah gulungan ombak yang mengarah ke perahu adalah sama secara beruntun, maka kualitas ombak berada pada level satu. Demikian pula jika ombak yang mengarah ke perahu adalah lima buah yang nampak sama keras dan besarnya, maka kualitas ombak berada pada level dua. Level tiga adalah jika tujuh buah ombak yang mengarah ke perahu nampak sama keras dan besarnya, dan level paling keras (level 4) adalah jika ombak yang mengarah ke perahu nampak sama besar dan kerasnya sejak ombak pertama sampai dengan delapan ombak berikutnya.
Ada situasi dimana ombak terasa begitu besar dan keras namun tidak masuk dalam kategori level satu, level dua, level tiga, apakah lagi level empat. Biasanya ombak seperti ini terjadi jika pelayaran dilakukan di daerah tubir pada saat air pasang atau air surut. Pelaut Wakatobi memahami bahwa jika air laut sedang surut, maka arus akan mengarah ke laut dalam. Wilayah tubir adalah tempat beradunya arus dengan ombak, sehingga menghasilkan gelombang yang besar dan keras. Pada saat air laut sedang pasang, maka arus akan mengarah pada laut dangkal. Arah pergerakan arus dan ombak adalah sama sehingga menghasilkan gelombang yang keras walaupun kadang tidak besar. Tetapi keadaan seperti ini sifanya temporer, hanya berlaku pada saat air laut sedang surut atau sedang pasang.
Ketika hendak kembali ke pulau Wangi-Wangi setelah beberapa hari berkeliling-keliling di pulau Tomia, berkesempatan untuk menguji pengetahuan bahari pelaut Wakatobi tersebut. Pelayaran bertepatan dengan mulai berhembusnya angin muson barat. Pelayaran dari pulau Tomia menuju Pulau Wangi-Wangi menempatkan angin berhembus dari sisi kiri perahu, artinya angin datang dari laut Flores. Semula berencana untuk naik kapal motor, tetapi berubah karena alasan “ikut ramai”. Jadilah saya menumpangi speed boat yang oleh pemiliknya memberi label MV. Ossandik. Saya kurang paham betul apa makna dari nama itu. Saya hanya tahu bahwa speed ini sudah agak lama beroperasi melayani rute Tomia-Wangi-Wangi. Seingat saya, pada tahun 2011 ketika masih aktif berkantor, perahu cepat  ini pernah sekali saya gunakan menuju tomia.
Memasuki ruang penumpang, saya bertemu dengan rombongan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang hendak balik ke Wanci setelah datang ke Tomia melakukan monitoring dan evaluasi (monev) bantuan APBN rehabilitasi SMP. Setelah saling sapa, kami menempati tempat duduk masing-masing. MV. Ossandik siap mengantarkan penumpang menuju pulau Wangi-Wangi.
Operator Ossandik mulai menghidupkan mesin tempel lalu mengarahkan “perahu modern” miliknya keluar dari alur masuk pelabuhan Onemay Tomia. Artinya, speed boat mulai diarahkan untuk memasuki area laut banda, laut paling dalamnya Indonesia. Tiba-tiba speed oleng hebat, hempasan ombak laut banda dari arah barat menjadikannya terayun-ayun tidak beraturan. Ibu, yang menjadi ketua tim monev dari kementerian pendidikan dan kebudayaan tiba-tiba menatap saya yang kebetulan tempat duduk kami berdekatan. Raut wajahnya tidak biasa, saya menangkap rona kekhawatiran yang dalam atas situasi yang dialaminya. Sekejap, saya tersenyum lalu mengacungkan jempol sambil berkata, “aman, Insya Allah aman”. Memahami tanda yang saya berikan, sang ibu langsung memperbaiki posisi duduknya sambil menutup mata dan bersandar pada dinding “perahu”. Saya sendiri karena ada penumpang yang merokok, langsung memasang masker sambil berkomat-kamit membaca semua referensi ayat demi menenangkan kegelisahan hati karena berlayar pada musim awal berhembusnya angin barat.
Setelah posisi tumpangan mulai stabil, saya berdiri memperhatikan ombak yang ternyata tidak semakin berkurang, malah semakin keras. Dalam hati saya berguman, “kini saatnya menguji pengetahuan ombak pelaut-pelaut Wakatobi”. Berada pada level berapa ombak saat ini”? Memang tidak akan sevalid jika pelayaran dilakukan dengan perahu tradisional, tetapi paling tidak dapat mendekati. Dalam sudut pandang esensialisme, pengetahuan bahari pelaut Wakatobi mengenai ombak diperoleh melalui pelayaran tradisional, oleh karena itu hanya dapat diuji dengan menggunakan perahu tradisional. Tetapi dalam perspektif konstruktivisme, perahu adalah sarana mengarungi lautan. Perahu oleh karena itu terus direproduksi oleh masyarakat, dan wujudnya terus berevolusi mulai dari Kapal layar motor, Kapal Motor, hingga kapal Pelni, dan speed boat. Dengan demikian, menguji pengetahuan pelaut-pelaut Wakatobi mengenai ombak dapat saja dilakukan pada speed boat sekalipun.
Sambil berdiri dan berkomat-kamit, saya mulai memperhatikan ombak di sekeliling perahu, sesekali ikut merasakan dan mendengarkan bunyi kempasan ombak pada lambung speed. Semakin jauh meninggalkan pelabuhan Onemay, hempasan ombak semakin keras. Suasana dalam speed semakin hening, tidak ada lagi penumpang yang bercerita atau tertawa. Sebagian diam membisu dengan raut wajah yang tidak secerah ketika memasuki ruangan penumpang, sebagian tertidur atau pura-pura tidur guna mengobati kegundahan hatinya, namun ada juga yang tersenyum. Ibu yang semula berusaha tidur sesekali menatap saya, dan sekejap pula saya membalasnya dengan senyuman. Dengan senyum, saya ingin menyampaikan pesan untuk tidak khawatir karena sesungguhnya pelayaran masih dalam situasi normal.
Saya mulai membaca pergerakan ombak, yang nampak hanyalah satu atau dua ombak, tidak pernah datang bersusulan tiga kali dengan ukuran dan keras yang sama. Demikian pula hantaman ombak pada lambung, tidak pernah bersusulan sekaligus tiga kali. Hantaman ombak keras pada lambung hanyalah sekali atau dua kali. Artinya, jika merujuk pada pengetahuan ombak pelaut Wakatobi maka ombak yang kami hadapi belum masuk kategori level satu. Ukuran ombak masih berada pada kategori normal. Mengapa speed nampak begitu oleng dihantam ombak? Ternyata faktornya adalah tiga hal. Pertama, MV. Ossandik adalah speed yang terbuat dari fiber sehingga mudah goyah dengan hantaman ombak, berbeda dengan kapal kayu. Kedua, Ossandik adalah tumpangan yang sudah lama beroperasi melayani rute Tomia-Wakatobi, sehingga boleh jadi sambungan-sambungan pada body perahu sudah tidak sekokoh dulu. Ketiga, penempatan gas dan kemudi terpisah. Kemudi ditempatkan pada bagian haluan, sedangkan pengaturan gas berada di bagian buritan. Posisi seperti ini menyulitkan juru mudi (pemegang kemudi) memainkan gas mengikuti irama ombak.
Memasuki tanjung Peropa Kaledupa, speed bergoyang hebat karena hantaman ombak keras. Beberapa kali speed terhentak tidak beraturan yang membuat penumpang agak panik. Dalam situasi seperti itu, semestinya gas diturunkan agar speed dapat bergerak mengikuti irama ombak. Persoalannya adalah pengaturan gas jauh dari pengendali kemudi, sehingga kendaraan tetap berjalan secara terpaksa dengan hantaman ombak yang agak keras. Saya kembali mencoba rasakan hantaman ombak pada lambung perahu, tetapi masih tetap sama, hanya satu atau dua, tidak pernah lebih. Oleh karena hantaman ombak masih normal, saya coba perhatikan sekitar. Disana saya menemukan jawabannya, kami ternyata berlayar di daerah tubir sementara air laut sedang pasang. Pergerakan arus dari laut dalam berjalan seirama dengan ombak angin barat, lalu terhempas di daerah pesisir. Kondisi inilah yang menjadikan ombak terasa keras dan besar, tetapi setelah melewati tanjung peropa, ombak kembali normal hingga sampai di Pulau Wangi-Wangi.
Melewati pulau Komponaone (perairan Liya), keadaan dalam perahu kembali normal. Wajah-wajah ceria mulai nampak, yang tertidur mulai bangun, semua penumpang mulai bercerita. Ibu yang semula terus menutup matanya mulai bangun dan memperhatikan keadaan sekitar dengan panorama alam yang sangat indah. Penumpang yang lain mulai menarik lafas lega karena sedikit lagi perahu akan bersandar di pelabuhan Numana. Saya sendiri sangat senang karena berkesempatan untuk menguji pengetahuan bahari pelaut-pelaut Wakatobi mengenai ombak. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Memahami Ombak dalam Perspektif Pelaut Wakatobi"

Posting Komentar