Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama


Ilustrasi
(mudanews.com)

Masyarakat Sulawesi Tenggara patut bersyukur karena mereka tinggal di daerah yang sangat aman. Letaknya yang dekat dengan Poso (pernah terjadi konflik) serta menampung banyak eksodus pasca kerusuhan Ambon justru tidak menjadikannya ikut bergejolak. Daerah yang dihuni oleh penduduk dengan beragam suku, agama, bahasa, dan budaya ini seakan menjadi “surga” yang senantiasa aman bagi siapa saja yang memasukinya. Di samping suku-suku asli yang telah lama bermukim, juga terdapat suku-suku pendatang yang telah lama tinggal hingga menjadi penduduk asli. Tidak salah jika dikatakan bahwa Sulawesi Tenggara merupakan miniatur Bangsa Indonesia. Semua suku bangsa dengan beragam adat dan budaya dapat hidup berdampingan dalam suasana yang harmonis.
Kasus penyebaran aliran sempalan berlabel “Gafatar” yang pernah geger dan meresahkan warga Desa Todoloiya Kecamatan Asera Konawe Utara, serta konflik yang terjadi di Buton pada awal Juni lalu dapat menjadi alarm bahwa meskipun Sulawesi Tenggara aman, tetapi potensi terganggunya kerukunan antar umat beragama sebenarnya ada dan bersifat laten. Oleh karena itu, kewajiban seluruh warga adalah menjaga toleransi agar daerah ini senantiasa rukun dan aman.
Potensi Konflik
Salah satu potensi konflik yang berkaitan dengan persoalan keagamaan adalah menyangkut kebebasan beragama dan/atau berkeyakinan. Meskipun Wakil Presiden, Jusuf Kalla (JK) pernah mengatakan bahwa tidak ada satupun konflik di Indonesia yang disebabkan oleh agama, semua konflik terjadi karena ketidakadilan, entah karena ketidakadilan ekonomi, politik, hukum, maupun sosial budaya. Faktor agama seringkali “terseret” yang menjadikan eskalasi konflik semakin meluas dan tidak terkontrol.
Penistaan agama dan pendirian rumah ibadah memiliki andil dalam melemahkan kokohnya bangunan kerukunan antar umat beragama. Penistaan agama misalnya dapat berkaca pada kasus yang melibatkan Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta. Konflik penodaan agama ini pada akhirnya melahirkan Aksi Bela Islam dengan gelombang massa yang sangat banyak. Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun 1968 Indonesia pernah dihebohkan oleh kasus penodaan agama yang dilakukan oleh seorang sastrawan, Ki Pandji Kusmin. Waktu itu, Ki Pandji Kusmin menceritakan nabi-nabi, termasuk Nabi Muhammad SAW yang bosan hidup di surga. Tulisan itu berjudul “Langit Kian Mendung” dimuat di Majalah Sastra yang dikelola oleh HB Jassin. Akibat pemuatan cerpen tersebut, HB Jassin dihukum penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan dua bulan. Pada tahun 1994, Permadi dinyatakan menodai agama saat menjadi pembicara dalam diskusi di Universitas Gadjah Mada. Dia kemudian dituntut 7 bulan penjara (Syahayani, 2016: 27). Sedangkan pendirian rumah ibadah dapat kita lihat pada seringnya terjadi ketegangan antar pemeluk agama akibat pendirian rumah ibadah yang dianggap tidak prosedural, atau jumlah pemeluk agama tertentu belum mencukupi untuk mendirikan satu rumah ibadah. Dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dikatakan bahwa pendirian rumah ibadah selain harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis, juga harus memenuhi persyaratan khusus, yaitu memiliki jumlah jamaah paling sedikit 90 orang serta di dukung oleh minimal 60 orang masyarakat setempat (Pasal 14 ayat 2). Ketegangan sering muncul akibat klaim dari penganut agama tertentu yang menilai penganut agama lain belum layak mendirikan rumah ibadah.
Faktor lain yang dapat memicu terjadinya konflik bernuansa agama adalah dakwah kepada penganut agama lain, nikah beda agama yang berujung pada pemaksaan pindah agama, dan perayaan hari-hari besar keagamaan yang berlebihan. Melakukan dakwah pada masyarakat yang telah memiliki keyakinan sama halnya mengajak seseorang untuk berpindah agama. Demikian pula memaksakan pindah agama atas dasar pernikahan dapat memicu ketersinggungan dan tidak mustahil berakhir dengan konflik antar penganut agama. Pada konteks inilah pentingnya masing-masing penganut agama menjaga toleransi.
Menjaga Kerukunan
Secara kebahasaan, agama berarti tidak kacau (a=tidak, gama=kacau). Menyebarkan agama kepada masyarakat berarti mengajarkan atau memberikan petunjuk guna mewujudkan kehidupan yang teratur. Agama dalam konteks ini menjadi “kartu garansi” dalam mewujudkan keteraturan sosial. Inilah sebabnya mengapa semua agama-agama mengajarkan penganutnya untuk menyebarkan ajaran-ajarannya ke tengah masyarakat. Islam misalnya mengenal konsep dakwah yaitu kegiatan menyeru atau mengajak orang lain untuk memeluk dan mengamalkan ajaran Islam secara sungguh-sungguh. Kristen juga mengenal penyebaran agama yang disebut misi atau pengabaran Injil. Konsekuensi dari aktivitas dakwah atau penyebaran agama adalah persinggungan antar masing-masing pemeluk agama. Persinggungan tersebut tidak selamanya berlangsung saling menerima, sewaktu-waktu dapat saja berlangsung dalam tensi yang “panas”, hingga memunculkan ketersinggunan antar pemeluk agama. Agar kerukunan antar umat beragama selalu terjaga dengan baik, maka pendekatan penyebaran agama harus memperhatikan tiga aspek berikut.
Pertama, kegiatan penyebaran agama hanya boleh dilakukan pada masyarakat yang belum memiliki agama. Dengan demikian, sasaran penyebaran agama adalah daerah-daerah tertentu yang masyarakatnya belum mengenal agama. Masyarakat yang telah memiliki agama jangan lagi menjadi sasaran dakwah, biarkan mereka beribadah dan menjalankan syariat agamanya tanpa saling mempengaruhi. Prinsip yang dijadikan pegangan adalah “bagiku agamaku, dan bagimu agamamu”. Pada konteks ini aspek yang ditekankan adalah sasaran dakwah.
Kedua, berdakwah hendaknya menyampaikan kebaikan masing-masing agama tanpa menyinggung apakah lagi menjelek-jelekan agama lain. Istilah yang seringkali memicu ketersinggungan terutama dari penganut agama selain Islam adalah kata kafir. Meskipun istilah ini tercantum dalam kitab suci (Al-quran), namun akan lebih elok jika tidak sering digunakan atau hanya digunakan dalam dakwah yang tertutup, tidak diperdengarkan kepada penganut selain Islam. Demikian pula istilah dalam agama lain yang mungkin tidak nyaman di dengar, akan lebih bijak jika tidak digunakan atau hanya digunakan pada komunitasnya saja. Pada konteks ini, aspek yang dikedepankan adalah materi dakwah.
Ketiga, menyampaikan misi keagamaan hendaknya dengan jalan bijaksana, tidak dengan jalan paksa dan kekerasan. Disini aspek yang ditekankan adalah metode dakwah. Misi setiap agama adalah mewujudkan kedamaian, cinta kasih, rahmat bagi seluruh alam. Oleh karena itu, ajakan kepada jalan Tuhan justru bertentangan dengan fitrah agama jika dilakukan dengan cara paksa. Maka jalan hikmah, bijaksana, santun dan dialogis adalah jalan terbaik. Dalam Al Quran dikatakan bahwa “ajaklah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah-kebijaksanaan, nasehat yang baik, dan dialog yang konstruktif [QS al-Nahl: (16) 125].
Jika sasaran, materi, dan metode penyebaran agama sebagaimana uraian di atas senantiasa terjaga, maka itulah cara bijak menjaga kerukunan antar umat beragama. Kita berharap bahwa kedepan tidak ada lagi kasus pembakaran rumah ibadah atau pelecehan agama akibat pendekatan dakwah yang tidak santun. Demikian pula perayaan hari-hari besar keagamaan dapat dilaksanakan secara bijak dan sederhana. Wallahu a’lam bish-shawab
Kendari, 06 Des 2019

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama"

Posting Komentar