Archandra Tahar sekeluarga |
Dalam beberapa hari terakhir, media sosial diramaikan
dengan pemberitaan dua figur penting. Pertama adalah Arhandra Tahar, Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang segera diberhentikan oleh Presiden
meskipun baru menjabat selama 20 hari terhitung sejak masa pelantikan. Publik
menjadi tercengang dengan kebijakan Presiden mengingat bahwa sosok Archandra
dinilai sebagai figur paling ideal mengisi pos menteri ESDM karena kemampuan, reputasi,
dedikasi serta profesionalisme yang tidak diragukan. Pengalamannya memimpin kantor
konsultan minyak di Amerika Serikat, latar belakang pendidikan yang mumpuni,
memiliki sejumlah hak paten dalam bidang pengeboran minyak lepas pantai (offshore)
serta sejumlah reputasi yang dimiliki diharapkan mampu membenahi dan
meningkatkan kinerja kementerian ESDM. Tak kurang, mantan kepala BIN ikut
angkat bicara soal terdepaknya Archandra dari kabinet. Melalui akun twitternya,
AM Hendropriyono mengunggah sejumlah kelebihan yang dimiliki oleh Archandra
termasuk posisinya sebagai murid kesayangan
Ed Horton, si genius dan inventor offshore technologi AS. Namun sungguh
disayangkan, ekspektasi publik belum mampu diwujudkan karena segera
diberhentikan. Kedua adalah Gloria Natapradja Hamel, ia adalah siswi SMA
Islam Dian Didaktika Cinere Depok. Ayahnya
bernama Didier Hamel berkebangsaan Perancis, sedangkan ibunya bernama Ira
Natapradja warga negara Indonesia. Gloria harus ikhlas untuk tidak bergabung
dalam tim pengibar bendera pusaka pada upacara peringatan detik-detik
kemerdekaan 17 Agustus 2016 meskipun telah mengikuti camp pelatihan sekian
lamanya. Semangat, euforia, rasa haru dan bangga untuk ikut menjadi bagian dari
tim yang akan mengibarkan sang saka merah putih harus pupus. Kecewa memang, tapi
apa hendak dikata, syarat yang mengharuskan anggota paskibraka untuk didaftarkan
secara administrasi oleh orang tuanya tidak mampu dipenuhi.
Apa pasal yang mengena Archandra
sehingga harus puas menduduki posisi menteri hanya dalam waktu yang sangat
singkat, dan apa pasal yang mengganjal Gloria sehingga harus ikhlas tidak
menjadi tim pengibar bendera pusaka? Ternyata jawabannya sama, mereka (Archandra
dan Gloria) disinyalir mempunyai kewarganegaraan ganda (bipatride)
sehingga dalam konteks Indonesia yang hanya mengakui satu kewarganegaraan,
dianggap bukan lagi sebagai warga negara.
Saya masih ingat muatan pelajaran
ketika duduk di sekolah menengah atas (MA), tentang ketentuan
kewarganegaraan dipelajari dalam mata
pelajaran Tata Negara. Disitu dijelaskan bahwa untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang sangat bergantung pada asas yang dianut oleh suatu negara. Setiap
negara berdaulat berhak menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warga
negara. Ada dua asas kewarganegaraan dalam ilmu tata negara, yaitu: (1) Asas Ius
Soli, yaitu asas daerah kelahiran. Asas ini menentukan kewarganegaraan
seseorang menurut daerah atau tempat ia dilahirkan. Contohnya adalah jika Amir
lahir di negara A, maka ia menjadi warga negara A. Negara yang menganut asas
ini adalah Inggris, Mesir, Amerika, dll. (2) Asas Ius Sanguinis, yaitu
asas yang berdasarkan keturunan atau hubungan darah, dimana asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang menurut pertalian darah atau keturunan
dari orang yang bersangkutan. Jadi, yang menentukan kewarganegaraan seseorang
adalah kewarganegaraan orang tuanya dengan tidak melihat tempat ia sendiri dan
orang tuanya dilahirkan. Contohnya jika Andre dilahirkan di negara A, tetapi
orang tuanya adalah negara B, maka Andre tetap menjadi warga negara B. Negara
yang menganut asas ini adalah RRC. Konsekuensi dari penggunaan dua asas
kewarganegaraan tersebut memungkinkan bagi seseorang memiliki status
kewarganegaraan ganda (Bipatride) atau kehilangan kewarganegaraan
(Apatride). Bipatride, terjadi jika peraturan dari dua negara
terkait seseorang dianggap sebagai warga negaranya. Misalnya sepasang suami
istri adalah warga negara RRC dan berdomisili di Inggris. RRC menganut asas Ius
Sanguinis sedangkan Inggris menganut asas Ius Soli. Jika pasangan ini
melahirkan keturunan, maka menurut negara RRC itu adalah warga negaranya karena
orang tuanya (keturunan dan hubungan darah) adalah warga negara RRC. Sedangkan
menurut negara Inggris, anak tersebut juga adalah warga negaranya, karena
dilahirkan di negara Inggris. Sehingga anak yang dilahirkan mempunyai status
dua (dwi) kewarganegaraan atau Bipatride. Sedangkan Apatride
(kehilangan kewarganegaraan), terjadi jika seseorang tidak diakui sebagai warga
negara dari negara manapun. Misalnya sepasang suami istri adalah warga negara Inggris
yang berasas Ius Soli dan berdomisili di negara RRC yang berasas Ius
Sanguinis. Jika pasangan tersebut melahirkan seorang anak, maka menurut asas
negara Inggris, anak tersebut bukan warga negaranya karena dilahirkan di negara
lain, sedangkan negara RRC tidak mengakui anak tersebut karena tidak mempunyai
keturunan dengan warga negaranya. Dengan demikian anak tersebut tidak memiliki
kewarganegaraan (Apatride).
Indonesia mengatur mengenai hal asas kewarganegaraan ke dalam
UU No. 12 Tahun 2006. Pada pasal 23 dikatakan bahwa Warga
Negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya Sendiri (a). Nampaknya
ketentuan inilah yang mengganjal posisi Archandra menjadi menteri dan Gloria
sebagai anggota tim paskibraka. Karena kepemilikan parport Amerika (Archandra)
dan Perancis (Gloria) maka keduanya dinyatakan (undang-undang) kehilangan
kewarganegaraan Indonesia. Sementara, posisi yang ditempati oleh kedua figur tersebut
mensyaratkan harus berkewarganegaraan Indonesia. Lalu, siapa yang harus
bertanggungjawab atas nasib keduanya? Bagi Archandra, yang harus
bertanggungjawab adalah tim komunikasi (atau apapun namanya) yang mendapatkan
kepercayaan dari Presiden untuk membangun komunikasi dengan Archandra sebelum
dilantik menjadi menteri. Apakah sebagai individu atau sebagai tim telah
menyampaikan informasi yang tidak komprehensif dan tidak akurat sehingga
Presiden teledor melantik menteri yang bukan warga negaranya sendiri, bukan warga
negara Indonesia. Sedangkan dalam kasus Gloria, yang harus bertanggungjawab
adalah panitia seleksi yang sejak awal tidak memperketat syarat administrasi
bagi setiap peserta. Seandainya syarat keikutsertaan dalam tim paskibraka
diperketat dari awal, maka pasti apa yang menimpa Gloria tidak akan terjadi.
Gloria Natapradja Hamel |
Kini
masalah telah terjadi, beban psikologis tidak hanya bagi Archandra dan Gloria,
tetapi juga bagi keluarga dan kolega. Bagi Gloria, bisa jadi kekecewaaannya
telah terobati ketika Presiden dan Wakil Presiden memanggilnya ke Istana Negara
dan disetujui untuk diikutkan menjadi bagian dari tim paskibraka pada upacara
penurunan bendera. Namun, bagaimana dengan nasib Archandra? Menarik
untuk disimak ulasan Nandang Sutrisno (pakar Hukum UII) yang dimuat pada kolom
analisis KR (Kedaulatan Rakyat, 18/08/2016). Bagi Sutriso, ada dua alternatif
menyelamatkan kewarganegaraan Archandra, yaitu melalui naturalisasi dan melalui
pemberian kewarganegaraan dengan alasan kepentingan negara. Cara pertama
didasarkan pada pasal 8 dan 9 UU kewarganegaraan, dimana Archandra Tahar dapat
mengajukan permohonan untuk memperoleh status WNI kembali dengan memenuhi
persyaratan tertentu; juga diharuskan untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan
janji setiap kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 14-17). Adapun
cara kedua didasarkan pada pasal 20, Presiden dapat memberikan status WNI
kepada Archandra dengan alasan kepentingan negara. Cara ini lebih cepat karena
tidak ada keharusan untuk bertempat tinggal terlebih dahulu, namun harus atas
pertimbangan DPR. Apakah kedua langkah ini akan dilakukan atau tidak, semuanya
sangat tergantung pada Presiden. Selanjutnya, apakah masih ada kemungkinan bagi
Archandra untuk menduduki kembali posisi Menteri ESDM? Yang pasti bahwa Archandra
Tahar dan Gloria Natapradja Hamel adalah representasi sumber daya Indonesia
yang memiliki kemampuan excellent, mereka kebanyakan tersebar di
berbagai negara. Kemampuan dan keberanian Presiden mengambil kebijakan yang
berbuah bijaksana akan menjadi ruang bagi mereka untuk kembali mengabdikan diri
bagi Ibu Pertiwi. Wallahu’alam bish-shawab.
Belum ada tanggapan untuk "Menyoal Archandra Tahar dan Gloria Hamel"
Posting Komentar