Mengurai Makna dan Nilai Budaya Sampe’a



Persiapan Pagelaran Budaya Sampe'a di Liya-Wakatobi

Pada mulanya saya sedikit bingung ketika membaca status salah seorang teman di media sosial tentang rencana pelaksanaan Pagelaran Budaya Sampe’a di Liya Bahari (30/08/2016). Sedikit bingung karena sebagai orang Liya, sejak kecil hingga usia sekarang belum pernah mendengar atau menyaksikan pagelaran budaya tersebut. Namun kemudian saya paham bahwa Liya adalah salah satu kadie dalam struktur pemerintahan Kesultanan Buton yang memiliki banyak ragam budaya dan tradisi, tetapi sebagian sudah mulai dilupakan karena tidak terlestarikan melalui tulisan. Referensi Masyarakat Liya tentang budaya dan tradisinya hanya terlestarikan melalui cerita rakyat (tradisi lisan), sehingga referensi ini semakin lama semakin menghilang sehubungan dengan berpulangnya para pemilik referensi (almarhum). Nampaknya, geliat promosi pariwisata Wakatobi menjadi faktor yang mendorong masyarakat Liya Bahari untuk ikut berpartisipasi mengenalkan seluruh potensi budaya yang mereka miliki. Momentumnya adalah pada puncak peringatan hari jadi Desa Liya Bahari Indah yang ke-9.
Pemikiran awal yang terlintas dibenak saya mendengar istilah sampe’a adalah ritual mengiringi penyimpanan perahu (sampe) ditempat yang lebih tinggi atau di darat sebagai tanda bahwa perahu tersebut akan diistrahatkan sementara waktu guna dilakukan pemeliharaan sebelum kembali digunakan menjelajahi lautan. Ternyata asumsi ini salah, setelah saya mencoba 'mengorek' informasi dari beberapa informan justru ditemukan penjelasan yang berbeda dengan yang saya asumsikan. Salah seorang informan menjelaskan bahwa Sampe’a adalah kegiatan “te pobhalengko’a u imanga” (saling tukar dalam pemberian makanan). Makanan yang dimaksud adalah semua jenis kebutuhan yang merupakan hasil panen (pertanian). Yang menarik adalah dijelaskan bahwa pada zaman dahulu, pagelaran sampe’a dilaksanakan di Baruga (balai pertemuan adat) dengan melibatkan antara masyarakat wawo (Liya Togo dan sebagian Liya Bahari sekarang) dan masyarakat woru (Liya Mawi, Liya Onemelangka dan sebagian Liya Bahari sekarang). Namun, informan lain justru menjelaskan bahwa kata “sampe’a” bermakna kedudukan (te kedema). 
Sampe’a secara kebahasaan berasal dari kata “sampe” yang berarti “tengger’ dan mendapatkan akhiran “a” yang bermakna “tempat”. Sampe’a dengan demikian bermakna tempat bertengger. Tetapi dapat juga bermakna proses bertengger atau menyimpan pada posisi yang lebih tinggi. Istilah sampe seringkali di asosiasikan dengan tempat yang lebih tinggi. Perahu yang sudah berlumut misalnya, harus segera di sampe (ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi) supaya lumutnya dapat dibakar atau dikeringkan dengan daun kelapa yang sudah kering (rampu). Pada konteks tradisi sampe’a, makna yang sesuai adalah tempat menyimpan atau proses menyimpan. Faktanya adalah dalam ritual sampe’a, aspek yang ditonjolkan adalah proses saling adu kecepatan dalam menyimpan atau memberi hasil panen, karena yang menjadi penentu kemenangan adalah siapa yang paling banyak memberikan sedangkan yang kalah adalah pihak yang paling banyak diberi. Berapa banyak pihak yang berlibat dalam hajatan Sampe’a sangat tergantung pada berapa banyak masyarakat yang mempunyai hasil panen pada saat itu. Oleh karena itu, kewajiban pemangku adat adalah menyampikan kepada warga tentang rencana pelaksanaan Sampe’a setiap tahunnya, sehingga masyarakat dapat berusaha untuk meningkatkan hasil panennya.
Makna lain dari kata “sampe’a” adalah kedudukan (te kedema) atau jabatan. Hal ini merujuk pada posisi-posisi yang dipangku oleh aparatur dalam struktur pemerintahan Kadie Liya. Ada yang menduduki posisi sebagai kepala pemerintahan (Meantu’u Liya), juru bicara (Konta Bitara), panglima perang (Meantu’u Solodadu), penanggung jawab pelabuhan (Sabandara), penanggung jawab pertanian (Meantu’u Nunu), penanggung jawab keagamaan (Meantu’a Agama) dan sebagainya. Kinerja para pemangku jabatan publik tersebut dilakukan evaluasi tahunan, melalui forum terbuka yang dinamakan dengan Sampe’a.  Pada forum tersebut semua pemegang jabatan berkewajiban untuk hadir, sedangkan masyarakat diundang untuk mendengarkan hasil evaluasi. Hasil evaluasi kinerja adalah dalam bentuk pemberian Bale (janur) dengan tiga kategori, yaitu ‘duabale (dua janur) yang berarti sangat baik, sabale (satu janur) yang berarti baik dan satongabale (setengah janur) yang berarti kurang baik). Bagaimana dengan ritual tukar-menukar hasil kebun sebagaimana yang diperagakan pada pelaksanaan Sampe’a? Informan lain menjelaskan bahwa kegiatan tersebut hanya merupakan pesta panen, kegiatan seremoni atau pelengkap (bukan inti) untuk meramaikan kegiatan Sampe’a.
Dengan berdasar pada beberapa pemaknaan tersebut, Sampe’a sejatinya dilihat dari dua sudut makna, yaitu makna eksplisit dan makna implisit. Makna eksplisit adalah makna yang nampak melalui ritual pemberian hasil panen secara bergantian yang dilakukan oleh sesama warga. Dari proses saling tukar pemberian hasil panen tersebut terdapat sejumlah nilai-nilai kearifan yang perlu terus dilestarikan. Pertama, membangun semangat bercocok tanam (farming culture). Masyarakat kita yang dahulu dikenal dengan masyarakat Kepulauan Tukang Besi (termasuk masyarakat Liya) dikenal sebagai masyarakat maritim. Luas wilayahnya yang dominan laut, berada pada posisi silang perdagangan nusantara, serta kondisi tanah yang tandus meniscayakan hidupnya diorientasikan pada sektor pelayaran dan perdagangan maritim. Adanya budaya Sampe’a seolah menjadi alarm bagi masyarakat untuk tidak melupakan darat disamping mengurus laut. Karena, meskipun tanahnya tandus ternyata masih ada sejumlah komoditas pertanian yang dapat dibudidayakan sebagaimana jenis makanan pokok yang disajikan pada pagelaran budaya sampe’a. Kedua, menumbuhkan semangat kerja gotong royong. Dalam pagelaran budaya sampe’a, semua masyarakat terlibat dengan tugasnya masing-masing. Ada yang berperan sebagai penyelenggara, dewan hakim atau tim penilai, ada pengawas yang dilakonkan oleh lembaga adat  bersama perangkatnya, ada yang menyiapkan Liwo, ada yang mengangkat Liwo, ada yang menerima hasil panen serta yang memberikan hasil panen. Hal tersebut menunjukkan kunci sukses pagelaran Sampe’a karena adanya semangat kerja gotong royong yang terbangun dalam masyarakat. Ketiga, menghidupkan tradisi memberi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam budaya sampe’a pemenang adalah yang paling banyak memberi sedangkan pihak yang kalah adalah yang paling banyak menerima. Dalam konteks ini, dibutuhkan keikhlasan sehingga berapa banyak yang diberikan tidak mempengaruhi kadar kerelaan atau ketulusan pihak yang memberi. Keempat, membiasakan hidup jujur dan taat aturan. Dalam pelaksanaan Sampe’a, dapat saja salah satu pihak sengaja bergerak lambat dalam hal memberi sehingga menerima pemberian yang banyak. Alhasil, pihak tersebut akan memperoleh status kalah tetapi mendapatkan hasil panen yang banyak. Tetapi hal tersebut tidak dilakukan, prinsip kejujuran betul-betul dijunjung tinggi sehingga pelaksanaan sampe’a dapat terlaksana dengan baik. Demikian juga dalam pelaksanaan sampe’a, tidak ada aturan tertulis, serta tidak ada ketentuan waktu (timing), semua ketentuan dalam lomba diatur oleh salah seorang tokoh adat yang telah dipercayakan.
Makna implisit adalah kandungan filosofis pelaksanaan kegiatan Sampe’a, yaitu evaluasi tahunan untuk mengukur atau menilai kinerja pemangku jabatan publik dihadapan masyarakat. Jika makna eksplisit lebih merujuk pada Sampe’a sebagai seremoni kegiatan, makna implisit justru menempatkan Sampe’a sebagai core kegiatan. Inti Sampe’a adalah evaluasi kinerja, yang akan berimplikasi pada suatu kesimpulan bahwa apakah seorang pemangku jabatan publik masih layak dipertahankan kedudukannya, perlu ditingkatkan kedudukannya, atau justru harus diturunkan kedudukannya. Tiga opsi tersebut sangat tergantung pada hasil evaluasi kinerja yang disaksikan langsung oleh seluruh masyarakat. Itulah sebabnya, mengapa kegiatan Sampe’a dilaksanakan di Baruga (balai pertemuan), selain agar kegiatan evaluasi dilaksanakan secara transparan dan terpercaya, juga agar perubahan posisi atau kedudukan (Sampe’a) sebagai konsekuensi dari hasil evaluasi kinerja dapat dilakukan secara aplikatif. Di dalam Baruga, posisi tempat duduk telah tersedia mulai dari posisi yang paling tinggi hingga posisi yang paling rendah.
Nampaknya, pagelaran Sampe’a yang dilaksanakan dalam rangka hari jadi ke-9 Desa Liya Bahari tempo lalu, lebih pada upaya mengenalkan kembali eksistensi budaya Liya kepada masyarakat Wakatobi. Terlebih lagi bahwa kegiatan tersebut dikatakan oleh Kreator pagelaran (H. Dahlan) terakhir dilaksanakan sekitar 50 tahun yang lampau. Namun, akan lebih mengena jika budaya ini kembali dilaksanakan di Baruga sebagaimana pelaksanaannya pada zaman dahulu. Pada konteks ini, penting bagi penentu kebijakan di Desa Liya Togo, Desa Liya Bahari, Desa Liya Mawi, dan Desa Liya Onemelangka untuk duduk bersama, berembuk membicarakan agar budaya Sampe’a menjadi kegiatan tahunan dengan alokasi pembiayaan di porsikan dari ADD (alokasi dana desa) masing-masing dengan tetap membuka adanya bantuan dari berbagai pihak. Jika hal ini dapat disepakati, maka Dinas Pariwisata dapat memasukannya ke dalam kalender pariwisata kabupaten sehingga lebih tersosialisasi dan diketahui oleh semua khalayak. Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Mengurai Makna dan Nilai Budaya Sampe’a"

Posting Komentar