Ilustrasi Menajemen SDM (Dicopy dari anneahira.com). |
Sejak
selesainya seremoni pelantikan, yang dilanjutkan dengan deklarasi Kabupaten
Maritim,’nakhoda baru’ Wakatobi terus melakukan berbagai langkah pembangunan.
Mulai dari konsolidasi birokrasi, penataan struktur pemerintahan, penuntasan
RPJMD, penyusunan APBN-P, dan sejumlah rutinitas birokrasi lainnya. Bersamaan
dengan itu, alarm tentang kewajiban pemenuhan janji politik terus
“dibunyikan” melalui media sosial. Nampaknya, media sosial telah merubah cara
pandang para aktifis maupun pegiat sosial dalam mengingatkan para penentu
kebijakan tentang janji politiknya. Jika dahulu, sarana menagih janji yang
paling strategis adalah melalui pressure dengan melakukan gerakan
demonstrasi, cara tersebut justru dinilai sudah tidak efektif. Selain butuh
energi, biaya, waktu, juga sangat rentan berhadapan dengan persoalan hukum.
Saat ini, langkah tepat dan cepat justru melalui media sosial, karena hanya
dengan membuat ‘status’ dalam waktu sekejap uraian kata tersebut akan tersebar
ke seluruh akun pengguna media sosial tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Langsung
mengena, langsung diketahui oleh masyarakat luas, dan tidak bisa dihindari.
Salah satu
janji politik yang seringkali dijadikan pengingat adalah ‘penempatan dokter
spesialis di setiap pulau dan pemberian beasiswa studi (S1, S2 & S3)’ bagi
mahasiswa Wakatobi. Pada konteks ini, pemerintah daerah harus lebih arif dan
bijaksana dalam meresponi tuntutan pemenuhan janji politik. Adanya pengingat,
tuntutan, atau apapun istilahnya merupakan gambaran bahwa masyarakat Wakatobi
begitu penaruh harapan besar pada pemerintahan baru akan perubahan nasibnya
terutama dalam pelayanan kesehatan yang maksimal serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM). Tetapi, pemerintah daerah harus lebih jeli dalam
melihat prioritas pembangunan daerah. Postur APBD yang terbatas, serta
kebutuhan anggaran yang tidak sedikit untuk penyediaan dokter spesialis serta
beasiswa studi, menuntut pemerintah daerah harus cerdas dalam menentukan
strategi pengembangan SDM. Melupakan janji bukan langkah yang bijak, tidak
hanya terkait dengan kepercayaan masyarakat dan masa depan kepemimpinan
penguasa, tetapi juga terkait dengan persoalan karakter. Masyarakat Wakatobi
terkenal dengan prinsip hidupnya yang dibangun atas filosofi Gau Satoto,
yang bermakna satunya kata dengan perbuatan. Melupakan janji berarti
mengingkari filosofi hidup, dan ini adalah bentuk pembelajaran yang kurang
‘elok’.
Dengan demikian,
melunasi janji politik adalah sebuah keniscayaan, tetapi prosesnya harus
bertahap, tidak kun fayakun. Mengembangkan SDM tentu membutuhkan
anggaran yang banyak karena itu harus disesuaikan dengan ketersediaan anggaran
dalam APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Struktur APBD terdiri dari
pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Pendapatan bersumber dari PAD (pendapatan
asli daerah), dana transfer dan lain-lain pendapatan yang sah. Dari keseluruhan
sumber pendapatan tersebut ada yang penggunaanya prioritas atau tidak boleh
mendahulukan yang lain (misalnya belanja pegawai, dana desa, DAK yang
peruntukannya sudah jelas dan harus sesuai juknis, alokasi dana untuk ADD, dan
lain-lain). Dengan banyaknya kegiatan yang sifatnya prioritas, maka pemerintah
daerah akan semakin kesulitan merencanakan anggaran untuk pembiayaan
peningkatan SDM (beasiswa S1/S2/S3 dan dokter spesialis). Namun, jika
pemerintah daerah mempunyai keseriusan dalam membenahi kualitas SDM yang
dimiliki, maka diperlukan beberapa langkah terobosan.
Pertama, mendorong
pendirian perguruan tinggi (PT). Perguruan Tinggi adalah center of excellent,
dan kontribusinya terhadap pengembangan SDM tidak dapat diragukan lagi. Dalam
hal ini kita dapat mengambil contoh dari Yogyakarta, Malang, dan Bogor.
Tersedianya sumber daya manusia dengan kualitas yang baik, tidak dapat
dipisahkan dari peran perguruan tinggi yang ada diketiga daerah tersebut. Atau,
kalaupun mencontoh Yogyakarta, Malang, dan Bogor dianggap tidak imbang dengan
Wakatobi yang belum lama berdiri, maka kita dapat mencontoh Buton dengan adanya
Unidayan, Kolaka dengan adanya USN, dan Konawe dengan adanya Unilaki. Hadirnya
beberapa berguruan tinggi tersebut disadari atau tidak telah ikut berperan
meningkatkan kualitas SDM di daerah. Mendorong pendirian perguruan tinggi,
berarti pemerintah daerah telah berupaya membuka akses peningkatan SDM, tetapi
dengan sumber pembiayaan yang tidak membebani anggaran daerah.
Kedua, menjalin
kerjasama dengan penyelenggara beasiswa. Suatu ketika, saya bertemu dengan
seorang pemuda yang setelah berkenalan saya ketahui bernama Harun, berasal dari
Maluku Utara. Menurut pengakuannya, beliau mendapatkan beasiswa dari LPDP
(Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) tanpa seleksi. Saya sedikit heran karena
yang saya pahami penerima beasiswa LPDP harus mengikuti serangkaian tes sebelum
dinyatakan berhak menerima bantuan pendidikan secara penuh. Ternyata, menurut
pengakuan Harun dia hanya direkomendasikan dari kampusnya untuk mengikuti
seleksi masuk pascasarjana (S2) di UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Harun
adalah mahasiswa lulusan terbaik ketika wisuda sehingga mendapatkan rekomendasi
tersebut. Setelah proses kuliah berjalan, Harun lalu dihubungi oleh pengurus
dan menginformasikan bahwa dia sudah ditetapkan menjadi penerima beasiswa LPDP.
Ketika saya tanyakan prosesnya, Harun menjawab bahwa “kampus ada kerjasama
dengan LPDP”. Beda lagi dengan Cahyadin, pemuda Bima ini saya bertemu di
Masjid. Setelah lama cerita, saya ketahui bahwa beliau sedang mengikuti kursus
intensif bahasa Inggris sebagai persiapan penerima beasiswa LPDP dari
Kementerian Keuangan. Sedangkan Jumadin (Guru SMP Satap Oihu) saat ini sedang
mengikuti kuliah Pascasarjana di Universitas Negeri Malang (UM) setelah memperoleh
beasiswa GTK dari Kemendikbud. Bedanya dengan Harun adalah, Cahyadin dan
Jumadin dinyatakan lulus setelah mengikuti tahapan seleksi. Dan masih ada
beberapa teman yang berasal dari berbagai daerah, melanjutkan studi dengan
beasiswa dari lembaga yang berbeda, entah dari Dikti, Dikbud, Kemenag, dan
lembaga penyandang lainnya. Dari pengalaman ini, saya kemudian berkesimpulan
bahwa meningkatkan kualitas SDM di daerah (khususnya melalui pendidikan S2/S3),
tidak harus membebani APBD. Pemerintah daerah cukup membangun jalinan kerja sama
dengan lembaga penyelenggaran beasiswa, lalu mendiseminasikannya kepada seluruh
masyarakat terutama pada kader-kader potensial yang dimiliki oleh daerah.
Ketiga, membangun
perpustakaan daerah yang representatif. Perpustakaan yang dimaksud bukan gedung
sekolah, bukan ruang belajar yang dibuatkan rak-rak buku lalu diisikan buku
sebanyak-banyaknya, setelah itu dibuatkan plang papan nama “Perpustakaan
Daerah”. Perpustakaan daerah yang dimaksud adalah “gudang ilmu pengetahuan”,
sarana menumbuhkan minat baca masyarakat, tempat mencari berbagai referensi
(buku, jurnal, majalah, proseding, dll), tempat membaca berita online, tempat
mengetik, tempat berdiskusi, tempat seminar, tempat pelatihan, workshop, dan
lain sebagainya. Konsekuensinya adalah perpustakaan daerah harus di desain
semenarik mungkin dengan sarana yang memadai yang akan mendukung aktivitas
belajar masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah dapat belajar dari model
pengelolaan perpustakaan Kota Yogyakarta. Lokasinya termasuk sempit dengan
gedung yang sederhana berlantai dua. Koleksi buku ada di lantai satu, sedangkan
koleksi novel, jurnal, dan referensi lainnya di lantai dua. Halaman kantor,
selain untuk tempat pakir kendaraan, juga di desain dua model tempat duduk bagi
pengunjung, ada yang model lurus, dan ada yang model melingkar. Dibagian belakang
ada mushola sedangkan dibagian samping ada warung angkringan. Setiap masyarakat
(siswa, mahasiswa, umum) yang berkunjung, setelah mengisi daftar hadir lalu
diberikan kode wifi gratis dan memilih tempat duduk apakah di dalam atau di
luar. Masyarakat disiapkan waktu dari jam delapan pagi sampai jam delapan malam
(jika di dalam), tetapi jika memilih tempat duduk luar disiapkan waktu sampai
jam 12 malam. Karena koneksi internet bagus, ada mushola, ada angkringan, referensi
tersedia, suasana aman, maka masyarakat jadi betah berlama-lama di
perpustakaan. Setiap hari, perpustakaan tidak pernah sunyi dari pengunjung,
bahkan tidak sedikit masyarakat yang menjadikannya sebagai tempat wisata belajar.
Keempat, membangun
asrama mahasiswa. Salah satu kendala utama masyarakat melanjutkan studi di luar
daerah adalah tempat tinggal. Untuk biaya makan masih memungkinkan untuk
memilih yang mampu dijangkau, sedangkan untuk harga buku masih ada alternatif dengan
foto copy atau mencari tempat-tampat penjualan buku murah. Tetapi tempat
tinggal adalah sesuatu yang sangat urgen dan tidak bisa ditunda. Dalam konteks
inilah pentingnya dibangun asrama mahasiswa. Dengan adanya asrama, mahasiswa
tidak akan merasa sendirian, ada teman berbagi, membangun hidup berkelompok,
dan mahasiswa dibiasakan dalam pergumulan lintas budaya dan karakter dalam
suasana yang akademis. Untuk merealisasikan langkah keempat ini, ada tiga daerah
yang dapat menjadi prioritas yaitu Yogyakarta, Malang, dan Makassar. Yogyakarta
dan Malang adalah kota pelajar, biaya hidup masih relatif murah, perguruan
tinggi (negeri dan swasta) dengan kualitas tinggi, banyak pilihan program
studi, dan iklim akademiknya ‘membelajarkan’. Sedangkan Makassar dipilih karena
terhitung masih dekat dengan Wakatobi tetapi memiliki sejumlah perguruan tinggi
berkualitas dengan pilihan program studi yang variatif.
Kelima, memberikan
kemudahan dalam pemberian izin belajar. Apakah SDM Wakatobi sudah merasa puas
dengan kemampuan yang dimiliki sekarang? Jawabannya tidak. Dalam beberapa
diskusi saya kemudian memahami bahwa banyak yang memiliki hasrat melanjutkan
studi, tetapi mengalami kendala dalam hal biaya dan izin. Ada juga yang secara
finansial mempunyai kemampuan, tetapi malas berurusan dengan segala macam
urusan administrasi yang menjadi syarat mendapatkan izin belajar. Akan sangat
baik jika pemberian izin studi dipermudah tetapi harus disertai dengan adanya komitmen
dari yang akan diberikan izin atau tugas belajar, bahwa selesai studi harus
kembali mengabdi kepada daerah, bukan justru meminta mutasi ke daerah lain.
Jika lima
langkah ini dapat diwujudkan, maka Insya Allah sumber daya manusia (SDM)
Kabupaten Wakatobi akan semakin baik. Dan dengan demikian, janji politik yang
pernah diungkapkan pada saat kampanye tidak lagi menjadi beban, karena lambat
laun dan pasti akan terlunasi. Wallahu a’lam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Lima Langkah Membangun SDM Wakatobi "
Posting Komentar