Berhikmah dengan Hadirnya Bulan Ramadhan

Ilustrasi (www.google.com)

Ramadhan kembali hadir, seperti biasa pada setiap hitungan pertama awal bulan setelah melewati bulan sya’ban. Bedanya, kali ini ramadhan baru terhitung satu setelah sya’ban digenapkan hitungannya hingga tiga puluh hari. Inilah dasar pertimbangan mengapa pemerintah melalui kementerian agama tidak menetapkan awal ramadhan jatuh pada hari rabu (16 Mei 2018). Pada hari selasa dimana hitungan bulan sya’ban telah memasuki hari ke 29, hilal (awal bulan) belum nampak diufuk barat, sehingga hitungan sya’ban harus digenapkan menjadi 30 hari. Dengan demikian, awal ramadhan jatuh pada hari kamis, 17 Mei 2017, pada hari inilah kaum muslimin memulai kewajiban ibadah puasanya hingga satu bulan ke depan.
Ramadhan, secara tekstual berarti panas, menyengat, membakar, atau kekeringan. Disebut ramadhan karena bulan kesembilan dalam kalender hijriyah ini jatuh pada musim panas yang sangat menyengat (wilayah Arab). Secara kontekstual, ramadhan kemudian dimaknai sebagai bulan “pembakaran dosa”. Berbagai dosa yang pernah dilakukan oleh kaum muslimin sebelas bulan sebelumnya diampuni oleh Allah SWT. Ini hanya berlaku bagi kaum muslimin yang menjalankan ibadah puasa sebulan penuh atas dasar iman dan kesungguhan hati. Bagi mereka yang mengingkari, mengaku berislam tetapi enggan berpuasa, maka konsep pembakaran dosa tadi tidak berlaku. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang mengatakan bahwa “barang siapa yang berpuasa di bulan ramadhan atas dasar iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Hadirnya bulan ramadhan adalah “skenario” Tuhan, untuk mengingatkan manusia tentang arti penting menjaga keseimbangan (balance). Jika selama sebelas bulan lamanya, manusia terus melaksanakan aktifitas sambil makan dan minum serta pemenuhan kebutuhan lainnya setiap saat tanpa kontrol, maka ramadhan hadir agar makan dan minum dan pemenuhan segala kebutuhan itu dapat dilakukan secara terkontrol. Jika pada sebelas bulan sebelumnya aktifitas makan dan minum dilakukan tanpa henti, maka bulan ramadhan adalah waktu untuk berhenti. Jika sebelumnya, aktifitas makan dan minum serta pemenuhan kebutuhan lainnya dapat bebas dilakukan pada siang hari, maka pada bulan ramadhan hanya bisa dilakukan pada malam hari. Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan, bahwa ada hari dan bulan untuk bebas makan dan minum, dan ada juga hari yang tidak bebas makan dan minum. Larangan melakukan aktifitas pemenuhan kebutuhan jasmani pada siang hari selama ramadhan adalah “cara” Tuhan mengistrahatkan organ-organ pencernaan pada setiap manusia. Dengan demikian, organ-organ pencernaan itu dapat awet, selalu sehat, dan berfungsi normal. Hal ini sejalan dengan anjuran Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa “berpuasalah engkau supaya sehat”. Bulan ramadhan seolah seperti waktu istrahat di sekolah, ibarat perahu yang memasuki galangan, fungsinya adalah beristrahat sejenak agar lebih segar dan lebih maksimal memasuki tahapan selanjutnya. Dengan hadirnya ramadhan, maka manusia pun berpuasa, dan dengan puasa itu, manusia telah mengistrahatkan organ-organ pencernaan miliknya sehingga memasuki sebelas bulan berikutnya, organ-organ penting itu menjadi lebih sehat dan dapat berfungsi lebih maksimal.
Ramadhan juga hadir sebagai momentum bagi sang Khaliq untuk menguji kualitas hamba-hamba-Nya. Selama ramadhan, manusia sebagai abdi diwajibkan untuk menjalankan ibadah puasa yakni menahan diri dari aktifitas makan dan minum serta pemenuhan kebutuhan biologis pada siang hari. Tujuannya bukan karena takut atau untuk dipuji oleh manusia sesamanya. Karena jika sekedar untuk dipuji atau karena takut pada sesamanya, maka manusia dapat saja makan dan minum dalam persembunyiannya tanpa sepengetahuan orang lain, lalu tetap mengaku berpuasa. Tapi karena dia tahu, bahwa dimanapun ia bersembunyi ada zat yang mengetahuinya, maka ia konsisten berpuasa. Dengan demikian, berpuasa bukanlah untuk dirinya, bukan untuk dipuji atau karena takut kepada orang lain, namun beribadah semata-mata untuk menghambakan diri karena Allah SWT. Dalam sebuah hadis qudsi dijelaskan  bahwa “semua amal putra putri Adam adalah untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya”. Jika sebelas bulan sebelumnya, segala aktifitas manusia adalah untuk dirinya sendiri, maka puasa sebulan bukan untuk dirinya, tapi untuk Tuhannya, sehingga Tuhanlah yang akan memberikan ganjaran atas puasanya itu. Logikanya, sedangkan ibadah untuk diri kita sendiri, pasti diberikan ganjaran yang terbaik oleh Allah, apakah lagi ibadah itu, memang hanya untuk Allah semata.
Ramadhan adalah tamu, dia hanya hadir sesaat setelah itu akan pergi meninggalkan kita. Sebagai tamu sudah selayaknya disambut dengan lapang dada, penuh kegembiraan, disertai persiapan dan komitmen untuk memenuhi apa yang diinginkannya. Jangan menggerutu dan jangan menganggap bahwa hadirnya telah mengganggu suasana kita yang nyaman. Berpuasalah dengan senang hati, semoga dengan puasa itu menjadikan kita semakin sehat, serta semakin dekat dengan Allah. Wallahu a’lam bish-shawab
Numana, 17 Mei 2018

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Berhikmah dengan Hadirnya Bulan Ramadhan"

Posting Komentar