Ilustrasi (www.google.com) |
Pada satu
forum diskusi tentang kepemudaan, seorang dokter yang sangat konsen dalam
kegiatan pembinaan umat tiba-tiba melontarkan pertanyaan kepada narasumber yang
mewakili kementerian agama, “Apa yang telah dilakukan oleh kementerian agama
sehubungan dengan perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini yang semakin
memprihatinkan”?, pertanyaannya simpel sekali, tetapi sedikit menohok karena
berkaitan langsung dengan fungsi kementerian agama. Atas pertanyaan tersebut,
yang ditanya lalu memberikan jawaban secara formalistis, yakni mendeskripsikan
ragam kegiatan yang telah dilakukan bersama kementerian agama. Setelah
narasumber menjelaskan dengan panjang lebar, sang dokter lalu menyela sambil
mengambil kesimpulan sendiri. Kesimpulannya adalah bahwa “kementerian agama
selama ini hanya sibuk dengan urusan administrasi, lalu lupa dengan urusan
pembinaan umat”.
Kesimpulan
yang diambil oleh pak dokter sebenarnya adalah representasi dari gugatan
masyarakat umum tentang fungsi yang semestinya diperankan oleh kementerian
agama. Kementerian agama yang sejatinya hadir untuk menjawab berbagai
problematika umat dalam urusan keagamaan justru lalai karena sibuk dengan urusan
administrasi. Sejak pagi hingga petang, dan dari senin hingga jumat atau sabtu, kita sebagai aparatur kementerian agama sibuk dengan urusan data dan laporan. Akhirnya lupa bahwa ada puluhan warga di desa bagian timur sana yang batal
menyelenggarakan shalat jum'at karena tidak ada khatib; kita tidak tahu
bahwa ada imam masjid yang membaca bacaan barsanji ketika shalat berjamaah
karena dikiranya adalah ayat Al-Qur’an; ada imam masjid yang harus meminum
khamar demi mengumpulkan keberanian sebelum memimpin shalat; ada khatib jumat
yang menyampaikan kepada jamaah bahwa “di zaman REPELITA ke-5 seperti sekarang
ini” padahal zaman sudah berbeda. Meskipun kemasannya adalah bertanya, namun
substansinya adalah menggugat. Dimana kita sebagai aparatur kementerian agama ketika
terjadi perdebatan antar warga tentang wajib atau tidaknya melakukan kenduri
kematian? Dimana pula kita sebagai aparatur kementerian agama ketika warga
dilanda kebingungan dalam membayar zakat fitrah apakah dalam wujud uang atau
hasil pertanian? Apa yang dilakukan oleh kita aparatur kementerian agama ketika
terjadi pertengkaran keluarga dalam urusan hak waris? apa yang kita lakukan sebagai
aparatur kementerian agama ketika ada oknum yang mengkampanyekan wajibnya
menerapkan sistem khilafah? dan apapula yang kita lakukan ketika ada kelompok
yang sibuk mengkafir-kafirkan orang lain?
Dilematis
memang, pada satu sisi tugas administrasi khususnya penyediaan data dan laporan
harus tuntas sebagai tugas wajib. Namun pada sisi yang lain ada tugas-tugas
pelayanan masyarakat dalam urusan keagamaan yang tidak boleh diabaikan.
Masyarakat tidak tahu tentang urusan data dan laporan, mereka hanya paham bahwa
penyelesaian berbagai persoalan keagamaan dalam masyarakat adalah kementerian
agama. Kementerian agama seolah menjadi “jalan tengah” ketika terjadi perdebatan
tentang pentingnya menjaharkan bacaan Basmalah atau tidak ketika melaksanakan
shalat. Kementerian agama adalah pemberi solusi ditengah silang pendapat antara
membayar Zakat Fitrah dengan uang atau dengan hasil pertanian; demikian pula
dengan upaya peningkatan kapasitas imam dan khatib serta urusan keagamaan
lainnya. Kita sebagai aparatur kementerian agama dapat saja beralibi mengenai
tugas dan fungsinya yang melekat sebagai aparatur sipil negara (ASN). Namun
justru menjadi hal yang ironi ketika masyarakat harus bertanya kepada aparatur sipil
negara dari institusi non agama mengenai problem keagamaan yang mereka hadapi.
Kalaupun hal ini dapat kita terima, jangan sampai tidak menghadirkan solusi
tetapi justru menjadikan masalah semakin runyam. Pada konteks inilah pentingnya
memaksimalkan fungsi kementerian agama.
Kewajiban
sebagaimana tertuang dalam uraian tugas dan fungsi sebagai ASN harus dapat
dilaksanakan secara tuntas, tetapi fungsi layanan keagamaan pada masyarakat
tidak boleh terlupakan. Oleh karena itu, penting untuk melaksanakan program
desa binaan. Desa-desa yang kualitas keberagamaan masyarakatnya masih jauh dari
harapan dilakukan pembinaan secara berkala. Kementerian agama dalam konteks ini
adalah pembina sedangkan desa adalah pihak yang dibina. Konsepnya adalah “satu
tahun satu desa binaan”. Bagaimana mewujudkannya?
Langkah awal
adalah kementerian agama sebagai subjek merumuskan kriteria dan indikator desa
yang menjadi sasaran binaan. Selanjutnya adalah melakukan identifikasi, klasifikasi,
dan penetapan desa yang akan dilakukan pembinaan. Setelah dilakukan penetapan desa
yang akan dilakukan binaan, maka pihak kementerian agama melakukan komunikasi
dengan pemerintah desa setempat. Komunikasi perlu dilakukan untuk menyamakan
persepsi karena fokus binaan adalah pada aspek non fisik. Jika kedua pihak
saling sepakat maka dilakukan penandatanganan nota kesepahaman.
Langkah
kedua adalah melakukan pembinaan. Berbagai kegiatan pembinaan meliputi; peningkatan
kapasitas aparatur masjid, pembinaan khatib dan iman, pembinaan majelis taklim,
pembinaan taman pendidikan Al-Qur’an, pembinaan keluarga sakinah, praktek
penyelenggaraan jenazah, dan lain sebagainya. Tentu, harus diawali dengan
penetapan jadwal dan pembagian tugas agar kegiatan pembinaan tidak saling
mengganggu dengan pelaksanaan tugas-tugas kantor. Disamping itu agar
pihak-pihak yang mendapatkan tugas pembinaan dapat menyiapkan materi dan segala
kebutuhan lainnya sebelum waktu pelaksanaan.
Langkah
ketiga adalah melakukan evaluasi. Langkah ini dapat dilakukan setiap tiga bulan,
setiap empat bulan, atau setiap enam bulan. Tujuannya adalah mengetahui
keberhasilan program sekaligus mengetahui aspek-aspek yang harus dimaksimalkan.
Satu tahun masa binaan maka program dianggap selesai. Ini artinya, dalam masa
satu tahun, pengelolaan masjid dapat lebih mandiri, kapasitas khatib dan imam
semakin baik, kegiatan pembinaan majelis taklim dan TPQ semakin aktif, dan
berbagai kegiatan dari persoalan hidup sampai urusan mati dapat diselenggarakan
sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.
Tahun
berikutnya kembali menetapkan desa binaan baru dengan tetap fokus pada kegiatan
pembinaan dalam urusan keagamaan. Jika hal ini dapat dilakukan secara kontinue,
maka lima tahun masa jabatan berarti ada lima desa yang telah diberdayakan.
Tentu akan lebih baik jika dapat dilakukan pembinaan lebih dari satu desa dalam
satu tahun, misalnya “satu desa satu pulau satu tahun”. Tetapi harus
disesuaikan dengan ketersediaan sumber daya dan sumber dana. Jangan sampai
bertambahnya desa binaan, menjadikan tugas-tugas kantor semakin terabaikan. Wallahu
a’lam bish-shawab
Numana, 04 Februari 2018
Sebuah tuntutan bagi kita ASN Kemenag, bahwa terkadang kita selalu disibukkan dgn adm dlm bentuk angka2 (kuantitas), dan terkadang kita lupa utk menghitung kapasitas pemahaman keagamaan (kualitas).Perlu di akui bahwa pembinaan yg sdh berjalan blm menunjukkan hasil yg signifikan, mungkin ini krn sdm yg terbatas atau bisa juga krn cakupan wilayah yang luas. Penetapan Desa Binaan adlh solutif yg tepat.
BalasHapus