Kepemimpinan Dalam Bingkai Budaya Maritim


Ilustrasi
Kajian tentang dunia maritim seolah memiliki ruang tersendiri pada era kepemimpinan Jokowi. Hal ini tidak terlepas dari pidato awal yang beliau sampaikan pasca pelantikan yang menegaskan tentang kondisi Indonesia yang “telah lama memunggungi lautan”. Bagi sebagian pengamat, bahasa ini adalah sinyal dari Presiden tentang orientasi pembangunan yang menjadi visinya yaitu memberikan perhatian penuh pada pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Hal ini misalnya dapat dilihat melalui program “Tol Laut” dengan tujuan mempermudah akses ke semua wilayah Indonesia.
Menariknya adalah, kajian tentang dunia maritim ternyata tidak hanya menyangkut kelautan dan perikanan, pelayaran dan perdagangan, perekonomian, serta pertahanan dan keamanan laut, tetapi juga menyangkut persoalan budaya yang di dalamnya tercakup budaya kepemimpinan. Dalam dunia maritim dikenal institusi perahu, yang fungsinya tidak sekedar sebagai alat transportasi untuk menjangkau pulau-pulau terjauh dan terluar, juga bukan sekedar menjadi sarana menghubungkan pulau-pulau di seantero nusantara, tetapi perahu adalah sistem yang mengatur roda dan dinamika kehidupan masyarakat pesisir. Dari perahu-lah masyarakat maritim dapat hidup dan dari perahu pula mereka memperoleh penghidupan. Dalam mindset masyarakat maritim, kehidupan dilaut atau lebih spesifik kehidupan dalam perahu tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang-orang di darat, sebagaimana orang-orang di darat sangat bergantung kehidupannya dengan keberhasilan orang-orang di Perahu. Keberhasilan pelayaran sangat bergantung pada do’a dan ikhtiar keluarga yang ditinggalkan, demikian pula keselamatan dan kesehatan keluarga yang ditinggalkan sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh awak perahu selama masa pelayaran.
Oleh karena eksistensi perahu menyangkut hajat hidup orang banyak, maka orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan perahu bukanlah orang sembarang, tetapi adalah orang-orang terlatih, berkompeten, memiliki pengalaman yang mumpuni, serta berintegritas. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan perahu ditengah lautan ketika dihantam ombak dan badai, jika yang menjadi awak perahu adalah orang-orang yang hanya pandai berhias, pintar cari muka, minim pengalaman dan tanpa pengetahuan; kita tidak dapat membayangkan berapa lama masa pelayaran pada musim pancarobah jika yang mengendalikan perahu adalah orang-orang yang tidak paham tentang sistem navigasi dan perubahan iklim; kita juga tidak dapat membayangkan bagaimana ketersediaan perbekalan dalam perahu jika yang mengelola persediaan logistik perahu adalah orang-orang yang hanya pandai membangun kolusi apakah lagi melakukan korupsi. Kehidupan dalam perahu dimana setiap saat diperhadapkan dengan topan dan badai, ombak dan arus yang keras, serta panas dan dingin membutuhkan pribadi-pribadi yang tangguh, dan ini lahir dari proses yang panjang, bukan dari proses yang instan.
Pemimpin pelayaran alias nakhoda, tidak dipilih karena wajahnya yang rupawan atau karena hartawan, tetapi karena pengetahuan, pengalaman dan integritasnya. Kehidupan di laut penuh dengan bahaya, sehingga pemimpin yang dibutuhkan adalah figur yang telah ditempa oleh dinamika kehidupan laut yang panjang dan ujian panjang itu mampu di lewati. Kehidupan dilaut adalah urusan hidup dan mati dan urusan masa depan generasi yang menaruh harapan dari suksesnya pelayaran. Itulah sebabnya kepemimpinan maritim mensyaratkan kompetensi, pengalaman dan integritas. Dengan kompetensi atau pengetahuan yang dimiliki memudahkannya mengendalikan pelayaran, pengalaman menjadikannya terbiasa dalam menghadapi berbagai tantangan dan gelora kehidupan laut, dan integritas menjadikannya didengar dan dipatuhi serta disegani baik oleh sesama awak perahu, sesama pelayar, maupun masyarakat lain dimana mereka berlabuh. Juru masak (dalam perahu disebut koki), juga bukan orang sembarang, karena bagaimanapun memasak di dapur perahu dengan memasak di dapur rumah sangat berbeda situasinya. Kapasitas perahu yang sangat terbatas, keadaan cuaca yang tidak menentu, serta persediaan logistik yang terbatas tentu membutuhkan juru masak yang berkompeten, berpengalaman, dan berintegritas. Demikian pula posisi-posisi lain seperti; juru mudi, juru tagih dan pemegang kas, semuanya mensyaratkan pengetahuan atau kompetensi, pengalaman, dan integritas.
Dalam masyarakat maritim, interaksi yang terjalin antara mereka dengan pemimpin yang ada di daratan bukanlah hubungan seperti Adipati dengan abdi di Tuban yang dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik. Hubungan yang berlangsung adalah hubungan yang setara. Seperti yang terjadi di masyarakat Bajau di Indonesia Timur  yang berdagang dengan sultan, saling mempertukarkan barang kebutuhan. Masyarakat mendapat kain dari sultan, dan sebagai bayaran mereka menukarnya dengan tripang, ikan, dan sebagainya (Andrian Lapian, 2009).
Bagi masyarakat maritim, perahu adalah simbol kehidupan. Sehingga seluruh dimensi ruang kehidupan kita adalah “perahu”. Birokrasi pemerintahan adalah perahu kehidupan aparatur sipil negara, disana ada harapan kesejahteraan bersama bukan kesejahteraan individu atau kelompok; sekolah adalah perahu kehidupan dimana murid, guru, dan tenaga kependidikan lainnya berinteraksi untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas; rumah tangga adalah perahu kehidupan; demikian pula berbagai institusi sosial lainnya adalah perahu. Semua perahu membutuhkan kepemimpinan yang tangguh, yang syaratnya adalah berkompeten, berpengalaman, dan berintegritas. Semoga kita dapat mengambil pelajaran. Wallahu a’lam bish-shawab

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kepemimpinan Dalam Bingkai Budaya Maritim"

Posting Komentar