Memetik Hikmah Dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj



https://zezukaku.files.wordpress.com

Salah satu kejadian penting dalam lintasan sejarah perjalanan Islam adalah peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Peristiwa ini sangat penting karena merupakan titik balik dari dakwah Rasulullah setelah 10 (sepuluh) tahun mengalami kemandekan. Sampai tahun ke-10 kenabian, jumlah pengikut Nabi Muhammad baru mencapai sekitar 100 (seratus) jamaah. Tahun kejadian Isra’ dan Mi’raj diistilahkan dengan ‘Aammul huzni’ atau tahun kesedihan, karena pada tahun inilah pamannya beliau yang bernama Abu Thalib meninggal dunia. Abu Thalib adalah tokoh kaum Quraisy dan karena kharismanya, Nabi Muhammad selalu terhindarkan dari segala ancaman. Pada tahun ke-10 kenabian juga meninggal istri yang sangat dicintanya yaitu Siti Khadijah, seorang pengusaha sukses dari kalangan quraisy yang banyak membantu dakwah Rasulullah dan juga sangat disegani oleh kaumnya. Tahun inilah dimana terjadinya peristiwa yang “debatable” itu. Mengapa? Sebagian kalangan menyangsikan sisi rasionalitas persitiwa tersebut. Jauhnya jarak antara Mekkah dan Palestina (Isra’) serta ke langit ketujuh (Mi’raj), dan teknologi transportasi yang belum begitu canggih nampaknya menjadi dasar kalangan yang meragukan peristiwa Isra’ dan Mi’raj. Tetapi, ada juga kalangan yang mempercayai kejadian tersebut meskipun kuantitasnya sangat sedikit (pada saat itu). Argumentasi kalangan yang meyakini adalah karena dilakukan oleh Nabi Muhammad yang terkenal dengan kejujurannya (diberi gelar Al Amin). Muhammad SAW dikenal sebagai sosok yang selama hidupnya tidak pernah berbohong. Lalu bagaimana terjadinya peristiwa Isra’ dan Mi’raj itu?

Peristiwa Isra’ dan Mi’raj   

Isra’ secara etimologi berarti perjalanan malam, sedangkan Mi’raj berarti tangga untuk naik ke atas. Dalam Tarikhul Islam, Isra’ adalah perjalanan malam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram di Mekkah menuju ke Masjidil Aqsha di Palestina. Hal ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat Al Isra’ ayat satu yang dalam terjemahan Indonesia adalah, “Maha suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS, 17 ; 1). Al Isra’ adalah surat Makiyyah yang semakin menegaskan bahwa peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum hijrah dari Mekkah ke Madinah. Perjalanan ini tidak dilakukan sendirian, tetapi ditemani oleh Malaikat Djibril dan dengan menggunakan kendaraan yang disebut Buraq. Tidak ada satupun ayat Al-Qur’an yang menjelaskan secara rinci tentang Buraq, yang ada hanyalah riwayat yang mengisahkan bahwa kendaraan tersebut diumpamakan seperti kuda (tetapi ukurannya lebih kecil) dan memiliki sayap. Daya jelajahnya sangat cepat karena melampaui kecepatan cahaya. Sedangkan Mi’raj adalah istilah untuk menyebutkan proses perjalanan Nabi Muhammad dari bumi menuju langit ketujuh dan Sidratul Muntaha untuk menerima Wayhu dari Allah SWT. Kedua perjalanan ini (Isra’ dan Mi’raj) dilakukan sekaligus pada suatu malam, yaitu pada malam tanggal 27 Rajab. Perjalanan melewati tujuh lapis langit dengan menjumpai para nabi pada setiap lapisan sangit yang dilewati. Pada langit pertama bertemu dengan Nabi Adam AS (‘Alaihissalam), pada langit kedua bertemu dengan Nabi Isa AS dan Nabi Yahya bin Zakaria, langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf AS, selanjutnya pada langit keempat bertemu dengan Nabi Idris AS, pada langit kelima bertemu dengan Nabi Harun AS, pada langit ke enam bertemu dengan Nabi Musa AS, dan pada langit ketujuh bertemu dengan Nabi Ibrahim AS (deskripsi tuntas tentang tahapan perjalanan Isra’ dan Mi’raj dapat dilihat pada Shahih Muslim, Kitab Iman, Bab Isra' Rasulullah ke langit, hadits nomor 234). Ketika dilangit ketujuh, Nabi Muhammad menyaksikan Baitul Makmur yaitu rumah ibadah bagi penghuni langit terutama para malaikat. Di Masjid Baitul Makmurlah para malaikat beribadah, melakukan tawaf sebagaimana para penghuni bumi (manusia) bertawaf di Ka’bah.

Pertemuan dengan para Nabi tersebut dimaksudkan agar Nabi Muhammad SAW dapat menimba pengetahuan dari para pendahulunya terkait dengan Kafaatul Mufadhalah (kemampuan utama) yang menjadi keunggulan masing-masing. Nabi Adam memiliki kemampuan atau ahli dalam pertanian; Nabi Isa AS terkenal dengan kesederhanaannya; Nabi Idris dikenal melaksanakan puasa sepanjang hayat, Nabi Harun memiliki keahlian dalam berpidato dan berdiplomasi, Nabi Yusuf dikenal sebagai Ahli logistik, Nabi Musa memiliki kemampuan dalam pertahanan dan keamanan, sedangkan Nabi Ibrahim terkenal karena kepemimpinan dan Tauhidnya. Nampaknya, pertemuan dengan para nabi pendahulunya tersebut adalah proses pencarian ilmu dan mengambil banyak pelajaran sebagai bekalnya dalam menyiarkan Islam.

Setelah sampai di langit ketujuh, lalu beliau menghadap Allah SWT di Sidratul Muntaha (tepat tertinggi). Dikisahkan bahwa pertemuan Nabi Muhammad dengan Allah berhadapan langsung, bahkan jarak antara keduanya adalah hanya ‘dua busur panah’ atau lebih dekat lagi. Rasulullah Muhammad lalu mengcapkan “Attahiyatul mubarakaatuhsh shalawatuth thayyibatulillah” (segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah), dan Allah SWT pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatulahi wabarakaatuh” (keselamatan bagimu wahai nabi, serta Rahmat dan berkahnya); kemudian Rasul Muhammad membaca, “Assalaamu’alaina wa’ala ibadillahi shalihin” (keselamatan semoga bagi kami dan hamba-hamba Allah yang shaleh). Pada pertemuan itu Muhammad SAW menerima perintah langsung yaitu kewajiban untuk menunaikan ibadah shalat 5 (lima) waktu sehari semalam bagi umat Islam. Kewajiban ini sudah mengalami pengurangan, setelah pada awalnya berjumlah 50 (lima puluh) kali sehari-semalam. Selama perjalanan Mi’raj (dari langit pertama sampai langit ketujuh) Nabi Muhammad diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang menggambarkan kesenangan sebagai bentuk imbalan atas perbuatan baik dan berbagai peristiwa yang menggambarkan kesengsaraan sebagai bentuk balasan atas perbuatan jahat (dihimpun dari berbagai sumber).

Memetik Hikmah

https://www.google.com
Ada dua pertanyaan yang mungkin sangat bijak diajukan untuk memahami peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Pertanyaannya adalah, bagaimana peristiwa Isra’ dan Mi’raj terjadi, dan untuk apa Isra’ dan Mi’raj dilakukan? Jawaban pertanyaan yang pertama akan mengungkap sisi rasionalitas peristiwa Isra’ dan Mi’raj, sedangkan jawaban pertanyaan yang kedua akan mendeskripsikan tentang tujuan dilaksanakannya Isra’ dan Mi’raj. Merujuk pada kalimat yang mengawali surat Al-Isra’ ayat 1 yang mengatakan bahwa “Subhanalladziy asra bi’abdihi (Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-nya), menunjukkan makna bahwa kekuatan utama yang menggerakkan perjalanan tersebut adalah Allah SWT. Siapa yang diperjalankan oleh Allah adalah hamba-Nya, dalam konteks ini yang ditunjuk adalah Nabi Muhammad SAW. Jika kita meyakini bahwa Allah SWT adalah Maha segalanya, dan Dia-lah yang memperjalankan Nabi Muhammad didampingi oleh Malaikat Djbril dengan menggunakan kendaraan yang kecepatannya melampaui kecepatan cahaya, maka sangat logis bahwa perjalanan satu malam dapat digunakan untuk melintasi tujuh lapis langit. Analognya adalah jam; bahwa dalam hitungan normal satu hari satu malam sama dengan 24 jam. Tetapi, apabila jam itu diperjalankan atau ada yang memperjalankan (memutarnya) sehingga dia berjalan lebih cepat dari biasanya, maka dalam waktu satu hari satu malam bisa sama dengan 100 jam, 1000 jam, atau bahkan lebih banyak lagi. Dalam hal peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Nabi Muhammad hanyalah mengikuti “skenario,” sedangkan yang mengatur skenario adalah kekuatan Yang Maha Dahsyat yang teraktualisasi melalui kendaraan Buraq. Lalu, muncul pertanyaan, apakah perjalanan tersebut bersifat jasmani atau rohani? Jawabannya adalah perjalanan jasmani dan rohani. Bahwa ada yang meragukan karena perjalanan amat sangat cepat sehingga beresiko terhadap tubuh (jasmani) Nabi Muhammad, maka kita dapat mengambil contoh dari kisah Nabi Ibrahim AS yang tidak hangus terbakar oleh api Raja Namrud. Mengapa? Nabi Ibrahim AS mampu mengaktualisasikan potensi api yang telah ada dalam dirinya sehingga tidak hangus terbakar oleh api. Demikian halnya Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj, beliau memiliki kemampuan mengaktualisasikan potensi udara (disamping tanah, air, dan api) yang telah ada dalam dirinya sehingga perjalanan cepat yang dilakukan tidak beresiko terhadap jasmaninya.

Inti perjalanan Isra’ dan Mi’raj, sebagai jawaban atas pertanyaan kedua adalah untuk menerima perintah shalat. Berbeda dengan kewajiban ibadah lainnya yang disampaikan melalui Malaikat Djibril, ibadah shalat tidak melalui perantara, tetapi langsung dari Allah SWT kepada Muhammad SAW. Hal ini menunjukan bahwa ibadah shalat menempati posisi yang istimewa. Itulah sebabnya, perkara pertama yang akan ditanyakan oleh Allah kepada setiap hamba kelak adalah mengenai shalatnya, seolah segala amalan kebajikan yang lain tidak memiliki makna apabila seorang hamba meninggalkan shalat. Shalat adalah ibadah yang menempatkan seorang hamba berdialog langsung dengan Allah sebagai khalik. Dengan shalat pula seorang hamba dapat merendahkan diri dihadapan Allah melalui sujud. Sehingga pada setiap bacaan-bacaan shalat, diharapkan selalu ada jeda agar ada ruang jawaban dari sang khalik. Setiap bacaan dalam shalat adalah do’a dan setiap do’a ada jawabannya. Ibadah shalat mengandung dua dimensi yaitu dimensi taqwa secara personal dan dimensi taqwa secara komunal. Dimensi taqwa secara personal menempatkan seorang hamba secara konsisten tunduk dan patuh kepada penciptanya. Ibadah shalat yang senantiasa dilakukan setiap waktu (pagi, siang, petang, malam), menjadikan kita lebih telaten dan disiplin mengingat Allah. Efeknya adalah, hidup menjadi tenang karena merasa selalu dekat dengan Tuhan. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa, “aqimushalata li dzikriy” (laksanakanlah shalat untuk mengingatku). Konsistensi atau ke-istiqamah-an kita dalam shalat, menjadikan kita tidak lupa kepada Allah, inilah yang diistilahkan dengan taqwa secara personal. Disamping itu, ibadah shalat juga mengajarkan kita tentang pentingnya peduli kepada sesama. Shalat tidak hanya menumbuhkan kesadaran untuk mengabdi kepada Allah, tetapi juga menumbuhkan kepedulian kepada sesama. Aktualisasi shalat tidak hanya sampai diruang-ruang ibadah (Masjid atau Musholla), tetapi spiritnya harus dapat teraktualisasikan dalam kehidupan nyata. Dalam salah satu ayat Al-Qur’an dijelaskan bahwa “sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar”. Wujud nyata dari mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar adalah senantiasa menyerukan pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran, serta senantiasa memberikan manfaat kepada sesama. Jika hal ini dapat meng-embody dalam diri kita, maka inilah yang dimaksud dengan taqwa secara komunal. Memelihara shalat, berarti memelihara hubungan dengan Allah (habluminallah), sekaligus memelihara hubungan dengan sesama (habluminannas). Mungkin inilah hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW. Wallahu a’lam bish-Shawab. 



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Memetik Hikmah Dari Peristiwa Isra’ dan Mi’raj"

Posting Komentar