Ilustrasi SMK (dicopy dari tabloidpendidikan.com) |
Pada suatu
perjalanan Kereta dari Yogyakarta ke Jakarta, saya membaca opini dalam salah
satu media cetak nasional yang menguraikan tentang tingginya angka pengangguran
lulusan Sekolah Menengah Kejuruan. Dikatakan bahwa angka lulusan SMK yang
menganggur adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan Sekolah Dasar,
Sekolah Menengah, maupun Perguruan Tinggi. Setelah membaca opini tersebut, saya
lalu bertanya, “masih pentingkah pendirian Sekolah Menengah Kejuruan”? Pertanyaan
ini sengaja saya ajukan mengingat bahwa salah satu strategi pemerintah menekan
angka pengangguran pada usia sekolah adalah dengan memperbanyak pendirian SMK.
Sekolah kejuruan dianggap sebagai langkah strategis mengantisipasi tingginya
angka pengangguran pada anak usia sekolah, mengingat bahwa tidak semua anak
lulusan sekolah menengah dapat melanjutkan pendidikannya pada jenjang
pendidikan tinggi. Peserta didik pada sekolah kejuruan dibekali sejumlah
keterampilan atau keahlian yang dibutuhkan oleh dunia usaha khususnya industri,
sehingga diharapkan bahwa setelah tamat sekolah bisa langsung bekerja. Tetapi,
adanya data tersebut menjadi pengingat bahwa ada hal yang harus dibenahi dalam
pengelolaan sekolah kejuruan.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 15, dikatakan bahwa pendidikan menengah
kejuruan bertujuan untuk menyiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam
bidang tertentu. Tujuan tersebut kemudian dijabarkan kembali oleh direktorat
pendidikan menengah kejuruan (dikmenjur) menjadi dua tujuan, yaitu tujuan umum
dan tujuan khusus. Tujuan umum sekolah menengah kejuruan adalah; 1) menyiapkan
peserta didik agar dapat menjalani kehidupan secara layak, 2) meningkatkan
keimanan dan ketakwaan peserta didik, 3) menyiapkan peserta didik agar menjadi
warga negara yang mandiri dan bertanggung jawab, 4) menyiapkan peserta didik
agar memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia, dan 5)
menyiapkan peserta didik agar menerapkan dan memelihara hidup sehat, memiliki
wawasan lingkungan, pengetahuan dan seni. Sedangkan tujuan khususnya adalah; 1)
menyiapkan peserta didik agar dapat bekerja, baik secara mandiri atau mengisi
lapangan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan industri sebagai tenaga kerja
tingkat menengah, sesuai dengan bidang dan program keahlian yang diminati, 2)
membekali peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam
berkompetisi, serta mampu mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian
yang diminati, dan 3) membekali peserta didik dengan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) agar mampu mengembangkan diri sendiri melalui jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut,
pemerintah kemudian mengembangkan tiga model kurikulum yang diberlakukan pada
sekolah kejuruan, yaitu kurikulum normatif, kurikulum adaptif,
dan kurikulum produktif.
Kurikulum
normatif adalah kumpulan mata pelajaran yang akan diajarkan kepada peserta
didik dengan lebih menekankan pada mengetahuan kognitif. Jenis kurikulum ini
selain ada atau ditemukan pada sekolah kejuruan juga ditemukan pada sekolah
menengah. Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
Matematika, PKn, dan lain-lain. Kurikulum adaptif, adalah kumpulan mata
pelajaran yang diajarkan pada semua sekolah kejuruan (SMEA, STM, SMKK, SMK
Pariwisata, dll) dengan menekankan pada keterampilan atau skill;
sedangkan kurikulum produktif adalah kumpulan mata pelajaran yang menjadi ciri
khas dari setiap sekolah kejuruan. Aspek yang paling ditekankan pada kurikulum
ini adalah keahlian yang akan menjadi keunggulan lulusan. Dengan demikian, akan
berbeda jenis kurikulum produktif antara satu SMK dengan SMK lainnya,
tergantung pada ciri khasnya. Memperhatikan desain kurikulum yang diberlakukan
pada sekolah kejuruan, nampaknya pemerintah telah membuat grand design
bahwa siswa lulusan sekolah kejuruan tidak akan ada yang menjadi pengangguran.
Karena asumsinya adalah kurikulum normatif menjadi bekal siswa jika ingin
melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi, kurikulum adaptif
menjadi bekal siswa memasuki dunia usaha atau industri, sedangkan kurikulum
produktif menjadi bekal siswa untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri.
Lalu,
mengapa angka pengangguran lulusan SMK masih tinggi? Dalam konteks ini, saya
melihat ada dua orientasi yang menjadi motif pendirian sekolah kejuruan. Pertama
adalah projeck oriented. Alasan pertama yang mendasari pendirian sekolah
kejuruan adalah proyek. Maka hasilnya adalah berdirinya bangunan mewah dengan
label nama yang keren bertuliskan “Sekolah Menengah Kejuruan……”. Karena
orientasi pembangunannya adalah fisik, maka target penyerapan lulusan tidak
dipertimbangkan, dan ketersediaan SDM juga diabaikan. Analisis kebutuhan (need
analysis) untuk mengetahui aspek kebutuhan mendasar dari masyarakat serta
spesifikasi produk yang akan dihasilkan tidak dilakukan, begitupula analisis
situasi (situasional analysis) untuk mengetahui potensi dan
karakteristik daerah dan dukungan sosio-kultural dikesampingkan. Pada gilirannya,
sekolah kejuruan yang dibangun hanya menjadi “menara gading” yang tampil megah
dengan segala kebanggaan yang menyelimutinya, tetapi tidak mampu menjadi “rumah
produksi tenaga kerja handal”. Nampaknya, Sekolah menengah kejuruan seperti inilah yang
menjadi penyumbang terbesar meningkatnya angka pengangguran alumni SMK. Mengapa
demikian? Karena sekolah kejuruan dibangun tidak berdasarkan kebutuhan
masyarakat atau kebutuhan dunia usaha, tetapi berdasar pada persepsi dan keinginan
penentu kebijakan. Kedua market oriented. Alasan lain yang mendasari
berdirinya sekolah menengah kejuruan adalah pasar (market). Oleh karena
pasar yang menjadi orientasi pendirian, maka spesifikasi kejuruan dan produk
lulusan dalam hubungannya dengan dunia usaha dan industri sangat diperhatikan.
Pada orientasi pasar, nama 'keren' dan bangunan mewah bukan hal yang prioritas,
yang menjadi prioritas adalah alumni agar dapat terserap oleh dunia kerja. Maka
untuk mencapai target tersebut, langkah-langkah pendirian diawali dengan
analisis potensi dan kebutuhan daerah guna menghimpun potensi yang dimiliki
oleh daerah, memperoleh gambaran tentang kebutuhan daerah, serta untuk
menentukan spesifikasi kejuruan dan produk lulusan (seperti; kelautan dan
perikanan, pariwisata dan perhotelan, kerajinan dan industri, olah raga,
pertanian dan agribisnis, pertukangan, otomotif, dan sebagainya). Langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis sumber daya (SDM dan sumber belajar).
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi spesifikasi tenaga guru dan sumber
belajar yang dibutuhkan. Hal ini untuk menghindari pengulangan kasus bahwa terdapat
beberapa SMK yang tenaga pengajarnya sebagian besar berasal fakultas keguruan
dan tidak memiliki laboratorium sebagai sumber belajar. Idealnya, tenaga
pengajar pada sekolah kejuruan adalah alumni fakultas teknologi kejuruan atau
fakultas lain yang relevan dengan spesifikasi kejuruan, serta memiliki
laboratorium yang memadai. Mengapa harus memiliki laboratorium? Karena siswa
pada sekolah kejuruan dibina oleh guru untuk bekerja, bukan menghafal. Dengan
langkah ini, maka semua lulusan sekolah kejuruan tidak akan ada yang
menganggur, semua akan terserap oleh dunia usaha dan industri, bahkan mereka
akan mampu menciptakan lapangan kerja secara mandiri.
Pada
akhirnya, jika dipertanyakan “masih pentingkah pendirian sekolah kejuruan”? Jawabannya
sangat tergantung pada motif yang mendasari. Jika motif pendirian adalah project
oriented, maka akan bagus kalau lebih difokuskan pada membenahi dan
memaksimalkan pengelolaan SMK yang sudah ada. Caranya adalah pemerintah daerah
dapat mengalokasikan anggaran yang lebih untuk peningkatan sumber belajar dan
laboratorium, memberikan suplai tenaga pengajar yang memenuhi standar dan
kualifikasi sekolah kejuruan, serta mendorong terbangunnya industri dan dunia usaha
yang relevan dengan spesifikasi kejuruan dan produk yang dihasilkan oleh SMK
yang ada. Tetapi, jika motif pendiriannya adalah market oriented, maka
sudah tentu harus didukung oleh semua elemen. Dengan demikian, maka langkah
awal yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mendorong lahirnya
industri dan dunia usaha, setelah itu disusul dengan pendirian SMK. Wallahu
a’lam bish-shawab
MENARIK UNTUK JADI BAHAN RENUNGAN PENGELOLA SMK
BalasHapuskalau memang data2 pengangguran itu betul makin melonjak mau dikemanakan anak2 bangsa ini, saya sangat priatin melihat langsung kondisi peserta didik karena tidak semua anak bangsa beruntung menjadi anaknya kongklomerat, ada anaknya orang yang tidak mampu tetapi secara kasat mata berpotensi,ada yang orang tuanya tidak tahu mau dikemanakan anaknya sehingga dibiarkan dididik oleh lingkungan dengan "tanda kutip" bisa lingkungan yang baik dan tidak baik dan di era digital ini anak2 akan condong yang tidak baik. Oleh karena itu coba kita positif thinking dulu mudah2an pemerintah tidak seperti apa yang diperkirakan hanya sebuah project kebijakan saja tetapi grand disigner itu betul2 keluar dari pemikiran yang dalam. Saran saya pemerintah sebagai pengendali SDM generasi penerus harus memberikan peluang se luas-luasnya bagi lulusan SMK..... untuk bisa berkarya sesuai kompetensinya,dengan cara kut mengawasi perusahan2/dunia usaha yang rekrutment nya masih menggunakan praktek KKN.Guru membentuk attitude siswa yang meliputi kognitif,psykomotor dan afektif untuk kepentingan dunia usaha/perusahaan.......Dunia usaha membuka peluang
BalasHapus