One Mosque One TPQ: Strategi Pemberantasan Buta Aksara Qur’an



Ilustrasi (www.google.com)

Ruangan itu nampak lengang, aula yang namanya menggambarkan representasi jender dalam penentuan kebijakan itu seolah sunyi. Kapasitasnya yang sangat luas seolah tidak berbanding dengan jumlah undangan yang hadir saat itu. Undangannya memang terbatas, hanya untuk beberapa pejabat terkait serta pejabat tingkat kecamatan, karena agendanya adalah “ekspose pelaksanaan MTQ tingkat kabupaten”. Endingnya adalah penyepakatan waktu pelaksanaan agar ada masa persiapan baik pada tingkat kecamatan maupun kabupaten, serta masa persiapan sebelum pelaksanaan pada tingkat provinsi.
Hal menarik adalah materi diskusi yang berkembang ketika rapat sedang berlangsung. Sebagian peserta rapat menyampaikan harapan agar pelaksanaan MTQ tingkat kabupaten dapat betul-betul dilaksanakan secara maksimal agar menjangkau semua lapisan masyarakat. MTQ hendaknya menjadi wadah syiar Islam dan ajang menumbuhkan minat baca masyarakat terhadap Al-Qur’an, tutur salah seorang peserta rapat. Peserta rapat lainnya lalu menyampaikan bahwa “jangan setiap pelaksanaan MTQ selalu kita dengung-dengungkan “mari kita bumikan Al-Qur’an…” atau  “mari kita jadikan Al-Qur’an sebagai…”. namun harapan ini menghilang seiring dengan berakhirnya perhelatan MTQ”. Mendengar keluhan tersebut, seorang teman yang kebetulan duduk berdekatan tiba-tiba membisik, “Pak, perda pemberantasan buta aksara Al-Qur’an infonya akan ditarik oleh DPRD karena tidak berfungsi. Perda (peraturan daerah) yang mestinya disertai Perbup (peraturan bupati) sebagai acuan operasional hingga sekarang belum ada. Jadi, menurut informasi yang saya dapat, katanya perda tersebut akan ditarik oleh dewan”. Teman tadi lalu menyampaikan kekhawatirannya, bahwa “kayaknya upaya penuntasan buta aksara Qur’an di daerah ini akan semakin sulit”. Saya kemudian menjawab, “jangan pesimis, kita harus selalu optimis, dimana ada kemauan pasti ada jalan”. Akhirnya “diskusi bisik-bisik” terus berkembang hingga teman tadi kembali bertanya. Menurut kita, jika perda pemberantasan buta aksara Qur’an ditarik, langkah apa lagi yang dapat kita lakukan agar masyarakat ini dapat melek Al-Qur’an?  
Saya lalu mencoba menjelaskan dengan serius dan sedikit sok pintar. Saya katakan bahwa jika kita serius mengkampanyekan gerakan pemberantasan buta huruf Qur’an di daerah ini, maka kita dapat lakukan dengan dua pendekatan. Pertama adalah pendekatan top down. Pada pendekatan ini, pihak yang terlibat aktif adalah pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan. Pemerintah daerah merumuskan kebijakan lalu ditindaklanjuti dengan program oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait, hingga akhirnya di implementasikan pada masyarakat. Program yang dirumuskan oleh SKPD tadi adalah hasil analisis kebutuhan berdasarkan problem yang dihadapi oleh masyarakat. Contohnya seperti perda Pemberantasan Buta Aksara Qur’an tadi. Mestinya, ketika perda telah ditetapkan oleh DPRD, maka perda tersebut ditindak lanjuti dengan peraturan Bupati, lalu instansi terkait membuat kerangka acuan pelaksanaan hingga di implementasikan. Namun karena ada sistem yang tidak berjalan maka perda menjadi tidak berfungsi. Kedua adalah pendekatan button up. Pendekatan ini, inisiatif program dan kegiatan muncul dari masyarakat sendiri, bukan dari pemerintah. Pemerintah karenanya diharapkan melakukan fasilitasi agar program dan kegiatan dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Langkah fasilitasi dapat berbentuk peningkatan kapasitas, penganggaran, pendampingan, dan lain sebagainya.
Dalam konteks pemberantasan buta aksara Qur’an, karena pendekatan pertama (top down) telah dilakukan tetapi nampaknya belum berhasil, maka kita dapat lakukan dengan pendekatan yang kedua (button up). Mencerdaskan masyarakat dalam memahami baca tulis Qur’an dapat kita lakukan berbasis Masjid. Konkritnya adalah “One Mosque One TPQ”.  Dengan langkah ini, fungsi masjid dapat kita kembalikan sebagaimana di zaman Rasulullah Muhammad SAW, yakni bukan sekedar sebagai tempat penyelenggaraan ibadah ritual, tetapi menjadi pusat pengembangan studi Islam dan masyarakat. Konsekuensinya adalah pemerintah desa sebagai “pemilik” masjid harus melakukan koordinasi dan kerjasama dengan tiga instansi terkait. Pertama, Pemerintah Daerah melalui bagian Kesra. Hal ini terkait dengan penyesuaian visi dan misi serta program pemerintah daerah pada sektor keagamaan dengan pemerintah desa. Termasuk koordinasi mengenai mekanisme penganggaran dan pelaporan karena anggaran operasional dan honor tenaga pendidik akan dialokasikan melalui ADD dan atau DD. Kedua, Kementerian Agama. Dalam konteks ini, peran kementerian agama yang paling dibutuhkan adalah penyediaan kurikulum dan standar kualifikasi tenaga pendidik. Kurikulum harus disiapkan karena kegiatan pembinaan tidak sekedar difokuskan pada pembinaan baca tulis Qur’an, tetapi akan diperluas dengan pengembangan studi Islam. Disini yang terpenting adalah materi pembelajaran serta mekanisme pelaporan dan evaluasi untuk mengukur tingkat keberhasilan secara berkala. Sedangkan standar kualifikasi tenaga pengajar diperlukan agar tenaga pengajar yang direkrut betul-betul memiliki kompetensi dan karakter yang baik. Disamping itu untuk mencegah terjadinya pendangkalan akidah berbasis masjid atau penanaman paham radikal berbasis masjid yang mungkin saja dilakukan oleh tenaga pengajar. Ketiga, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Keterlibatan dinas pendidikan dalam hal ini bukanlah faktor utama tetapi faktor pelengkap. Peran yang diharapkan dapat dilakukan adalah pemberlakuan aturan bagi siswa baru yang beragama Islam harus memiliki sertifikat tamat baca tulis Al-Qur’an yang dikeluarkan oleh Taman Pendidikan Qur’an (TPQ).
Jika kita sepakat dengan upaya pemberantasan buta aksara Qur’an berbasis masjid yang dikemas dengan sebutan “One Mosque One TPQ”, maka kita wajib optimis bahwa ke depan generasi Wakatobi akan semakin melek Qur’an. Tentu, dibutuhkan keterlibatan banyak pihak, terutama pemerintah desa, Pemda melalu bagian Kesra, Kementerian Agama, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Sekolah, serta seluruh masyarakat. Saat ini, kegiatan pembinaan sudah mulai aktif meskipun belum semua masjid. Kurikulum yang menjadi acuan masih terbatas pada buku Iqro’, demikian pula kompetensi tenaga pendidik belum terstandarisasi. Bahkan pada beberapa kasus, ditemukan bahwa ada tenaga pembina TPQ yang belum mendapatkan insentif, hanya bermodalkan spirit ikhlas beramal. Kondisi ini dapat kita jadikan sebagai indikator bahwa pengelolaan TPQ belum begitu maksimal. Semoga kedepan pengelolaan TPQ semakin membaik, dan semoga dengan keterlibatan semua pihak terkait, upaya pemberantasan buta aksara Qur’an dapat diwujudkan. Wallahu a’lam bish-shawab
Numana, 2 Februari 2018

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "One Mosque One TPQ: Strategi Pemberantasan Buta Aksara Qur’an"

Posting Komentar