BERIBADAH DI TENGAH PANDEMI


 
La Rudi
Salah satu topik diskusi yang ikut menghangat seiring merebaknya wabah Covid-19 adalah seputar perlu tidaknya pelaksanaan ibadah secara berjamaah di masjid. Diskusi ini seolah menemukan momentum berhubung waktu sedang memasuki bulan suci ramadhan. Pada bulan ini kaum muslimin diwajibkan berpuasa serta disunnahkan melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. Di samping itu, ada juga anjuran bahwa semua ibadah yang dilaksanakan selama bulan ramadhan akan dilipat gandakan nilai kebajikannya. Atas dasar tersebut, masjid dianggap sebagai tempat yang tepat dalam pelaksanaan ibadah guna mendapatkan imbalan yang berlipat-lipat. Tetapi, virus corona belum juga mereda, situasi masih rawan, pemerintah pun telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar, juga telah membuat himbauan agar pelaksanaan ibadah cukup dilaksanakan di rumah masing-masing. Dalam situasi demikian, masyarakat (umat muslim) dilanda kegamangan dalam pelaksanaan ibadah. Apakah memilih ibadah di rumah agar terhindar dari ancaman virus corona tetapi memiliki nilai imbalan yang standar atau tetap berjamaah di masjid dengan nilai ibadah yang berlipat tetapi beresiko tertular virus berbahaya?
Dilema dalam Dua Pilihan
Guna mencegah penyebaran Covid-19 semakin meluas, bahkan ibadah pun mulai diatur. Sarana komunikasi yang paling privat yang sejatinya hanya melibatkan manusia dengan Tuhannya ikut diatur. Ada yang sangat hati-hati, cenderung berorientasi pada fiqih, nuansa yang terbangun “sangat takut”, berusaha maksimal agar terjaga dari ancaman virus, sehingga nampak bahwa ikhtiar atau usaha adalah langkah yang paling utama. Kelompok ini cenderung menjaga jarak aman (social distancing), menjauhi kerumunan, serta menghindari interaksi. Sehingga kelompok ini lebih menganjurkan umat Islam beribadah di rumah saja, shalat jumat cukup diganti dengan shalat zuhur. Di antara dalil yang digunakan adalah “laa dharara wa laa dhirara” (tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain), ada riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak mau berjabat tangan dengan pria yang terpapar penyakit kala prosesi bai’ah al-ridlwan, ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhamad SAW pernah melarang istrinya Aisyah mengunjungi ayahnya, Abu Bakr yang sedang demam tinggi, ada juga qaidah fiqhiyah yang mengedepankan prefensi (dar’ al-mafasid), serta kisah Khalifah Umar bin Khattab yang tidak mau memasuki Damaskus yang sudah terpapar wabah Tho’un dengan berdalih “min qadarillah ila qadarillah (lari dari takdir Allah menuju takdir Allah).
Sebaliknya, ada juga kelompok yang cenderung pasrah dan meyakini bahwa semua telah ada qadha’ dan qadarnya dari Allah SWT, segala sesuatu telah ada takdirnya, manusia hanya berbuat tetapi tidak kuasa merubah takdir. Kelompok ini berkeyakinan bahwa meskipun mengurung diri di rumah, kalau takdirnya adalah terkena virus maka pasti akan terkena juga, namun jika takdirnya tidak terkena virus, maka meskipun berjamaah di masjid tetap tidak akan terkena. Masyarakat yang berkeyakinan seperti ini pada akhirnya tetap menyeru untuk melaksanakan shalat Jum’ah secara berjama’ah di masjid. Dalil yang menjadi acuan adalah dalam perang berkecamuk saja, shalat berjama’ah masih disyari’atkan dilaksanakan (al-Nisa’: 102), ada jaminan dari Rasulullah bahwa masjid adalah benteng perlindungan orang beriman dari wabah apapun. Ahli masjid, tidak akan terkena wabah, juga merujuk pada kaidah ushul yang mengatakan bahwa “al-ashl fi al-tadawi al-ibahah” (hukum dasar berobat adalah mubah), serta argumen yang mengatakan bahwa “memang Rasulullah SAW dan Umar R.A menghindari wabah, tetapi kala itu shalat Jumu’ahan dan berjama’ah tetap dilaksanakan. Merasa yakin dengan keshahihan dalil yang dirujuk, maka ibadah shalat jumu’ah dan shalat jama’ah tetap dilaksanakan di masjid meskipun korban yang terpapar Covid-19 semakin hari semakin bertambah. Lantas, bagaimana sebaiknya ibadah dilakukan?
Mengambil Jalan Tengah
Beribadah di tengah pendami tentu mempunyai nuansa yang berbeda dengan waktu-waktu biasanya. Pada situasi pendemi, masyarakat terhantui, ada ketakutan dan kekhawatiran yang berlebih. Itulah sebabnya, beribadah di tengah pandemi membutuhkan “regulasi” khusus. Mengikuti kelompok yang menekankan ikhtiar atau usaha adalah baik guna menjaga diri dan keluarga dari ancaman virus berbahaya sekaligus memutus mata rantai penyebarannya. Tetapi usaha mencegah penyebaran Covid-19 jangan sampai membuat kita lalai apakah lagi cenderung menggampangkan ibadah. Sebaliknya, mengikuti kelompok yang pasrah juga adalah baik, agar di tengah situasi yang tidak nyaman ini, iman kita tetap terjaga, kita tetap mengingat Allah, sehingga ibadah shalat Jumu’ah dan shalat berjamaah tetap terpelihara. Tetapi, keikhlasan dan kesungguhan kita dalam beribadah jangan sampai melalaikan kita dalam menjaga diri dan keluarga dari ancaman penyakit menular dan berbahaya. Kata kunci agar terhindar dari ancaman penularan virus adalah usaha yang sungguh-sungguh, tetapi jangan lupa bertawakal memasrahkan diri kepada Maha Pemberi sukses atas usaha yang kita lakukan.
            Disinilah pentingnya mengambil langkah moderat atau jalan tengah. Ikhtiar yang sungguh-sungguh demi menjaga kesehatan dan keselamatan perlu dilakukan, tetapi konsistensi dan kepasrahan dalam ibadah juga perlu dijaga. Pada konteks ini, peran pemerintah sebagai Umara sekaligus Ulama memiliki urgensi. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan maupun instansi terkait lainnya berwenang merumuskan prosedur dan langkah-langkah pencegahan dari ancaman Covid-19. Sehingga ketika pemerintah memutuskan agar masyarakat belajar dari rumah, bekerja dari rumah, menjaga jarak, menggunakan masker, membiasakan mencuci tangan dengan sabun, dan lain sebagainya, maka masyarakat wajib mendengarkan dan menaati. Umara dalam konteks ini berposisi sebagai khalifah yang menjadi representasi Tuhan dalam mengatur urusan duniawi. Demikian pula dalam hal ibadah, ketika pemerintah melalui Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memutuskan agar pelaksanaan ibadah cukup dilakukan di rumah masing-masing, maka ibadah sebaiknya jangan lagi dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Apakah langkah ini bermakna mengabaikan sunnah? Beribadah di rumah bukan berarti mengabaikan sunnah, tetapi sekedar mengalihkan satu sunnah ke sunnah yang lain (meminjam istilah UAS). Hal ini dilakukan karena situasi sedang tidak kondusif untuk dilakukan secara berjamaah. Di samping itu, perlu ada kesadaran bahwa kualitas ibadah tidak hanya ditentukan oleh tempat (masjid atau rumah) tetapi lebih ditentukan oleh kelurusan niat, ketulusan hati, serta ke-khusyu-an kita dalam menjalankan ibadah.
            Namun demikian, akan sangat bijak jika pemerintah melakukan pemetaan mengenai tingkat kerawanan tiap daerah berdasarkan jumlah warga yang terpapar Covid-19. Misalnya, ada daerah yang kategori tidak rawan, cukup rawan, sedang rawan, dan sangat rawan. Hasil pemetaan kemudian dijadikan dasar untuk menentukan daerah mana yang memungkinkan melaksanakan ibadah di masjid dan daerah mana yang wajib melaksanakan ibadah di rumah. Bagi daerah yang dibolehkan menjalankan ibadah secara berjamaah di masjid harus dibuatkan ketentuan bahwa perlu dilakukan penyemprotan disinfektan, penyediaan  sanitasi yang bersih, tersedia cairan antiseptic disetiap pintu, jamaah membawa sajadah masing-masing, shaff sedikit direnggangkan, tidak perlu jabat tangan usai shalat, penutup do’a tanpa mengusap wajah, dan tetap menggunakan masker. Jika tingkat kerawanan tiap daerah tidak sama, apakah lagi korban belum ada, tetapi himbauan untuk beribadah di rumah sudah diberlakukan secara menyeluruh, maka yang dikhawatirkan justru menimbulkan kepanikan. Ada baiknya fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid-19 ditelaah kembali, karena pada poin kelima ketentuan hukum dikatakan bahwa “dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan shalat Jumat dan boleh menyelenggarakan aktifitas ibadah yang melibatkan orang banyak, seperti jamaah shalat lima waktu/rawatib, shalat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim dengan tetap menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19”. Semoga negeri ini segera bersih dari Covid-19. Wallahu a’alm bsih-shawab

Kendari, 1 Ramadhan 1441 H

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "BERIBADAH DI TENGAH PANDEMI "

Posting Komentar